36 36

Happy Reading and Enjoy~

Luna tidak tahu apakah ini keberuntungan atau hanya kebetulan. Semenjak malam pernikahan mereka Allard tidak pernah datang ke kastil, lelaki itu tampak sibuk. Luna merasa senang, tetapi ia juga merasa takut.

Tiada hari tanpa mencari jalan keluar, dan sayang hingga saat ini dia belum bisa menemukan apapun. Anehnya, berita Allard berkencan dengan wanita lain tersiar hampir setiap hari di saluran tv, dan dengan wanita-wanita yang berbeda.

Sementara berita pernikahan mereka seolah tertutup rapat. Luna menyunggingkan senyum kecil, dengan siapapun lelaki itu berkencan ia tidak peduli. Ia harus menelepon Derald, sudah terlalu lama mereka tidak berkomunikasi. Pasti sahabatnya itu khawatir.

Hari-hari yang dihabiskannya hanya membaca, tidur, dan berjalan mengitari kastil untuk mencari jalan keluar. Dia tidak boleh menelepon siapapun, tidak boleh memegang alat elektronik yang lain. Satu-satunya yang membuatnya bertahan hanya tumpukan novel dan berita di tv.

Luna ingin beraktifitas seperti biasa, ia bisa mengalami gangguan jiwa jika terus berada di sini. Menghela napas kesal, ia berjalan ke arah perpustakaan dengan langkah diseret. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Luna akan menghabiskan waktunya membaca tumpukan buku dan novel.

Mendorong pintu perpustakaan pelan, ia berjalan masuk. Menghirup dalam-dalam aroma buku yang menguar, terasa menenangkan. Mengulas senyum senang Luna berjalan dengan langkah lebar ke sofa yang sering digunakannya untuk membaca.

Melabuhkan punggungnya di sana sembari memejamkan kedua mata. Ada yang aneh. Luna mendengar suara orang lain yang tampaknya sedang … mendesah?

Kelopak matanya langsung terbuka, terbelalak mencari sumber suara. S-siapa yang sedang … mendesah? Selama ia berada di sini para pelayan tidak diperbolehkan memakai ruangan sebagai tempat untuk mengutarakan hal-hal yang bersikap pribadi.

Sebab mereka memiliki ruangan sendiri di sebelah kastil ini.

Menelan ludah dengan gugup antara ingin mencari sumber suara atau pergi menjauh dan berpura-pura tidak tahu.

Luna menimang sejenak, tampaknya ia harus mencari sumbur suara, bukan ingin menerobos privasi seseorang, tetapi ia hanya ingin memastikan bahwa pelayan mana yang berani bercinta.

Jantungnya berdegub ketika suara semakin terdengar jelas dari arah meja khusus tempat Allard sering menghabiskan waktunya. A-apa Allard sendiri yang … yang mencumbu seseorang di dalam perpustakaan? Tapi kapan lelaki itu pulang?

Dan benar saja, Luna melihat Allard berciuman dengan seorang wanita yang tampaknya cantik. Sebab, wanita itu membelakanginya sehingga Luna hanya bisa melihat pandangan Allard yang terarah padanya.

Bola mata pria itu yang berwarna abu menatapnya tajam dan tanpa ekspresi, membuat Luna berdiri dengan canggung.

Ia membalikkan badan ingin pergi, tetapi suara serak Allard yang memanggilnya menghentikan langkahnya.

"Bahkan kita baru saja bertemu, istri. Kenapa kau ingin pergi dan nampak terburu-buru seperti itu? Bukankah seharusnya kita berbulan madu dan menghabiskan malam pertama kita yang tertunda?"

Lelaki itu terdiam, menatap wanita yang berada di pangkuannya dengan pandangan berkilat.

"Kurasa sebaiknya kita menghabiskan waktu bertiga di malam pertama kita. Ide yang bagus bukan, istri?"

Luna menatapnya seolah-olah dia sudah gila. Ia tahu Allard tidak mungkin menganggapnya sebagai istri, tetapi berhubungan seks bertiga dengan perempuan lain bukankah … terlihat menjijikkan. Ia mendecih, menatap Allard dengan sorot hina.

"Penawaranmu bagus sekali, tapi sayang aku tidak tertarik."

Setelah mengatakan itu Luna berbalik pergi dengan kemarahan di dalam dadanya. Sungguh demi apapun ia tidak tertarik bercinta dengan Allard, dan ia juga tidak cemburu pria itu bersama wanita lain.

Ia hanya tidak suka kehadiran Allard yang mengganggu acaranya untuk menghabiskan waktu dengan setumpuk novelnya.

***

Melihat kepergian Luna dengan pandangan tajam, Allard melirik wanita cantic di pangkuannya dengan dingin.

"Turun dari pangkuanku atau kupatahkan kedua kakimu," desisnya.

Tidak butuh waktu lama untuk mematuhi perintah Allard, wanita itu langsung turun dan menjauh. Menatap Allard dengan pandangan bingung. Pasalnya ia tadi membawa wanita ini dengan sikap manis, yang mungkin saja membuat wanita ini besar kepala.

Allard tidak mengetahui namanya, ia hanya tahu bahwa wanita ini seorang model yang tidak terkenal. Hanya menunggu waktu sampai beberapa bulan agar wanita ini menjadi terkenal, dengan menggunakan kecantikannya untuk meniduri atasan-atasannya guna meminta bantuan.

"Sebutkan nominal yang kau inginkan dan pergilah." Allard mengibaskan tangannya ke udara, bersikap mengusir.

Dengan sikap berpura-pura menolak wanita itu berkata, "Aku tidak butuh uang, Tuan Allard. Aku hanya ingin menemani Anda."

Tidak butuh uang dan hanya menemani tidur, lalu setelah itu berusaha mendapatkan hatinya agar dirinya mau membantu karier wanita ini menjadi cemerlang, cih, Allard sudah bisa menebak jalan pikirannya. 

"Aku tidak butuh ditemani orang sepertimu. Kau lihat wanita tadi, bukan? Dia adalah peliharaanku, dan karena aku sudah berada di dalam rumahku aku tidak membutuhkanmu lagi. Sebab, peliharaanku lebih manis."

Senyum tipis tersungging di bibirnya. Heh, apanya yang manis. Luna kucing nakal yang siap mencakarnya jika ia mencoba mendekat. Wanita itu kucing kecil yang kesepian, Allard telah mengambil satu-satunya tempat dia menaungkan nasibnya.

Tidak akan lama lagi Allard akan membuat dirinya menjadi rumah satu-satunya bagi Luna untuk pulang.

"Supirku akan mengantarmu, terserah padamu ingin menunggunya disini atau di ruang tamu." Ia berjalan santai tanpa mau melirik ke arah wanita yang tadi baru saja dicumbuinya.

Penyelidikan pada karyawan-karyawannya cukup memakan banyak waktu, dan sialnya Allard tidak menemukan apapun hingga saat ini. Semuanya seakan sudah diatur dengan begitu akurat, ia merasa ada seseorang yang paling dekat dengannya yang menyusun dan menyimpan seluruh file yang bisa menjadi barang bukti.

Tapi siapa? Satu-satunya orang yang paling dekat dengannya adalah Grey, dan tidak mungkin lelaki itu mengkhianatinya. Grey bahkan rela mengorbankan nyawanya demi Allard, dan lelaki itu sudah bersumpah untuk setia hingga maut menjemputnya.

Tampaknya ia harus lebih memperketat pengawasan di sekitarnya. Orang kedua yang paling dekat dengannya adalah Arthur, dan ini yang paling mustahil. Arthur tidak memiliki tujuan apapun untuk berbuat curang dibelakagnya.

Tentunya ada satu orang lagi, Paman Jovan. Dan itu lebih tidak mungkin lagi, jika Paman Jovan berniat buruk padanya tidak mungkin menyelamatkannya di masa lalu.

Sepertinya ia harus mencari orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, walaupun itu hal yang sulit. Ia harus bisa membalaskan dendam kedua orangtuanya dan dendamnya sendiri.

Senyum miring terukir di bibirnya, sebaiknya ia menangkan diri dengan menemui Luna. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah manis wanita itu.

Allard mengeluarkan pisau kecil lipat tajam yang menjadi salah satu koleksi pisaunya, kulit halus Luna akan terasa menyatu jika dipadukan dengan ujung pisau miliknya. Tubuhnya dipenuhi kobaran api semangat bahkan hanya untuk memikirkannya.

***

Luna mengunci kamarnya atau lebih tepatnya kamarnya dan Allard. Persetan dengan lelaki itu, dia punya lebih banyak kamar dan ruangan yang bisa dijadikan tempat untuk tidur.

Sejak pergi dari perpustakaan tadi Allard belum menemuinya, mungkin saat ini lelaki itu sibuk dengan wanitanya. Tiba-tiba dadanya dipenuhi gemuruh amarah. Jika Allard menemuinya sehabis mencumbu wanita itu, dirinya benar-benar dijadikan boneka.

Luna menggigit bibir bawahnya, memang benar dirinya boneka dan sialnya itu atas permintaannya sendiri. Ia harus mencari cara untuk menghubungi Derald, sahabatnya itu bisa menjadi saksi bahwa dirinya ditahan oleh Allard.

Oh, andai saja ia punya kekuasaan dan bisa menggulingkan bisnis Allard bahkan memasukkan lelaki itu ke dalam jeruji besi. Atau setidaknya ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan racun yang bisa melayangkan nyawa lelaki itu.

Kehidupannya akan terasa sempurna.

Melirik jam yang sudah menunjukkan angka 12 malam, dan tampaknya Allard tidak mungkin masuk ke dalam kamarnya. Setidaknya untuk malam ini ia bisa tertidur dengan nyaman.

Sayangnya hal itu tidak menjadi kenyataan.

Luna meringis saat merasakan perih yang amat sangat. Ia bermimpi Allard menyiksanya dan mimpi itu terasa nyata.

Senyum Allard yang tampak mengerikan membangunkan Luna dari tidurnya. Napasnya memburu dengan dada yang berdegub kencang. Syukurlah itu hanya mimpi dan jam di dinding menunjukkan pukul 3 dini hari.

Luna menggerakkan tangannya untuk mengusap keringat dingin yang berada di dahinya, ia meringin ketika merasakan sakit yang amat sangat dari tangannya.

Seketika matanya melebar ketika melihat beberapa sayatan kecil yang menghiasi lengannya di tangan sebelah kiri. Sayatan kecil yang menimbulkan rasa perih yang luar biasa, tangannya terasa lengket ketika Luna mencoba mengangkatnya.

Darah yang berasal dari tangannya sendiri sudah mengering.

Menelan ludah gugup, ia mengedarkan pandangannya. Saat tadi dirinya jatuh tertidur semua masih baik-baik saja, dan tidak mungkin tangannya terluka secara tiba-tiba. Dan benar saja, lelaki tidak punya hati itu yang menjadi penyebabnya.

Allard berdiri di depan lemari kayu besar yang berada tepat di ujung ruangan, Luna tidak pernah membuka lemari itu. Dan sejauh yang diingatnya Allard menyimpan benda-benda yang ia tidak tahu namanya di dalam lemari itu.

Seolah sadar dirinya diperhatikan, Allard membalikkan tubuhnya dan menyunggingkan senyum sinis.

"Aku tidak menyangka membangunkanmu butuh waktu yang lama."

Lelaki itu terkekeh sembari menggoyangkan pisau yang berada di tangannya. Ujung pisau yang tajam itu berkilat di gelapnya pencahayaan kamar mereka.

"Aku bahkan harus berusaha keras membentuk karya seni di tubuhmu."

Berusaha keras? Karya seni?

Luna melirik lengannya yang berjejer sayatan kecil. Karya seni apa yang melukai tubuh manusia! Luna menggerakkan tangannya pelan untuk membuka laci yang berada tepat di samping ranjang. Mengambil pisau yang memang disediakannya untuk berjaga-jaga bila Allard menyiksanya.

Dahinya berkerut ketika mendapati pisau itu tidak ada, ia tidak pernah menyentuh pisau itu ataupun memindahkannya. Apa pelayan yang membersihkan kamarnya yang mengambil pisau itu karena mengira mungkin saja Luna bisa mengakhiri hidupnya dengan benda tajam itu?

"Apa kau mencari benda ini?"

Ia berpaling menatap Allard yang tersenyum sinis sembari menggoyangkan pisau nergagang biru yang dikenalnya. Itu pisau yang disimpannya, kenapa ada pada Allard. Luna mengetapkan bibirnya.

"Cukup sekali, wanita. Aku tidak akan membiarkanmu menusukkan benda tajam manapun ke tubuhku."

Sialan!

"Lalu bagaimana denganku!? Kau selalu menusukkan benda tajam manapun ke tubuhku, kau pikir itu tidak menyakitiku!"

Tampaknya Luna yakin bahwa lelaki lebih kuat dari wanita itu adalah dusta. Lihat saja dirinya dan Allard, lelaki itu baru sekali merasakan pisau yang menusuk perutnya, dan dia sudah bersikap manja. Bagiamana dengannya yang hampir setiap pertemuan mereka Allard selalu menyakitinya.

Menghela napas pelan, Luna memejamkan matanya. "Kupikir kau sedang sibuk dengan wanitamu itu, kenapa kau bisa berada disini dan berbuat keji?"

"Kau cemburu?" Ada nada geli yang terselip ketika Allard bertanya.

"Demi apapun tidak." Luna mendesis. Dan Allard kembali terkekeh.

Selain pisau yang disembunyikannya di laci untuk membalas Allard ia juga menyembunyikan gunting di balik bantalnya, dan terkutuklah Allard karena mengambilnya juga. Luna mengetapkan bibirnya, jika begini caranya ia tidak punya benda apapun untuk melawan.

Luna beringsut mundur dan turun dari ranjangnya ketika Allard mendekat dengan benda-benda aneh yang berada di tangannya. Ia tidak mengenal benda-benda itu, tetapi tentu saja salah satu dari benda yang dibawa Allard selalu ada cambuk.

Tubuhnya seketika menggigil karena Allard juga membawa pistol. Ap-apa pada akhirnya ia mati secepat ini? Cih, Luna bahkan belum membalaskan dendam kedua orangtuanya dan sekarang ia juga harus mati di tangan lelaki yang sama. Kematian yang sia-sia.

Allard meringis ketika melihat Luna mencoba semakin menjauh, bahkan sekarang tubuhnya berada tepat di pintu balkon. Luna berpikir hanya menunggu waktu ia membuka pintu balkon kamarnya lalu terjun dan berakhir di kolam berenang yang akan membuatnya mati karena kehabisan napas.

"Kita hanya bermain-main, kenapa kau ketakutan seperti itu?"

"Main-main katamu? Pergi saja ke neraka!" Ia menjerit histeris ketika dengan satu gerakan cepat Allard melangkahi ranjang dan berjalan mendekatinya.

Dengan panik Luna mencoba berlari menjauh, tetapi Allard berhasil menangkap lengannya yang terluka. Menekankan tangannya disana hingga membuat Luna menjerit kesakitan.

"Selagi aku masih meminta baik-baik patuhi saja, istri."

"Aku bukan istrimu!" Luna berteriak dengan dada bergemuruh. Ia tidak suka ketika Allard mengucapkan kata istri, nadanya seperti mengolok-olok dirinya.

Tanpa perasaan Allard memaksa Luna kembali ke ranjang dengan menekan lengannya yang terluka. Luna mencoba memberontak, tetapi tetap saja semua terasa sia-sia. Allard membanting tubuhnya di atas ranjang. Kedua mata pria itu berkilat mengerikan.

Allard mengelus sayatan yang berada di lengannya, sebenarnya tidak bisa disebut dengan mengelus karena pria itu menggunakan pisau kecil yang tentunya membuat lengannya bertambah parah. Luna meringis, ia mencoba menendang Allard, tetapi kakinya di tahan dengan satu tangan lelaki itu.

Yang membuatnya kesal kenapa Allard bisa menahan tendangannya hanya dengan satu tangan?

"Aku selalu bertanya-tanya apa yang membuatmu mencoba melawanku. Sebesar apapun usahamu kau tidak akan bisa lolos dariku. Seharusnya kalimat itu yang kau cantumkan di pikiranmu."

Dengan gerakan cepat Allard mengurung tubuhnya dengan merantai pergelangan tangannya dan juga pergelangan kakinya di ujung ranjang. Lelaki itu juga menutup kedua matanya dengan kain bewarna merah.

Luna menggerakkan tubuhnya dengan tidak nyaman tapi satu cambukan pelan mengenai perutnya. Dengan kurang ajar Allard membuka seluruh pakaiannya. Oh, ya Tuhan … semoga besok dirinya masih hidup.

"A-aku tidak tahu apakah orangtuamu tau perbuatanmu, tetapi … tetapi kuharap mereka tidak kecewa denganmu."

Luna berucap dingin yang langsung mendapat hadiah tamparan di pipinya yang mulus.

Luna salah karena telah mengungkit hal yang paling sensitif. Ia hanya tidak tahu bahwa perkataannya yang berniat menyinggung itu membuat tubuhnya semakin hancur. Sebab, Allard mencambukinya dengan membabi buta.

Sepanjang malam yang terdengar hanya geraman Allard dan rintihan Luna yang terdengar pilu.

Bersambung...

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

avataravatar
Next chapter