26 26

Happy Reading and Enjoy~

"Kau rindu hukumanmu, 'kan? Tanyanya dengan suara pelan penuh ancaman. Luna memberontak, menendang luka Allard yang berada di perutnya, membuat pria itu menjerit dengan suara parau. Ketika pria itu menunduk untuk memegang perutnya, di saat itulah Luna berlari.

"Sialan!" umpatnya dengan suara kesal. Berjalan tertatih ia mengejar Luna yang berhasil meraih pintu, membukanya dengan gerakan kasar lalu berlari dan menghilang di balik pintu yang terbuka lebar. Luka itu tidak parah, tapi mampu membuat kulitnya tergores dan cukup dalam.

Lihat saja wanita itu! Tunggu dan nikmati, Luna tidak akan bisa keluar dari kastil. Wanita itu pasti membuang-buang tenaganya untuk berlari mengelilingi kastil dan berakhir dengan kelelahan tanpa keberhasilan.

Ia berjalan ke arah lemari kecil yang berada di sebelah ranjang, membuka laci pada bagian bawah lalu mengeluarkan kotak putih persegi empat yang bertuliskan P3K. Ia mengeluarkan kapas beserta obat-obat yang lain, memilih menutup lukanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dirinya sudah terlalu sering terluka, itulah mengapa ia tidak perlu bantuan orang lain untuk menyembuhkannya.

Setelah melilit lukanya, Allard mengganti kemejanya dengan shirt putih polos. Ia mengambil ponselnya lalu mengetik nama seseorang di sana.

"Grey, cari Luna dan bawa dia ke sini. Sekarang dan saat ini juga!" perintahnya tegas. Tanpa perlu repot-repot mendengar jawaban Grey-tangan kanannya-ia mematikan ponselnya. Melemparnya dengan asal ke atas ranjang.

Kaki wanita itu sudah bermain, sebaiknya ia berikan hukuman apa untuk kedua kaki itu? Dan juga kedua tangan itu? Allard berjalan menuju lemarinya untuk memilih beberapa alat-alat yang tergantung. Cambuk, penutup mata dan mulut, lilin, dan juga berbagai macam rantai besi, ditambah dengan berbagai macam pisau kecil.

Ia membawa alat-alat itu menuju ranjang, meletakkannya di sana sembari menunggu kehadiran Luna. Ia merindukan suasana seperti ini, sebab sudah dua tahun berlalu dirinya memutuskan untuk bermain cantic tanpa kekerasan.

Wanita-wanita kaya itu selalu ingin dimanja, berharap menjadi satu-satunya orang yang dicintainya. Pemikiran yang naif dan kolot, Allard tidak mungkin jatuh cinta, hatinya sudah mati dan menghitam. Jika ada yang dicintainya maka dirinya sendiri, ia tidak mau repot-repot memikirkan rasa yang semu. Dihidupnya, cinta hanya mainan rasa yang tak kasat mata.

Cinta akan membuatnya lemah, musuh berusaha mengambil apa yang menjadi kelemahannya. Itulah mengapa Allard tidak pernah memberi hatinya pada siapapun, one night stand sudah menjadi kebiasaannya setiap hari.

Ia perlu wanita dalam hidupnya, tapi cukup untuk ditiduri tanpa cinta. Nanti ketika sudah saatnya memerlukan penerus, ia akan menghamili wanita yang pantas menerima benihnya dan melahirkan anaknya. Dan tentu saja hal itu juga didasari kesepakatan di dalam kertas, tidak sulit mencari gadis-gadis miskin untuk ditiduri kemudian mengandung anaknya.

Suara gaduh terdengar dari arah pintu sebelum sosok Jarez muncul sembari membawa tubuh Luna di atas bahunya. Senyum sinis Allard mengembang, hilangkan pikiran soal cinta bodoh dan anak. Yang harus diselesaikannya adalah wanita satu ini yang keras kepala, sialnya yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, lebih sial lagi ia semakin yakin bahwa wanita dihadapannya adalah adiknya sendiri.

Adik yang menjadi alasannya berada di kapal dulu, tepat setelah 60 hari kelahirannnya.

"Allard, sekarang kau punya adik. Lihatlah, dia cantik sekali, bukan?" Kedua bola mata Allard yang berwarna abu-abu itu bersinar antusias. Di dalam gendongan ibunya ada bayi mungil yang memasukkan jempolnya ke dalam mulut, mengisap seolah jempolnya adalah sumber makanannya. Bola mata bayi itu membesar, menatap ke arah Allard yang mendekat untuk melabuhkan bibirnya ke pipi montok sang bayi.

Lembut bibir Allard seolah menggelitik pipinya, membuat bayi itu tersenyum kesenangan. Jempolnya terlepas dari bibirnya, sementara tangannya menggapai-gapai udara. Allard meraih tangan yang kesepian itu, menggenggam jari-jari mungil sang bayi ke dalam tangannya yang juga mungil.

"Mom, dia cantlik," ucapnya celat. Ia tau kehadiran adiknya akan membuat kasih sayang kedua orangtuanya berkurang, tetapi saat itu ia sama sekali tidak merasa terbebani dengan kehadiran adiknya. Asal adiknya cantik, maka itu sudah cukup baginya.

Ibunya tersenyum manis. "Tentu saja dia cantik, mulai sekarang namanya Luna Ananta. Ingat ya sayang, kau bisa memanggilya dengan Luna."

"Luya," ulangnya. Ibunya tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk mencubit pipi Allard pelan. "Luna sayang, bukan Luya."

"Luya!" Allard berseru, merasa marah ketika ia disalahkan atas pengucapan nama adiknya. Padahal, dirinya sudah benar, apalagi yang salah? Namanyakan memang benar-benar Luya.

Dan yang membuatnya kesal, sang ibu malah tertawa dan menarik hidungnya dengan gemas. "Sekarang kau sudah menjadi seorang kakak, tugas kakak adalah melindungi adiknya. Mommy percaya pada Allard."

Itu ... adalah satu-satunya ingatan yang tersisa, semuanya terasa semakin samar dan perlahan menghilang. Ia dengan kehidupannya di keluarga Paman Jovan, sementara Luna yang menghilang. Saat tau gadis itu berada di tangan sang musuh yang membunuh kedua orangtuanya, Allard marah, tentu saja.

Bagiamana bisa gadis itu baik-baik saja berada di dalam genggaman tangan yang telah membunuh orangtua mereka? Mengapa gadis itu melupakannya? Dan mengapa gadis itu ingin membunuhnya yang notabene adalah kakak kandungnya sendiri.

Allard tidak perlu repot-repot melakukan tes DNA, nama yang diingatnya seperti nama yang pernah diberikantahu mommynya adalah nama yang sama. Terlebih, ada perasaan rindu di hatinya dan perasaan akrab ketika melihat Luna.

Hukuman harus diberikan pada gadis itu, sebab ia harus merasakan sakit karena tertipu pada keluarga musuh yang selama ini memeliharanya.

Apakah Allard menantang hukum langit? Maka jawabannya tentu saja, iya. Ia telah meniduri adiknya sendiri. Berbeda dengan Arthur yang menjauh karena telah meniduri kembarannya, maka Allard semakin mendekat. Bahkan tanpa tahu malu mengikat adiknya dalam tali suci pernikahan.

Anggap ia gila, maka sudah cukup baginya. Karena ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi Luna dari musuh-musuhnya, dan juga menjaga gadis itu dalam arena aman. Nanti ada masanya ketika ia berhenti memukul gadis itu, setelah Luna sadar akan kesalahannya.

Ia menghela napas perlahan, setidaknya ia sudah mematuhi sebagian perintah ibunya untuk melindungi Luna. Mengesampingkan bahwa sebenarnya tubuhnya menginginkan gadis itu lebih dari sekadar kebutuhan, tetapi suatu obesesi yang menyelimuti, membungkus dalam dengan hawa gelap.

Tidak heran ia dan Arthur bisa berteman dekat, bahkan menyandang gelar persahabatan. Nyatanya, mereka berdua sama-sama melakukan dosa besar dengan menaruh minat lebih pada seorang wanita yang berdarah sama.

Allard sendiri lebih memilih membiarkan dosa ini besar hari demi hari, ia tidak mau menjauh atau bahkan menghilangkannya seperti Arthur. Daripada menghilangkan lebih baik dinikmati, walaupun di atas sana langit menentang.

Bersambung...

avataravatar
Next chapter