25 25

Happy Reading and Enjoy~

Luna gelisah, sejak tadi ia sibuk memperbaiki posisi tidurnya. Menghadap ke kanan, lalu ke kiri, terkadang berbaring terlentang sembari menatap langit-langit kamar dengan pikirannya yang berkecamuk. Ia tau ada yang salah dengan dunia Allard dan temannya yang terkutuk itu.

Sudah pasti keadaan Nathalie tidak baik-baik saja, wanita itu lebih membutuhkan bantuan dari pada dirinya. Sayang sekali dia jatuh di tangan yang salah, meskipun sebenarnya yang harus dipikirkannya adalah keselamatannya sendiri, tetapi Luna tidak bisa menutup mata begitu saja.

Pikirannya kembali pada hari itu, tepat di saat Arthur membawa Nathalie pergi. Ia masih berdiri diam di tempatnya. Menatap tajam kearah pintu sembari mengepalkan kedua tangannya. Sementara itu, bodyguard Allard berdiri dengan gelisah, pria itu menghela napas perlahan lalu berbicara dengan nada hati-hati.

"Boleh saya bertanya mengapa Anda bisa berada di sini, Nona? Ini ruangan khusus, sebaiknya Anda segera pergi."

Tanpa bisa mencegahnya, Luna berucap sinis. "Kenapa memangnya? Apa karena ini adalah tempat Allard menyiksa para korbannya?"

"Tidak seperti yang Anda pikirkan, tapi terserah jika Anda menganggapnya begitu." Ia berjalan pergi meninggalkan Luna, tetapi langkahnya terhenti ketika sampai di ambang pintu. "Pintu ini akan sulit jika dibuka dari dalam mengingat bahwa bahannya terbuat dari batu. Jika Anda masih ingin berada di sini, maka nikmati dan tinggallah sampai Tuan Allard datang." Ada nada yang tidak disukainya terselip dalam omongan pria itu. Dan ia semakin tidak menyukainya ketika pria itu mengatakan, "Jika saya berada di posisi Anda, saya lebih baik memilih pergi."

Dengan menghentakkan kakiknya kesal, Luna berjalan terlebih dahulu. Lalu langkahnya mendadak berhenti ketika tidak melihat apapun, sama seperti saat memasuki lorong dan menuju ke kamar ini, lorong itu masih dalam keadaan gelap gulita.

Ia menatap bodyguard Allard dengan gugup. "Bi-bisakah kau jalan terlebih dahulu? Atau apakah kau membawa sesuatu yang bisa menerangi jalan ini?"

Pria itu meraba dinding lorong lalu bunyi klik terdengar sebelum lampu-lampu bercahaya kuning bermunculan dari dinding-dinding lorong, memberi penerangan yang tidak membuat mata sakit. Mengabaikan keterkejutan di mata Luna, pria itu melangkah terlebih dahulu untuk menjadi penunjuk jalan.

Luna bersumpah di dalam hati agar ia menjelajahi lorong-lorong ini lagi, sebab ternyata lorong ini tidak mengarah pada satu ruangan di kamar itu, melainkan terhubung dan berbelok pada ruangan-ruangan yang lain. Membuatnya semakin penasaran dan bertanya-tanya akhir dari bagunan gelap yang misterius ini.

Oh, ini akan memakan waktu lebih lama lagi, sebab seluruh isi kastil saja ia belum selesai menjelajahi. Dan sialnya ia belum menemukan jalan yang bisa digunakan untuk kabur tanpa ketahuan, seluruh sudut di dalam kastil terdapat cctv.

Di setiap pintu dan gerbang juga terdapat bodyguard, itu adalah hal yang wajar mengingat bahwa Allard termasuk orang terkaya yang pastinya mempunyai banyak musuh, tidak heran penjagaan dalam kastilnya seperti ini. Ia bertanya-tanya bagaimana reaksi orangtua Allard jika mengetahui bahwa anaknya mempunyai sifat tercela.

Tetapi kehidupan pribadi pria itu sangat tertutup, selain dikabarkan bahwa ia pemain wanita, hal lain tentang dirirnya terkubur dalam-dalam. Allard seperti billionaire yang tersembunyi lalu tiba-tiba menampakkan wujud di hadapan publik.

Buru-buru Luna menggeleng, menghilangkan pikiran tentang pria itu. Fokusnya tidak boleh terpecah, ia harus memikirkan tentang bagaimana bisa menyelamatkan diri dan membunuh Allard.

***

Luna tidak tahu sudah berapa lama ia menghabiskan harinya di dalam kastil ini. Dia sudah kehilangan jejak menghitungnya di hari ke delapan dan lupa untuk melanjutkan lagi. Ada yang berbeda pagi hari ini, semua seolah sibuk mengerjakan sesuatu, bahkan mobil berlalu lalang memasuki halaman kastil.

Seperti akan ada sebuah pesta, kedua matanya membesar ketika melihat Allard turun dari limusin hitam yang membawanya. Kedua tangan Luna mengepal, perasaan benci menyeruak hingga ia merasa ingin mengeluarkan isi dalam perutnya.

Dimana tempat yang aman untuknya bersembunyi? Lorong itu? Ah, tidak, bukan pilihan yang bagus. Itu adalah seburuk-buruknya pilihan, tapi tunggu, mengapa ia harus bersembunyi? Bukankah dirinya harus berani dan melawan pria itu agar ia tidak menganggap Luna lemah?

Luna mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu melihat pisau kecil untuk memotong buah yang tersampir di meja kecil dekat dengan ranjangnya, buah yang tadi diantarkan pelayan. Ia mengambil pisau itu lalu menyelipkannya di pinggang dengan hati-hati. Bagaimanapun, pisau itu bisa saja melukai tubuhnya sendiri. Ia duduk di atas ranjang dengan anggun, menunggu kehadiran Allard untuk dibunuhnya.

Terhitung sepuluh menit ia menanti, Allard akhirnya muncul. Menghampirinya dengan mengangkat alisnya sebelah, matanya menyipit tajam ketika Luna mendongak dan balas menatap matanya dengan dingin.

Senyum mengejek terukir di bibirnya. "Aku tidak percaya kau menanti kehadiranku."

Menipiskan bibirnya, Luna berkata sengit. "Lebih baik kau mati jika berpikiran seperti itu."

"Ah, jadi sekarang kau berubah menjadi lebih berani." Allard berjalan dengan langkah pelan, menunduk untuk melihat wajahnya lebih dekat. Aroma lelaki itu yang segar menerpa hidungnya.

"Aku hanya meninggalkanmu sebentar, tapi ternyata kucing mungilku berubah menjadi macan betina dalam waktu dekat." Tangannya menjambak rambut Luna, mengarahkan wajah wanita itu padanya. "Aku sudah mempersiapkan semuanya, tiga hari lagi kita akan menikah. Aku sudah menantikan hal ini sejak lama, apa kau juga?"

"Persetan denganmu!" Luna berdecih, dan dengan kecepatan-yang bahkan jika tidak berhati-hati bisa melukainya-ia mengarahkan pisaunya tepat ke perut Allard. Sesuatu yang sangat salah adalah, ia melakukannya terlalu terburu-buru hingga ujung pisaunya hanya menekan sedikit kulit Allard. Meskipun, tetap mampu membuatnya berdarah.

Allard langsung memundurkan tubunya dan pisau itu terjatuh ke lantai, tangan Luna bergetar. Ia membunuhAllard, meskipun gagal, tetapi dirinya hampir saja membunuh seseorang. Kedua mata Allard seketika menggelap, senyum sinis yang tampak mengerikan tersungging dari bibirnya.

Kemejanya yang berwarna putih tepat pada bagian perut bawah tampak basah dengan darah, bahkan menyebar dengan cepat. Tidak memperdulikan lukanya, pria itu menunduk untuk mengambi pisau yang terjatuh ke lantai.

"Mencoba membunuhku, eh?"

Ia menjilat pisau yang terdapat darahnya. "Kau tau, aku tidak mengizinkan darahku keluar, lalu bagaimana atas tindakanmu ini? Bisakah kau bertanggung jawab?"

Ia memejamkan matanya seolah menikmati. "Darahku memang selalu manis."

Sadar bahwa dirinya gagal membunuh Allard, luna beringsut mundur. Tubuhnya bergetar karena ini kali pertama ia menusuk seseorang dengan kedua tangannya, dan yang membuatnya semakin bergetar ketika dirinya melakukan itu dengan keadaan sadar.

Tenang, ia telah menusuk Allard. Perbuatannya sudah benar.

Allard sendiri seolah tidak merasakan sakit, ia malah menerjang Luna ketika wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kau rindu hukumanku, 'kan?"

Bersambung...

avataravatar
Next chapter