webnovel

23

Happy Reading and Enjoy~

Allard memasuki ruangan tempat Arthur berada, lelaki itu sedang sibuk mencumbu wanita yang berada di sana. Mengingat pembicaraan mereka yang semakin rahasia dan tertutup, mereka memilih ruangan yang lebih aman untuk membicarakan masalah lebih lanjut.

Ia berdecih saat suara decapan memenuhi langit-langit ruangan. Tidak seperti ayahnya yang setia pada ibunya serta tidak pernah sekalipun terdengar gosip bermain dengan wanita lain, Arthur terlahir untuk menjadi pemain wanita. Berbanding terbalik dengan ayahnya, entah sifat siapa yang dia ikuti.

Dan meskipun ayahnya sudah cukup bahkan terlalu kaya, Arthur masih saja menggilai uang, memperhitungkan dengan cermat pengeluaran dan pemasukan. Ia tidak ingin rugi walaupun hanya $100, padahal jumlah uang yang seperti itu ibarat $1 bagi mereka.

"Jangan sampai wanita itu kuusir dengan cara yang tidak hormat," desisnya diantara dua gigi yang merapat, menahan geram.

Arthur menghentikan cumbuannya, mendesah dengan gaya berlebihan. "Tidak bisakah kau membuatku bahagia?"

Allard menyipitkan matanya, ada dua hal yang membuat Arthur selalu bermain dengan banyak wanita. Fakta besar yang ingin disembunyikannya dari publik dan ingin di sangkal dengan hatinya sendiri, ia menyukai kembarannya.

Semua masalah timbul ketika tanpa sengaja dan dalam keadaan mabuk ia mencium adiknya, dan semakin parah ketika sang adik tidak menolak hingga berujung pada malam yang menggairahkan. Sejak itu hubungan mereka menjadi kaku, Arthur memilih berburu wanita sementara adiknya memilih menikah dengan terburu-buru.

"Kebahagianmu mimpi terburukku." Ia berjalan mendekat, merebahkan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Arthur. Matanya menerawang dengan dahi berkerut.

"Aku tidak tau apa yang mereka tanamkan pada bawahan yang bekerja pada mereka, pria tua itu sama sekali tidak mau membuka mulutnya. Anjing bodoh yang memilih setia pada majikan biadabnya."

Arthur terkekeh, menyesap anggurnya dengan elegan. "Kuyakin mereka memakai sumpah setia, atau obat-obat terlarang yang membuat pikiran menjadi mati, dan kinerja otak melemah. Ada tekanan yang membuatnya seperti itu, atau bisa saja mereka terbentuk dengan sifat manusia dan pikiran robot."

Ia mendecih. "Kau menyamakannya dengan budakmu?"

Mengangkat kedua bahunya ringan, Arthur menjawab santai. "Yah, begitulah, aku yang paling mengenal dunia bawah. Dan kau tidak pernah tau bahwa mereka memang sekejam itu dalam memperlakukan manusia, tidak membunuh secara langsung hingga membuat nyawa melayang, tetapi mereka membunuh dengan mematikan jiwa-jiwa manusia, membuat mereka seperti boneka atau bahkan hewan peliharaan."

"Apakah kau bisa menemui pemilik kelab tempatmu membeli budak itu?"

"Sulit. Mereka sangat ketat, bahkan kami hanya bisa menebak siapa yang berdansa atau bercinta di kelab itu. Semua memakai topeng untuk menutupi identitas, menyentuh pengunjung kelab saja terasa sulit apalagi mengetahui pemiliknya. Tapi aku akan berusaha untuk bertemu dengannya."

Senyumnya mengembang, menatap Arthur dengan bangga seolah pria itu adalah anaknya yang berhasil meraih ranking satu. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya terdengar puas.

Arthur tersenyum miring, menatap Allard dengan nada yang membuat Allard menyesal saat itu juga, karena telah melontarkan pujian pada lelaki itu.

"Pastikan bayaranku semakin bertambah, aku akan menghitungnya beserta bunganya. Untuk harga teman aku akan mengurangi sedikit biayanya, tetapi jangan harap dengan bunganya yang semakin bertambah."

"Oh, ya Tuhan ..." ia mengerang. "Aku selalu sulit mempercayai bahwa kau anak dari Lucas Dobson, aku akan memastikan bahwa dia tidak menyesal memiliki anak sepertimu.

***

Hari sudah gelap ketika akhirnya Luna memutuskan untuk membuka kedua matanya, tubuhnya sedikit membaik meskipun denyutan kuat menghantam kepalanya. Iblis itu pergi dalam waktu yang lama, ini saatnya untuk kabur.

Tapi tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk kabur dari sini, yang harus ia lakukan adalah membatalkan surat perjanjian pranikah yang dibuat lelaki itu. Ia bahkan rela jika memang harus berada di sini dan menjadi pelayan dari pada menjadi istri dari pemilik kastil.

Luna menghela napas pelan, bagaimana caranya membunuh lelaki itu tanpa kekerasan yang mengundang kecurigaan. Ia ingin melakukannya dengan pelan tapi pasti, dan juga yang berhasil membuat lelaki itu meregang dengan kedua mata terbelalak.

Racun.

Tiba-tiba saja satu kata itu terlintas, yah, benar sekali. Sebaiknya ia menggunakan racun pada Allard, dan ia juga akan menyaksikan bagaimana racun itu bekerja sebelum perlahan-lahan merusak sistem kerja otak lelaki itu, hingga pada akhirnya semua urat-urat penting yang saling berhubungan terputus satu persatu. Membuat lelaki itu mau tidak mau menemui takdirnya.

Kedua mata Luna berkilat dengan gairah semangat bahkan hanya untuk memikirkannya, ah, apa sebaiknya ia membuat lelaki itu mabuk lalu memberinya racun? Atau memberi racun di minumannya?

Jika pada hari pernikahan mereka lelaki itu mati, ia bisa bebas saat itu juga. Tapi mari mengesampingkan itu semua, yang harus dilakukannya saat ini adalah menjelajahi seisi kastil. Nanti ketika ia berhasil membunuh Allard, ia harus bisa kabur tanpa sepengetahuan bawahannya.

Walaupun kepalanya masih berdenyut dan napasnya terasa panas, ia tidak punya waktu selain sekarang. Saat dimana lelaki itu pergi dan tidak mengganggunya. Oh, kehidupan bisa berbanding terbalik dengan sebelumnya. Ia hanya gadis biasa yang berumur 19 tahun, terjebak dalam perjodohan konyol yang membuatnya berakhir dengan psikopat gila.

Sama seperti orangnya yang misterius, kastil itu tampak gelap dengan hiasan elegan. Jika orang lain yang memasukinya mungkin akan berpikir berapa banyak dollar yang dikeluarkan untuk membuat bangunan seindah ini, tetapi bagi Luna yang sudah mengenal lelaki itu, maka ia berpikir apa yang disembunyikan Allard di dalam kastil mewahnya yang terkesan misterius.

Ap-apa ada mayat lagi? Langkahnya terhenti, memikirkan kemungkinan terburuk. Ti-tidak mungkin lelaki itu mau mengotori tempat tinggalnya dengan darah 'kan? Dan mungkin saja hal itu terjadi mengingat Allard menyukai darah.

Menggelengkan kepalanya, Luna tetap berjalan menyusuri lorongan-lorongan dan ruangan-ruangan yang berada di dalam kastil. Semua lampu yang berada di ruangan itu hidup dengan warna yang temaram, bahkan ketika pagi haripun isi kastil seperti malam. Sama seperti kehidupan lelaki itu yang kelam, kastilnya nampak suram.

Orang pernah mengatakan bahwa rumah adalah cermin diri kita, dan rumah Allard memang cerminan dari lelaki itu sendiri. Luna terduduk lemas di sofa yang berada di ruangan perpustakaan. Ia membuka satu persatu ruangan dan tertarik ketika menemukan jejeran buku-buku yang terpajang dengan rapi.

Bahkan di dalam ruangan itu ada perapian yang dibuat khusus untuk menenangkan pikiran, ia memijat dahinya yang masih berdenyut. Sejauh ia berjalan masih belum menemukan apapun. Aroma buku-buku yang khas memasuki indra penciumannya.

Mengabaikan denyutan di kepalanya, Luna lebih tertatik menjelajahi rak-rak tempat buku-buku itu berjejer. Antusiasnya bertambah ketika menemukan jejeran novel yang tersusun rapi, mengambil salah satunya dan mulai membaca dengan menyenderkan punggungnya.

Klik

Rak itu berbunyi.

Bersambung...

Halo semuanya, jangan lupa share cerita ini ke teman-teman kamu agar bisa sama-sama suka dengan cerita ini ya. Jangan Lupa follow Instagram Author: Mesir_Kuno8181 

Jangan lupa juga masukkan cerita ini ke perpustakaan agar kalian mendapat notifikasi terbaru. Ups.. Reviewnya juga ya say~

 

Next chapter