19 19

Happy Reading and Enjoy~

"Ap-apa yang kau lakukan?" Luna bertanya dengan bibir bergetar.

"Kau tidak berpikir percintaan kita biasa-biasa saja, 'kan?"

Di tangan lelaki itu tidak hanya cambuk berwarna merah muda, tetapi juga ada bola gag, penutup mata dan juga ... lilin? Untuk apa? Matanya di larikan pada wajah Allard yang nampak bersinar, pria itu meletakkan barang-barang yang di bawanya ke meja di samping ranjang. Ia menutup mata Luna dengan kain berwarna hitam.

"Percayalah, kau akan sembuh setelah percintaan kita," bisiknya sensual.

Luna menipiskan bibirnya, menahan amarah dan ketidakberdayaannya. Ia tidak ingin berteriak apalagi melawan, memasrahkan dirinya sepenuhnya pada kehendak Allard. Tubuhnya benar-benar lemah, oh ya Tuhan... demam ini menyesatkannya.

Sebuah kecupan ringan mendarat di ujung bibirnya sebelum ponsel Allard berdering. Lelaki itu berdecak kesal, tetapi tidak ada niatan untuk mengangkatnya hingga dering terakhir. Luna merasakan tangan Allard membuka kancing piyamanya, dan saat itu ponsel Allard kembali berdering.

Mengumpat pelan, dirasakannya tubuh Allard menjauh. Lelaki itu memilih mengangkat ponselnya.

"Sebaiknya ini penting, jika tidak kepalamu akan hilang."

Itu adalah bentuk sapaan yang amat ramah pada si penelpon, Luna bergidik ketika membayangkan hal itu benar-benar terjadi.

Bukannya merasa takut, si penelepon malah tertawa senang. Ada nada jail dan kepuasaan sendiri pada tawanya.

"Apa aku mengganggumu?"

Itu bukan pertanyaan yang wajib di jawab karena sudah mengetahui jawabannya. Allard berdecak, melontarkan ancaman dengan nada dingin.

"Aku tidak sesabar itu untuk berbicara denganmu. Cepat katakan sebelum ku putuskan kepalamu dan sambungan ini."

Suara di seberang tertawa. "Tenang, dude. Aku yakin kau menantikan hal ini, dan pastikan juga gajiku bertambah."

Hening sejenak, Arthur lelaki yang meneleponnya bertanya dengan suara berbisik. "Apa kau bersama gadis itu?"

Allard berdehem untuk menjawab.

"Bisakah kau pergi sebentar dan menjauh darinya?"

Kembali Allard melontarkan decakannya, dengan langkah di seret ia berjalan menjauh. Meninggalkan Luna dalam kesunyian dan kegelapan.

Luna mencoba menggerakkan tangannya untuk membuka penutup mata yang di kenakannya, suara gemerincing dari rantai yang mengikat tangannya terdengar berisik. Di susul dengan desisan kesal feminim yang keluar dari sela-sela bibirnya.

Apakah dirinya hewan sehingga di rantai seperti ini? Seharusnya Allard bisa berpikir lebih bijak, dalam keadaan sakit Luna tidak akan mampu mendorong lelaki itu. Yang bisa di lakukannya hanya terbaring dengan ringisan —sebab rasa nikmat adalah hal mustahil yang akan di dapat— atas semua perlakuan lelaki itu.

Ia mendengar langkah kaki yang mendekat, sebuah kecupan beserta gigitan mendarat di pipinya. Gigitan itu menyakitinya, lelaki itu tidak akan mau memikirkan ringisan yang tercipta di wajah Luna.

"Aku menyesal mengatakan ini, tetapi aku harus pergi. Sepertinya kau akan membutuhkan waktu lama untuk sembuh."

Luna tertawa sinis. "Kesembuhanku semakin cepat jika kau memutuskan untuk pergi. Aku tidak butuh bantuanmu dalam hal apapun!"

Ia merasakan rantai pada kedua kakinya di lepas, lalu pada kedua tangannya. Luna langsung membuka penutup matanya, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang hadir.

Sesuatu yang tajam menggiris pipinya, membuat Luna mengernyit kesakitan. Ia menatap tajam kepada Allard yang tersenyum tanpa dosa. Lelaki itu menjilat pisau kecilnya yang terdapat darah Luna.

"Manis, seperti bibirmu," ucapnya santai.

Tangannya reflek memegang pipinya yang berdarah.

"Pria gila," desisnya dengan nada geram. Kebencian mengental di suaranya.

***

Tangan Allard terulur, mengusap pipi yang berdarah itu. Mengabaikan pelototan sinis dari sepasang mata indah yang di rindukannya. Ini adalah perasaan rindu yang lain, dan tentunya tidak sesederhana itu. Ia membungkuk untuk menjilat darah yang mengalir deras dari pipi putih yang sudah tidak mulus itu.

Manis dan anyir menjadi satu, melekat dalam lidahnya yang kasar. Bagaikan seorang vampire, Allard menyukai darah. Apalagi darah dari para korbannya. Tubuhnya akan berdesir nyeri dengan rasa gairah yang menggelegak apabila menatap puluhan mayat terbentang dengan bersimbah darah.

Oh, Allard menyukai sensasi di mana para korban akan memohon dan memujanya. Katakan dirinya gila. Tetapi ia sama sekali tidak perduli, selama kegilaan ini masih dalam tahap yang wajar menurutnya.

"Ada hal yang harus ku selesaikan, mungkin sekitar satu bulan? Atau dua bulan. Atau mungkin seminggu, tetapi setelah aku kembali kita akan menikah."

Ia tau Luna tidak membutuhkan alasan dan berapa lama waktunya pergi meninggalkan wanita itu, tetapi entah mengapa Allard merasa harus memberitahunya. Wanita itu tampak senang mendengarnya.  Terbukti ada kilatan bahagia di matanya ketika mendengar kepergian Allard dalam jangka waktu yang lama.

"Aku akan senang jika kau pergi selamannya! Membusuk di Neraka."

Mengabaikan permusuhan yang di lontarkan Luna padanya, Allard mengibaskan tangannya ke udara dengan sikap tidak perduli. Ia memeriksa suhu tubuh Luna yang masih panas dengan menempelkan telapak tangannya ke dahi wanita itu, hanya dua detik waktu yang di butuhkan. Karena detik berikutnya Allard tidak bisa menahan tangannya untuk tidak memukul dahi Luna.

Membuat wanita itu mengaduh kesakitan.

"Ups, maaf." Senyum Allard tidak menunjukkan penyesalan.

"Ku pikir dahimu adalah Nerakanya. Jangan salahkan aku karena memukulnya. Yah, kau tau sendiri aku tidak menyukai tempat itu," sambungnya dengan nada yang lebih menjengkelkan.

"Aku akan membunuhmu! Jangan berpikir aku tidak bisa membongkar semua kebusukanmu di depan publik! Aku akan membocorkan ruangan mayat itu."

Darah Allard mendidih, sebelum bisa menguasai pikirannya sendiri, tubuhnya sudah berada di atas tubuh Luna. Menindih gadis kecil itu dengan kekuatannya yang dominan.

Tangannya menjepit kedua pipi Luna, menekan kuat ke daerah yang terluka. "Jangan pernah mengungkit tempat itu kalau kau tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Apa kau pikir bisa semudah itu membongkarnya? Jangan lakukan perbuatan yang sia-sia, Luna. Aku akan memotong-motong setiap inci tubuhmu dan membiarkanmu tetap hidup, merasakan sakitnya sampai akhir kau menutup mata."

"Kau takut," ejek Luna dalam ringisan.

Nyatanya gadis itu yang takut, tubuhnya bergetar dengan kedua mata yang berkabut.

"Dasar gadis kecil lemah tidak berguna! Berpikirlah sebelum berbicara, aku tidak mungkin takut pada ancaman konyolmu. Aku hanya tidak suka kau mengungkit tempat itu. Jika kau mengukitnya lagi, maka ku pastikan kau berada di sana sebagai mayat selanjutnya."

Ancamannya terdengar nyata dan meyakinkan. Melihat Luna yang bernapas dengan terputus-putus, membuat Allard menggulingkan badannya untuk beranjak dari tubuh gadis itu.

Senyuman keji terlukis mulus di wajahnya yang tampan. Ia memilih pergi. Melangkah keluar dengan meninggalkan Luna yang masih berusaha menghirup udara di sekelilingnya. Allard tau, ancaman itu membuat nyali Luna menciut.

Sebelum pergi, ia berbisik dengan penuh percaya diri. "Sampai bertemu lagi, wanita berdarah manis. Persiapkan dirimu untuk pernikahan kita yang luar biasa."

Bersambung...

Hola holaa... jika suka dengan cerita ini jangan lupa di share ke teman-teman yang lain ya. Agar bisa sama-sama suka dengan cerita ini.

Jangan lupa juga follow instagram author: Mesir_Kuno8181

avataravatar
Next chapter