webnovel

Part 2/END

     Terduduk diatas lantai kamarnya. Menyandarkan tubuhnya ke kasur, memperhatikan kotak yang terletak disudut kamarnya. Perasaan itu, apa yang ia takutkan akhirnya terjadi. Berhasil menemukan Eunna namun tidak diterima olehnya. Ia merasa dirinya bagaikan sebuah ranting, sebuah ranting yang sedang menunggu kapan dirinya akan terpisahkan dari pohon. Suara ketukan pintu menyadarkannya. Akira masuk kekamarnya. Tersenyum kepadanya dan duduk disampingnya. Memperhatikan keadaannya, masih terus tersenyum.

   "Masih ada aku disini. Jangan pernah melupakan itu. Apapun yang kau inginkan, aku akan berusaha untuk memenuhinya. Tapi, satu hal yang ingin kuminta darimu. Bersemangatlah. Sahabatku sedang mengamatimu. Jika kau seperti ini, dia pasti tidak akan tenang disana."

   "Kenapa kau begitu baik padaku?" tanyanya pelan.

   "Karena kau orang yang baik, kau pantas mendapatkannya. Perlakuan baik menghasilkan hal yang baik, begitu juga sebaliknya. Apa yang kamu pikirkan, akan menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Jika kamu menginginkan sesuatu, pikirkan bagaimana cara untuk mendapatkannya, dan saudaramu. Sabarlah, dia juga membutuhkan waktu."

   "Bagaimana kau tahu itu? Dan, membutuhkan waktu? Kenapa dia harus membutuhkan waktu? Apa aku begitu menyusahkannya sehingga dia membutuhkan waktu yang lama untuk menerimaku?"

   "Tidak, bukan itu maksudku. Kau pasti akan segera mengetahuinya. Yang terpenting, kau harus lebih bersabar. Tidurlah, kurasa istirahatmu belum cukup." katanya dan hendak pergi.

   "Bisakah kau mengatakannya padaku? Sepertinya kau mengetahui segalanya."

   "Iie, tidak sekarang." pintu tertutup seiring kepergian Akira. Yoona semakin penasaran dengan apa yang telah Akira katakan. Rasa penasaran itu juga yang membuatnya langsung naik ke kasur, menarik selimut dan tidur.

     Tepat disore hari, Yoona terbangun dari tidurnya. Tenggelam dalam kebisuan. Hanya menatap langit kamarnya. Kejadian pada malam itu kembali terlintas dipikirannya. Memikirkan apa yang harus ia lakukakan terhadap gadis itu, gadis yang tidak juga mengakui bahwa dirinya adalah Eunna, kembarannya.

   "Apa aku harus melepaskanmu? Apa aku harus melupakanmu? Membiarkanmu begitu saja? Jika begitu, apa aku ditakdirkan untuk hidup seorang diri? Kenapa begitu? Kenapa harus aku? Apa salahku sehingga aku harus merasakan semua ini? Apa penyiksaan yang selama ini aku rasakan tidak cukup?" pikirnya dalam diam. Beberapa menit dari itu, Yoona bangkit dari tidurnya, berjalan keluar dari kamar dan mendekati kamar gadis itu.

     Beberapa kali ia mencoba mengetuk pintunya, ia tetap tidak mendapatkan jawaban. Bahkan teriakannya juga tidak menghasilkan apapun. Tidak tinggal diam, ia berlari menuruni tangga, mencoba mencari gadis itu ditempat lain. Dilihatnya Akira sedang mengobrol dengan salah satu pelanggan. Ia langsung menghampirinya.

   "Akira, apa kau melihat Eunna?"

   "Eunna?"

   "Aa, maksudku Mari.?"

   "Kalau tidak salah dia pergi bersama teman-temannya ke kafe yang ada didaerah Shirakawa Minami. Tapi aku tidak tahu tepatnya kafe mana yang mereka kunjungi." ucapnya. Disaat ia hendak kembali berkata, Yoona sudah terlanjur berlari meninggalkannya.

     Langkahnya begitu cepat. Menyusuri setiap jalan yang ada disana. Memasuki semua kafe. Begitu banyak kafe yang harus ia periksa, itu semua hanya untuk mendapatkan sosok itu, Eunna. Entah apa yang akan ia lakukan kepada gadis itu, yang pastinya ia terlihat begitu bersemangat.

     Malam pun tiba. Gelap menyeliputinya. Angin semakin menusuk tubuhnya yang tak berbalutkan pakaian tebal. Walau begitu, Yoona tak terlihat kedinginan. Yang terlihat hanya wajah cemas dan sebuah harapan.

     Pakaiannya terlihat lusuh, rambutnya berantakan. Wajahnya terlihat pucat seakan tak ada satupun darah yang mengalir disana. Dan kini, Tibalah dia disebuah kafe. Ia terlihat tenang ketika melihat Sehun berada disana, itu tandanya Eunna juga berada disana. Ia menghampiri pria itu, terlihat ekspresi kaget dari wajah Sehun.

   "Kau sedang apa disini?" Tanya Sehun. Tak ada jawaban, yang terdengar hanya helaan nafasnya. "kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali."

   "Eunna, dimana dia?" jawabnya pelan.

   "Maksudmu Mari? Dia ada dilantai dua bersama.." Yoona sudah berlari menaiki tangga. Mencari gadis itu.

     Begitu banyak pengunjung yang ada disana membuatnya sulit untuk mendapatkan gadis itu. Hampir setiap tempat ia telusuri, ia tetap tidak menemukannya. Terduduk disebuah sofa. Keringat dingin bercucuran dikeningnya. Detak jantungnya tak beraturan. Nafasnya tersengal, namun seketika tubuhnya melemas disaat melihat apa yang ada dihadapannya.

     Seorang gadis sedang berciuman dengan seorang pria. Merelakan tubuhnya disentuh pria tersebut, dan tidak hanya satu pria, tapi dua, tiga, bahkan ada empat pria disana. Begitu menjijikkan, dan yang lebih menjijikkan, gadis itu adalah Eunna. Gadis yang mengaku sebagai Mari. Gadis yang diyakini Yoona sebagai kembarannya.

   "Jangan sentuh adikku!" dengan suara lirih disertai deraian air mata ia membentak. Mengepalkan tangannya, menguatkan langkahnya dan berlari mendekati mereka.

     Sebuah pukulan melayang kewajah pria yang sedang mendekap gadis itu. Gadis itu kontras berteriak dan membuat semua pengunjung histeris. Lalu Yoona, ia terlihat siap untuk memberi pelajaran kepada semua pria itu, terlihat dari kepalan kedua tangannya.

     Matanya menatap tajam setiap pria yang ada dihadapannya. Sebuah teriakan mengawali gerakan nan tragis itu. Ia melompat dan memutarkan kakinya, lalu dengan keras kakinya mendarat tepat ditubuh pria itu. Tidak hanya itu, kini kepalan tangannya kembali melayang ketubuh pria lainnya disusul dengan sebuah tendangan keras. Masih belum puas, ia menarik tangannya dan dengan kuat melayangkan kepalan tangannya ke rahang pria lainnya. Begitu banyak pukulan yang ia berikan, semuanya ia lakukan dengan sangat cepat.

     Tak ada satupun dari mereka yang bisa menghindari pukulannya. Dan kini, ia kembali melakukan itu. Ia melompat dan melakukan tendangan ganda. Kedua pria itu pun terjatuh, dengan cepat ia bangkit. Kakinya sudah siap untuk melakukan tendangan kebawah, tapi teriakan seseorang menyadarkannya.

   "Yamate! (Hentikan)" Akira berteriak dengan sangat kuat. Ia berhasil menyadarkan Yoona. "yamate!" ia berjalan mendekati Yoona, menarik tangan Yoona dan membawanya menjauh dari sana.

   "Lepaskan aku." Tangannya menepis genggaman Akira dengan kuat.

   "Sudahlah, jangan lakukan lagi." Akira masih berusaha untuk meraih tangannya.

   "Aku bilang lepaskan aku!"

   "Memangnya apa yang akan kau lakukan! Apa kau tidak lihat, Apa itu tidak cukup? Apa kau harus membunuh mereka?!"

   "Ya, aku harus membunuh mereka." menjauh dari Akira dan berjalan mendekati keempat pria itu. Sekilas mereka terlihat tak berdaya, tak bergerak dan terletak begitu saja. Dan Yoona, ia masih akan terus memukul mereka. Dilihat dari wajahnya yang masih penuh dengan amarah.

     Namun, ia tidak berhasil melakukannya. Itu dikarenkan sebuah gelas melayang tepat di kepalanya. Hentaman keras itu membuatnya tersungkur kelantai. Dapat ia lihat gadis itu, Eunna terlihat panik, khawatir, mungkin dikarenakan gelas yang ia lempar mengenai sasaran. Pandangan Yoona semakin melemah. Wajah Eunna semakin memudar. Teriakan Akira tak lagi terdengar jelas, dan pada akhirnya, matanya tertutup rapat.

--

     Apa yang selama ini kau alami tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana cara kau menghadapinya. Kalimat itu selalu terdengar olehnya. Didalam tidur panjangnya, mimpi atau nyata pun itu, kalimat itu selalu menghantuinya. Dua hari sudah berlalu. Dan Yoona belum juga membuka matanya.

     Akira dan Sehun masih setia menunggunya. Tidak hanya mereka, secara diam-diam gadis itu juga terus mengamatinya. Seperti yang sedang ia lakukan saat ini, ia mengintip dari pintu yang tidak tertutup rapat, melihat Yoona yang masih saja berbaring diatas kasurnya.

   "Apa kau mau selamanya mengintip seperti itu? Hairinasai.. (Masuklah)" tegur Sehun yang menyadari keberadaannya disana. Gadis itu kaget, ia tidak menyangka bahwa Sehun akan menyadari keberadannya. "hairinasai." kata Sehun mengulangi. Sedikit takut ia melangkahkan kakinya, mendekati Yoona. "jangan hanya berdiri, duduklah."

   "Kenapa kau terus memerintahku?" kata gadis itu kepada Sehun.

  "Aku tidak memerintahmu, tapi itu semua keinginanmu." ucapnya santai dan duduk ditepi kasur.

   "Apa maksudmu?"

   "Jadi namamu Eunna?" wajahnya terlihat serius, gadis itu bahkan terdiam. "kau saudara kembarnya?" Gadis itu masih terdiam menatapnya.

   "Kenapa kau melakukan itu kepadanya? Jelas sekali bahwa sebenarnya kau sangat menyayanginya. Malam itu, disaat dia pingsan, kau juga melihatnya secara diam-diam, sama seperti yang kau lakukan di akhir-akhir ini. Aku juga melihat itu, Yoona mengejarmu, dan setelah itu ia terjatuh dan kembali pingsan. Kau juga yang mengangkatnya ke kamar, dan minuman hangat itu. Aku melihat itu, kau yang menaruhnya. Lantas kenapa disaat dihadapannya kau bertindak kasar?"

   "Kau mengamatiku?"

   "Tidak, itu semua tidak sengaja terlihat olehku."

   "Kenapa? Kenapa kau begitu peduli terhadapnya "

   "Wakaranai. (Aku tidak tahu)"

   "Kau menyukainya?"

   "Entahlah.."

   "Jika memang kau menyukainya, kenapa kau tidak menghalanginya disaat ia memukul pria-pria itu? Apa kau tidak takut jika dia mendapatkan pukulan balasan? Jelas sekali bahwa kau hanya menyaksikan peristiwa itu."

   "Mereka tidak akan bisa memukulnya, karena dia sudah lebih dulu membuat mereka tak berdaya. Bukankah bela dirinya sangat baik? Kurasa kau tahu itu. Lagi pula, saat itu adalah waktu yang tepat untuknya mengeluarkan segala penat yang selama ini ia pertahankan." jawabnya sembari tersenyum mengamati Yoona yang masih tertidur.

   "Bagaimana kau tahu itu?"

   "Setahun sudah aku mondar-mandir dari Tokyo ke machiya ini, dan sudah setahun juga aku mendengarkan semua cerita tentangnya dari Akira. Bukankah Akira bersahabat dengan ayahmu? Apa kau tidak tahu itu?"

   "Apa katamu? Sahabat ayahku?"

   "Jadi kau tidak tahu tentang itu? Aku juga mendengar cerita tentangmu dan juga ibumu. Kalian, kenapa kalian selalu menyiksanya?"

   "Aku tidak mau membahasnya." gadis itu hendak pergi.

   "Eunna.." Sehun memanggilnya pelan. "jadi benar itu namamu?" tambahnya ketika dilihatnya langkah gadis itu berhenti.

   "Jika benar itu namaku, apa yang akan kau lakukan?" gadis itu menatapnya lesu.

   "Hentikan ke egoisanmu itu, kau akan semakin terluka."

   "Egois katamu? Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi hentikan omong kosongmu."

   "Sekarang dia seorang diri, apa kau akan tetap meninggalkannya?" gadis itu tidak memberikan jawaban. Ia masih menatap Sehun, kerutan pada keningnya menunjukkan bahwa ia menginginkan penjelasan. "ayahmu sudah tiada." jelas Sehun. Mendengar itu kontras membuatnya terduduk lemah dilantai. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini mengalir bebas dari matanya. "hanya kau dan ibumu yang ia punya."

   "Ibu, ibu juga sudah tiada." jawabnya lirih, lebih lirih dari bisikan.

   "Apa katamu?"

   "Dia tertabrak disaat kami sedang tersesat di Tokyo."

   "Dan kau belum memberitahu itu kepadanya?"

   "Bagaimana mungkin aku memberitahu itu kepadanya? Melihat wajahnya saja aku tidak mampu!" jawabnya dengan keras.

   "Nande?"

   "Disaatku memandangnya, membuatku teringat pada dosa-dosa yang pernah kuperbuat terhadapnya. Aku ingin melupakan itu semua."

   "Dan kau pun merubah namamu? Menerima keluarga baru yang hendak mengadopsimu? Kau kira kau bisa melupakan semuanya dengan cara seperti itu?"

   "Aku tahu itu, aku tahu aku salah. Itu semua dikarena otousan, dia tidak pernah bertindak adil padaku. Dia hanya menyayangi Yoona. Tidak pernah sekalipun dia memberikanku pelukannya, kecupannya, senyumannya. Sedangkan Yoona, gadis itu selalu mendapatkan semuanya. Segala macam mainan yang kusukai, ia memiliki semuanya, sedangkan aku!"

   "Itu dikarenakan sikapmu dan ibumu yang tidak baik terhadapnya. Sekarang aku tanya, apakah ibumu pernah melakukan hal baik terhadapnya?" gadis itu tidak menjawabnya. "bukankah itu adil?"

   "Apa yang harus aku lakukan?"

   "Yang harus kau lakukan hanya menerimanya. Memulai hidup baru bersamanya, tanpa berpikir adanya perbedaan apapun." perkataan Sehun mengakhiri obrolan mereka. Pria itu meninggalkan gadis itu disana, masih terduduk dilantai. Membiarkannya meratapi semua kesalahannya.

--

     Sebuah senyuman terkulum manis diparas indahnya. Setelah sekian lama ia tertidur, akhirnya ia terbangun juga. Namun, bukan itu yang membuatnya tersenyum, tetapi keberadaan Eunna yang membuatnya tersenyum. Eunna duduk disamping, menatapnya, menggenggam tangannya. Disaat Yoona membuka matanya, dengan cepat ia mengambil segelas air hangat lalu menyodorkan air itu kepada Yoona.

   "Minumlah." kata Eunna sembari membantunya duduk.

   "Kau baik-baik saja?"

   "Seharusnya aku yang menanyakan itu kepadamu." jawabnya sembari membenarkan letak kaki Yoona.

   "Kau sudah bisa menerimaku?"

   "Jangan membahas itu, kau minum ini dulu." ia menyodorkan minuman itu.

   "Gomawo, telah melempar gelas itu kepadaku."

   "Mwo?"

   "Berkat hantaman itu, kau jadi baik terhadapku, hahaha."

   "Itu tidak lucu."

   "Dulu kau juga sering melemparku, tapi lemparan terakhirmu adalah lemparan yang paling menyakitkan, buktinya aku sampai pingsan."

   "Mianhae, aku menyesal. Tapi jika aku tidak melakukan itu, nyawa mereka pasti akan habis ditanganmu."

   "Apa aku gila? Aku tidak mungkin membunuh mereka."

   "Lalu, kenapa kau melakukan semua itu?"

   "Sebenarnya, aku berharap mereka membalas pukulanku, lalu aku jatuh pingsan dan kau menyelamatkanku. Tapi tidak satupun dari mereka yang membalas pukulanku."

   "Itu dikarenakan pukulanmu yang terlalu keras."

   "Karena itu, jika kau tidak mau merasakan apa yang mereka rasakan, jangan lakukan hal seperti itu lagi. Karena aku tidak akan segan-segan memukulmu bahkan lebih kuat dari pada itu."

   "Kau mau mengancamku?"

   "Ini bukan ancaman, tapi nasihat dari seorang kakak untuk adiknya."

   "Kau bukan kakakku, umur kita hanya berbeda beberapa menit."

   "Kau ini."

   "Tapi, disaat kau menghajar mereka, kau terlihat keren, aku menyesal karena tidak ikut berlatih bersamamu."

   "Hahaha, seperti yang sering kau katakan. Kita berbeda."

   "Oo? Sekarang kau yang mengatakannya. Apa kau sudah merasa hebat?"

   "Ya, sekarang aku hebat. Karena aku sudah berhasil menemukanmu." Yoona tidak henti-hentinya tersenyum kepadanya.

   "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan, tapi jika kau belum merasa sehat, aku akan menunggu sampai kau pulih dulu."

   "Katakan sekarang, aku sudah sangat sehat."

   "Jinjayo?"

   "Hmm.."

   "Eomma.. dia sudah tiada. Sewaktu kami tersesat di Tokyo, dia tertabrak mobil."

   "Ya, aku sudah tahu itu."

   "Kau sudah tahu?"

   "Aku mendengar semua percakapan kalian tadi malam. Lalu, siapa yang mengadopsimu? Kudengar mereka kaya raya."

   "Mereka yang telah menabrak eomma. Jadi kau sudah sadar sejak tadi malam?"

   "Ne.. Tapi aku belum sekuat itu, aku hanya bisa mendengar obrolan kalian. Appa, kau pasti sudah mengetahuinya kan?" Eunna mengangguk pelan. "mungkin inilah takdir yang diberikan tuhan kepada kita. Kita harus kuat menjalaninya. Seperti yang pernah appa katakan kepadaku. Apa yang selama ini kau alami tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana cara kau menghadapinya."

   "Kalimat yang bagus, aku akan selalu mengingatnya." gadis itu terlihat bersemangat, sebuah senyuman merekah dengan indah di paras cantiknya. Begitu juga dengan Yoona.

   "Apa kalian sedang bertengkar Lagi? Kapan kalian akan baikkan." Sehun menghampiri mereka sambil membawakan semangkuk bubur.

   "Kau tidak lihat? Kami sedang tersenyum." sambar Eunna.

   "Oh, baguslah. Aku kira kalian masih bertengkar."

   "Kau hanya membawakan untuknya?" tanya Eunna.

   "Kalau kau mau, kau bisa ambil dibawah, Akira memasak banyak."

   "Yoona-a, dia menyukaimu, bagaimana dengan kau?" kata Eunna mencoba menggoda Sehun.

   "Apa yang kau katakan! Jangan bicara sembarangan!" dengan cepat Sehun meletakkan buburnya ke atas meja yang ada disamping tempat tidur. Lalu ia mendekap mulut Eunna dengan tangannya. "aku memang tidak mengerti bahasa Korea, tapi ekspresimu sangat mencurigakan. Kau sedang membicarakanku kan?!!" erangnya kepada Eunna.

   "Dia sudah mengetahui segalanya tentang dirimu, sudah setahun lamanya."

   "Damatte kudasai! (Diamlah)"

   "Dia bahkan lebih mengenalmu dibandingkanku."

   "Mari! Hentikan! Oo, maksudku Eunna!"

   "Dia juga yang memarahiku dikarenakan aku bertindak kasar terhadapmu, dia begitu peduli terhadapmu."

   "Kau tidak mau diam juga?"

   "Katakan padanya kalau kau menyukainya." mereka asik dengan obrolannya. Walau yang terdengar seperti kicauan burung yang tak memiliki arti.

   "Apa yang sedang kalian lakukan? Kenapa kalian berisik sekali?" Akira datang sambil membawa beberapa obat-obatan. Memberikan obat tersebut kepada Yoona lalu gadis itu langsung meminumnya. "wah, kau menghabiskan buburnya? Apa buburnya enak?"

   "Hmm, oishii!"

   "Hee? Buburnya sudah habis? Kenapa cepat sekali?" tanya Eunna yang tidak menyadarinya.

   "Aku memang selalu serius ketika menyantap makanan." jawab Yoona santai.

   "Jadi kau tidak mendengarnya?" sambar Sehun.

   "Aku bahkan tidak tahu hendak mendengar yang mana, kalian terlalu berisik." jawabannya kontras menimbulkan tawa. Akira yang hendak pergi malah tertawa dengan kuat, begitu juga dengan Eunna. Tetapi gadis itu tidak tertawa karena perkataannya, melainkan menertawai Sehun. Tawa mereka mengakhiri pagi itu.

--

     Irama hujan terdengar indah. Setiap nadanya membelai telinga siapapun yang mendengarkannya. Airnya turun dengan lembut membasahi setiap pohon disana, sungai shirakawa pun tak kuasa akan sentuhan tetesan airnya. Suasana yang akan sangat memanjakan mata, dan tentunya tidak akan dilewati begitu saja dengannya, yaitu Yoona.

     Dibawah payungnya, ia menyaksikan semua itu. Senyumnya menandakan akan kepuasannya terhadap apa yang ia lihat. Kejadian seperti ini sudah sering ia alami, tetapi kali ini jauh lebih berbeda. Dahulu, setelah ia merasakan kebahagian sesaat itu, tidak lama setelah itu masalah pun akan datang melanda. Tetapi sekarang, dirinya akan terus tersenyum. Baginya keberadaan Eunna sudah lebih dari cukup.

   "Appa, aku sudah melewatinya. Kau benar, apa yang aku alami tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana cara aku melewatinya. Appa, apa kau bertemu dengan eomma disana? Sampaikan salamku padanya, dan katakan padanya, aku selalu menyayanginya. Aku juga merindukannya. Sekarang aku semakin bersemangat menjalani hidup ini. Mulai sekarang, aku akan melewati semuanya bersamanya, bersama adikku, Eunna." matanya berkaca-kaca, air mata bahagia itu mengalir dengan bebas. Membasahi pipinya yang mulai memerah. Hujan membuat cuaca semakin dingin, ditambah kebiasaannya yang tidak pernah menggunakan pakaian hangat. Yoona selalu seperti itu. Ia berpikir bahwa dirinya adalah gadis yang kuat. Wanita yang tidak akan tumbang akan hal kecil seperti itu.

   "Kau sedang apa?" seseorang menyapanya. Setelah ia membenarkan posisi payungnya, barulah ia mengetahui siapa yang menyapanya.

   "Aku sedang bahagia." jawabnya sembari tersenyum.

   "Karena Eunna? "

   "Tidak, tapi karena semuanya."

   "Benarkah? Termasuk diriku?" Yoona hanya tersenyum. Pria itu, Sehun terlihat terdiam ketika melihat senyumannya. Pria itu merasakan kehangatan dari senyuman itu. "nande? Kenapa kau hanya diam?"

   "Kau cantik sekali." katanya tanpa ekspresi.

   "Benarkah?"

   "Tidak, aku hanya bercanda." jawabnya dan berpaling memandang pohon yang ada dihadapannya.

   "Sejak kapan kau menyukaiku?" tanya Yoona yang masih menatapnya. Mendengar pertanyaannya, pria itu kembali menatapnya.

   "Setahun yang lalu, aku berlibur kesini. Aku memilih machiya ini sebagai tempatku beristirahat. Akira menyambutku dengan sangat baik, dia juga sangat memperhatikanku, dia memperlakukanku sebagaimana seorang ibu. Dia banyak berbagi pengalaman kepadaku. Menceritakan segala hal yang menurutnya menarik, dan cerita yang paling menarik adalah tentang dirimu."

   "Hanya dengan mendengarkan cerita itu kau langsung menyukaiku?"

   "Awalnya tidak, namun setelah aku mendengarkan cerita selanjutnya tentangmu, semakin lama semakin menarik. Aku bahkan sampai mengandai-andai seperti apa rupamu, itu sangat lucu. Ceritamu selalu menghantuiku. Mungkin jika aku pintar menulis, ceritamu telah ku sulap menjadi sebuah buku, haha.." menertawai dirinya.

   "Kalau begitu, mulai dari sekarang jangan mendengar ceritaku lagi."

   "Nande?"

   "Kau akan semakin sulit untuk melupakanku."

   "Hahaha.." tertawa bersama dibawah payung yang terasa sempit, kehadiran Sehun membuat Yoona harus berbagi payung dengannya. Merelakan sebagian tubuhnya terkena tetesan hujan. Sekejap senyuman itu menghilang dari wajah Sehun, ia menerima sebuah pesan dari ponselnya. "Eunna? Bukankah dia sedang tidur?" ucapnya setelah membaca pesan itu.

   "Waeyo? Aa, maksudku kenapa?"

   "Temannya mengirimku pesan, katanya Eunna memintamu menemuinya di tea house yang ada di daerah shirakawa minami. Tea house yang berwarna merah, kurasa aku tahu tempatnya, mau aku temani?"

   "Aku pergi sendiri saja, kami sudah lama tidak keluar bersama."

   "Benar juga. Baiklah, sudah sana pergi. Jangan membuatnya menunggu. Bawa baju hangat ini, pakailah jika kau merasa kedinginan." katanya sembari melambaikan tangannya kepada Yoona yang sudah berlari menjauhinya.

--

     Perjalanannya terasa nikmat. Seorang adik yang sangat ia sayangi sedang menantinya. Penantian yang panjang pun berakhir sudah. Masih mengenggam payungnya, menggenggam lebih erat dikarenakan angin yang semakin kencang. Mengikat baju hangat tersebut pada tangkai payung, rambutnya yang berantakan tak terpikirkan lagi olehnya. Saat ini yang ada dipikirannya, apa yang akan mereka lakukan, mengobrolkah, berfotokah, atau mungkin melakukan hal lainnya asalkan mereka bisa bersenang-senang.

     Memikirkan itu membuatnya semakin bersemangat. Kini dia sudah berada di tea house tersebut, begitu banyak pengunjung disana, merasa akan sulit mencari Eunna, ia mencoba bertanya pada salah satu pelayan disana.

   "Irasshaimase.. (Selamat datang)" sapa pelayan yang ada dihadapannya. Yoona menjawabnya dengan sebuah senyuman.

   "Saya ingin bertanya, apa pelanggan yang bernama Mari sudah datang? Baru saja dia menyuruhku kesini." tanyanya dengan sopan.

   "Mari? Tolong tunggu sebentar, biar saya periksa dulu." si pelayan terlihat sedang mengotak-atik komputernya.

   "Konnichiwa.. (Selamat sore)" sapa seorang pria yang baru saja menghampirinya. Yoona hanya tersenyum. "apa kau kakaknya Mari?" tambah pria itu. Yoona mengangguk dan tetap tersenyum. "kebetulan sekali, Mari berpesan kepadaku untuk menyuruhmu kelantai tiga. Dia berada di ruangan nomor empat."

   "Benarkah? Bukannya lantai tiga ruangan karaoke? Apa dia mau mengajakku bernyanyi?" jawabnya sambil melirik lantai yang ada diatasnya.

   "Kurasa seperti itu, lebih baik kau segera menemuinya, dia sudah menunggu lama. Kalau begitu saya permisi dulu." bersamaan dengan kepergian pria itu, Yoona langsung melangkahkan kakinya menuju lantai tiga. Tak terdengar lagi olehnya teriakan dari pelayan yang sedang memanggilnya, dirinya sudah terlanjur berlari menaiki tangga.

     Sebuah ruangan berukuran sedang. Ruangan yang disangkanya berisikan berbagai peralatan untuk bernyanyi, tapi kenyataannya, ruangan itu terlihat kosong. Yang ada dihadapannya hanya tiga orang pria. Tiga orang pria yang tidak ia kenal. Matanya terus menelusuri keberadaan Eunna, tapi gadis itu tetap tak terlihat.

   "Kau mencari Mari? Ah.. kudengar ia juga bernama Eunna. Jadi kalian orang korea? Wah, pantas saja kalian terlihat sangat manis." kata seorang pria yang ada dihadapannya. Baru ia sadari, ketiga pria yang ada dihadapannya memiliki bekas luka di wajah mereka. "kenapa? Apa luka diwajah kami menakutimu?"

   "Dimana Eunna? Bukankah dia berada disini?"

   "Kau tidak ingat dengan kami?" kata pria yang lain. Yoona menggelengkan kepalanya setengah berpikir. "bagaimana dengan luka ini, kau juga tidak mengingatnya?"

   "Siapa kalian?" Yoona terlihat berhati-hati.

   "Siapa kami? Baiklah, aku akan membantumu mengingatnya." pria itu mendekatinya, berdiri tepat dihadapannya. Menatapnya dengan sinis. "kau lihat luka ini? Kaulah penyebab dari luka ini, kau masih tidak mengingatnya!!" suaranya terdengar menggema. "kenapa kau hanya menatapku? Kau tidak berniat meminta maaf?"

   "Kenapa aku harus meminta maaf?" jawabnya singkat, masih terus menatap mata pria itu.

   "Sialan kau, apa kau ingin mati?"

   "Tidak." jawabnya lagi. Pria yang lainnya mulai mendekatinya. Mencoba untuk menyentuhnya. Namun dengan cepat ditepis olehnya.

   "Wah, ternyata kau benar-benar cepat. Bela diri apa yang kau pelajari?"

   "Itu bukan urusanmu."

   "Haha.. jangan membuatku marah." mereka menertawainya, tawa mereka terlihat sangat menakutkan.

   "Katakan kepadaku dimana Eunna."

   "Kau benar-benar ingin mengetahuinya? Baiklah. Aku menahannya." pria itu tersenyum sinis kepadanya. "jika kau mau mendapatkannya, kau harus mendengarkan perkataanku."

   "Katakan." mengepalkan tangannya dengan erat. Menahan emosinya yang hampir tak terbendungkan.

   "Jika kau ingin adikmu selamat, jangan menghindari pukulan dariku." malam itu sepertinya akan menjadi malam terakhir baginya. Seakan tak memiliki banyak waktu lagi, merelakan tubuhnya dipukul, ditendang, dibanting, Hingga sebuah kursi melayang dan membentur tubuhnya dengan kuat. Tidak hanya sekali, ia mendapatkan pukulan itu berkali-kali.

     Mereka menyiksanya tanpa memikirkan bagaimana keadaannya. Nafasnya semakin melemah, membuka mata pun sangat sulit. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi menahan sakitnya, satu tusukan diperutnya membuatnya menutup mata. Terbaring diruangan itu, tak berdaya. Tidak lama dari itu, seorang pelayan membuka pintu.

   "Maaf sudah mengganggu, saya mau mengatakan, bahwa sebenarnya seseorang yang bernama Mati belum berkunjung ke kafe kami, mungkin anda salah nama atau... Astaga! Tolong...! Tolong...!" baru pelayan itu sadari, gadis yang ada dihadapannya sudah tak sadarkan diri.

--

     Gion selalu ramai akan pengunjung. Keberadaan geisha telah menarik perhatian setiap pengunjung. Tea house atau yang biasanya disebut ochaya selalu menghiasi setiap sudutnya. Begitu juga dengan machiya dan yang lainnya. Dimalam hari gion semakin ramai dikunjungi.

     Seperti machiya milik Akira, begitu banyak pengunjung yang datang membuatnya kerepotan. Syukurnya Sehun berkenan membantunya. Mengantarkan pengunjung kekamar yang telah mereka pesan. Membuatkan mereka teh hijau. Ada juga beberapa makanan ringan lainnya, seperti mochi (Kue dari tepung beras yang ditumbuk), ginkgo (Ginkgo biloba, biji pohon yang direbus dan dimakan seperti kacang), dan juga yakitori (Sate ala jepang). Keahlian memasak Akira merupakan salah satu alasan banyaknya pengunjung yang datang ke machiyanya. Sambil terus memasak, ditemani Sehun, akhirnya mereka bisa mengatasinya.

   "Banyak sekali pengunjung yang datang, kenapa kalian tidak membangunkanku." sembari mengikat rambut panjangnya, ia membantu Sehun mengantarkan makanan. "ini untuk meja nomor berapa?" tanyanya kepada Sehun. Ia terlihat bersemangat. Berbeda dengan pria itu, yang tengah mematung menatapnya.

   "Mari, kenapa kau ada disini?" tanya Akira yang sudah berlari mendekatinya.

   "Aku? Memangnya aku harus kemana?"

   "Bukankah kau menyuruh Yoona menenuimu di tea house?" sambung Sehun, pria itu mulai terlihat panik.

   "Aku baru saja bangun tidur." jawabnya dengan wajah polosnya, tidak mengerti akan ekspresi kedua manusia yang ada dihadapannya. Mereka berdua terlihat sangat cemas.

   "Aku harus mencarinya." kata Sehun. Meletakkan piringnya, melepaskan kain yang bergantung disaku celananya. Dapat ia rasakan sendi kakinya yang terasa kaku, segala pemikiran melayang dipikirannya.

     Langkahnya terasa berat, pikirannya seakan tidak ikut menggerakkannya. Tapi kini, tubuhnya benar-benar mematung. Diatas lantai yang dingin, seorang gadis terletak begitu saja. Tak bergerak. Pengunjung yang melihatnya langsung berteriak histeris, begitu juga dengan Eunna. Ketika ia mengetahui siapa yang sedang tergeletak disana, dirinya bagaikan diserang seribu serigala, tak berdaya dan pasrah.

     Disentuhnya wajah itu, matanya tertutup. Kulitnya yang lembut tertutupi darah. Tak ada tanda kehidupan disana. Dan yang paling menyayat hatinya, gadis itu tak lagi bernafas.

   "Eonni.. eonni.. kau bercanda? Sadarlah, kenapa kau bermain dengan darah ini.. jangan menakutiku." begitu lirih, bahkan lebih lirih dari pada bisikan. Memeluk tubuh itu, seakan tak bertulang, begitu lemah. Tak ada reaksi apapun. "eonni.. kau tidak boleh seperti ini.. bangunlah."

   "Tadi aku melihat gadis ini berjalan dari arah sana, kukira dia tidak waras, makanya aku tidak menghiraukannya. Tapi aku tidak menyangka, sepanjang perjalanannya, tubuhnya terus-terusan mengeluarkan darah. Sepertinya dia baru saja dikeroyok." teriak seorang pria dari kejauhan.

   "Eonni, bukankah kau gadis yang kuat? Bagaimana mungkin kau sampai seperti ini, jangan begini. Sadarlah eonni! Yak, Im Yoona! illona!"

   "Mari.. Sudahlah." Akira mencoba menenangkannya. Perlahan ia menarik tangan Eunna dari tubuh Yoona. Membiarkan tubuh itu dibawa Sehun. "mungkin sudah saatnya ia beristirahat."

     Tak bisa Akira pungkiri, peristiwa itu merupakan peristiwa yang paling memukulnya. Baru saja ia bersemangat menjalani hidupnya, ditemani dengan gadis yang baik itu, gadis yang akan ia rawat bagaikan anaknya sendiri. Gadis yang memerlukan kasih sayang darinya. Tapi tuhan berkata lain. Kematian mungkin adalah yang terbaik untuknya. Dan pria itu.

     Dengan rahangnya yang menegang, mencoba untuk tidak menangis. Membawa tubuh itu kedalam machiya untuk menghindar dari tontonan wisatawan, sembari menunggu ambulan tiba. Menutup tubuh itu dengan kain, dengan penuh kesedihan, memaksa tangannya agar segera menutup tubuh itu dengan kain yang ia pegang. Tapi terlalu sulit untuknya melakukan itu. Sangat sulit merelakan kepergian gadis itu di waktu yang sesingkat ini.

     Hingga tak terhindar lagi, air mata sukses mengalir. Hatinya seakan tertusuk ribuan duri. Nafasnya terasa berat dikarenakan tidak sanggup menerima kenyataan itu. Tapi tubuh gadis itu yang terasa dingin seakan memberi hantaman keras kepadanya, kenyataan bahwa gadis yang selama ini memenuhi pikirannya, mengisi hatinya, telah pergi meninggalkannya, selamanya. Isakan tangis pria itu membisik Eunna dan Akira yang berada beberapa langkah dibelakangnya. Mereka benar-benar terguncang.

--

     Tiga musim telah berlalu. Musim semi, panas, dan juga musim gugur terlewatkan begitu saja. Dan kini. Desember menyambutnya diikuti dengan turunnya kepingan salju. Musim dingin atau fuyu merupakan musim paling berat bagi orang Jepang karena mereka harus melawan suhu yang ekstrem.

     Dihadapan tumpukan salju, Eunna bermain seorang diri. Setelah ia memutuskan untuk kembali ke desa itu, dirinya mengalami banyak perubahan. Ia lebih ramah terhadap penduduk disana, membantu Akira yang juga memutuskan untuk ikut bersamanya. Mereka membuka kafe kecil-kecilan dihalaman rumahnya, tidak hanya itu. Eunna terlihat lebih bersemangat. Kepergian Yoona tak pernah disesalinya, hanya satu hal yang sampai sekarang masih tertinggal dibenaknya.

   "Boneka salju ini untukmu.. Aku membuatkannya dengan ukuran yang sangat besar, boneka salju pertama untukmu, eonni." ia bahkan tidak sempat memanggil Yoona dengan sebutan itu.

   "Mari, ada yang ingin aku perlihatkan padamu, kemarilah." teriak Akira dari dalam rumah. Eunna langsung berlari diatas tumpukkan salju yang hampir mencengkram setengah kakinya.

   "Ini, dari mana kau mendapatkannya?" terpana ketika melihat sekotak mainan yang dulunya sangat ia inginkan.

   "Aku mengambilnya dari kamar Yoona. Bacalah surat ini, sepertinya ini untukmu." Akira memberikan sepucuk surat yang sudah lusuh itu kepadanya.

'Eunna-a, mian. Aku baru bisa membeli mainan ini untukmu. Sulit untukku mengumpulkan uang disana. Sejak kepergian appa, aku hanya bekerja seorang diri, jadi menabung pun harus lebih bersabar.

Ottae? Apa kau senang? Ku harap begitu. Kembalilah Eunna-a, aku merindukanmu, sangat merindukanmu.'

   "Jangan menangis.." Akira mencoba menyadarkannya yang tengah diam membisu.

   "Aku tidak akan menangis!" selanya.

   "Lebih baik kau membantuku. Tidak lama lagi Sehun akan tiba, dia pasti lapar. Desa ini pasti akan mengagetkannya. Kenapa banyak sekali salju yang turun disini!" Berada dirumah itu juga merupakan salah satu alasan Eunna untuk tetap tegar. Kenangan buruk dimasa lalunya akan dijadikan sebagai pelajaran. Siapapun itu, sambutlah mereka dengan cinta.

-The End-