webnovel

Bisikan Iblis (5)

Dharmadipa menatap tajam pada Mega Sari dan si nenek bertampang menakutkan seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat dengan matanya. "Kakang Dharmadipa, sarungkan Kerismu dan silakan duduk!" ucap Mega Sari sambil tersenyum manis.

"Benarkah ini kamu Mega Sari?" tanya Dharmadipa yang masih tak mempercayai matanya.

Mega Sari tertawa kecil "Tentu saja ini aku Kakang, apakah ada yang lain dengan diriku calon suamiku?"

Kini Dharmadipa melotot, sorot matanya semakin tajam menatap Mega Sari dan si nenek bergantian "Aku ingin bertanya sesuatu padamu Mega Sari, dan jawablah dengan jujur!" tegasnya, Mega Sari mengangguk sambil tersenyum menggoda "Tentu Kakang, apakah yang ingin kau tanyakan?".

Jari telunjuk Dharmadipa menunjuk si nenek serta berhala dan perlatan perdukunan yang ada di sana. "Mega Sari siapakah dia? Dan apakah arti semua ini? Apakah engkau yang mengirim teluh pada Prabu Karmasura?"

Tanpa ragu-ragu Mega Sari menjawab jujur, "Ini adalah guruku Nyai Lakbok Kakang, Benar Kakang, aku dan guruku yang meneluh Prabu Karmasura!"

Marahlah Dharmadipa mendapati jawaban tersebut, "Edan! Edan! Kenapa kau melakukan perbuatan sesat seperti ini Mega Sari? APakah kau lupa pada ajaran guru kita di padepokan?"

Perkataan itu membuat si nenek marah tapi Mega Sari segera menahannya. Kemudian sekonyong-konyong, air mata sang Putri ini langsung keluar dari kedua matanya "Kakang Dharmadipa, aku melakukan ini semua demi mencapai tujuan kita, kalau aku tidak menyingkirkan Prabu karmasura kita tidak akan pernah bisa bersatu.!" rengeknya sambil menangis.

"Iya aku tahu itu, tapi kenapa kamu melakukannya dengan cara sesat seperti ini?!" bentak Dharmadipa.

Saat itu mata si Nenek berkilat-kilat menatap Keris pusaka yang ada di pinggang Dharmadipa, dia lalu merapal suatu mantera ajian untuk menahan sejenak khasiat dari Keris pusaka itu, setelah berhasil ia memberi isyarat pada Mega Sari untuk mengeluarkan aji peletnya untuk menenangkan dan menundukan Dharmadipa. Seketika itu juga Dharmadipa merasa bagaikan sedang berjalan diatas awang-awang, kepalanya kosong, yang ada di hati dan pikirannya hanyalah Mega Sari.

"Kakang Dharmadipa…" ucap Mega Sari sambil merangkul bahu Dharmadipa yang jiwanya sudah mulai dikuasai oleh Mega Sari. "Apakah Kakang tega kalau aku harus selamanya bersanding dengan Pangeran Mundingsura? Kakang aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan agar kita bisa bersatu kelak!"

Dharmadipa terdiam, seluruh tubuhnya terasa lemas. "Kakang Dharmadipa, apakah Kakang tega menggagalkan rencana kita? Padahal kita sudah saling dijodohkan sebelum kita lahir, semua yang aku lakukan ini untuk mencari jalan agar kita bisa bersatu Kakang, agar kita bisa menikmati nikmatnya kehidupan yang sebenarnya! Agar Kakang dapat bertahta di singgasana Mega Mendung dengan segala kebesarannya! Bayangkanlah kalau Kakang berhasil menjadi prabu Mega Mendung lalu berhasil menundukan Padjadjaran, Banten, dan Cirebon! Seluruh tanah Pasundan ini akan bersujud di bawah kaki Kakang! Sekarang apakah Kakang tidak mau untuk bersanding denganku menjadi Raja dan Ratu Mega Mendung?"

Dharmadipa mendesah, wajahnya berganti menjadi penuh senyuman. "Aku akan menyesal seumur hidupku kalau aku menolak tawaran itu Mega Sari!", Dharmadipa lalu mendekap Mega Sari.

"Benar Kakang, dekaplah saya, saya merindukan dekapan Kakang yang selalu hadir di setiap mimpiku!" desah Mega Sari. Melihat Mega Sari yang sudah dapat mengendalikan Dharmadipa, si Nenek yang tak lain adalah Nyai Lakbok segera pergi meninggalkan tempat itu bagaikan asap.

"Tapi bagaimanakah kau bisa berada disini? Mundingsura pasti melarangmu keluar dari kamarmu?" tanya Dharmadipa penasaran.

"Kakang tenang saja, aku telah membalikan matanya, yang berada di kamarku adalah seorang dayang istana yang aku buat seolah-olah itu adalah aku, jadi selama ini yang melayani nafsu pria bejat itu adalah dayangku, sementara aku masih tetap suci Kakang!" jawab Mega Sari yang membuat hati Dharmadipa sangat kegirangan, kini ia benar-benar terjerat oleh jarring cintanya Mega Sari, ia bagaikan kerbau yang dicocoki hidungnya oleh Mega Sari, ia hanya bisa menuruti kemauan Mega Sari tanpa bisa menolaknya meskipun sebenarnya itu bertentangan dengan hati nuraninya, tapi ia tak berdaya!

Saat itu terdengar kokokan ayam jantan, matahari mulai menampakan cahayanya di ufuk timur. "Kakang Dharmadipa, sekarang saatnya kau kembali ke keraton, aku pun hendak kembali ke keraton," ucap Mega Sari.

Dharmadipa mengangguk "Kamu betul Mega Sari, baiklah aku pergi dulu, kamu juga cepatlah pulang ke keraton." balas Dharmadipa yang langsung meninggalkan tempat itu.

Seperginya Dharmadipa, tiba-tiba Nyai Lakbok kembali berada di tempat itu. "Dia sudah pulang?" Tanya si nenek.

"Sudah Guru," jawab Mega Sari,

"Apakah tidak apa-apa kau melepasnya begitu saja Mega Sari?" tanya si nenek lagi.

Mega Sari tertawa kecil "Guru tidak usah khawatir, dia boleh perkasa, tapi dihadapan Mega Sari dia tidak lebih dari anak manis yang penurut!"

Nyai Lakbok manggut-manggut. "Ya… Dia memang punya kelebihan yang mengerikan, tanda rajah cakra bisma di keningnya itu… Dan sifat serta auranya hampir sama dengan ayahmu Prabu Kertapati!"

***

Pagi harinya, Dharmadipa kembali ke keraton Mega Mendung dengan langkah gontai, di kesatriaan Pangeran Mundingsura menghampirinya. "Bagaimana Adi Tumenggung? Apakah kau menemukan orang yang mengirim teluh itu?"

Dharmadipa mendesah sambil menundukan kepalanya "Maafkan saya Raden, rupanya ilmu saya cuma seujung kuku dari orang itu. Di perjalanan Keris saya seperti kehilangan tuahnya, lalu saya jadi seperti orang linglung yang berjalan kian kemari berputar-putar disekitar hutan diluar Kutaraja, untung kesadaran saya kembali saat matahari terbit dan bisa pulang… Maaf saya sudah mengecewakan Raden."

Pangeran Mundingsura menghela nafas berat dengan wajah yang penuh dengan raut kekecewaan. "Ya sudah tidak apa-apa… Nampaknya orang yang meneluh ayahanda Prabu bukan tukang teluh sembarangan, seorang tukang teluh pasti akan berpikir ribuan kali untuk meneluh seorang raja, apalagi di keraton Mega Mendung ini banyak orang sakti, dan hebatnya ilmu teluh itu, tidak ada seorang dukun atau tabib yang yang sanggup mengobati ayahanda Prabu!"

Dharmadipa hanya menundukan kepalanya, rasa keadilan yang ditanamkan oleh guru sekaligus ayah angkatnya dengan rasa cintanya pada Mega Sari yang meneluh Prabu Karmasura bergulat hebat didalam hatinya.

Tengah malam harinya, kejadian yang sama terulang lagi, terdengar lolongan anjing srigala yang saling bersahutan dengan kaokan Gagak hitam dan suara burung hantu yang menegangkan bulu roma bagi siapa saja yang mendengarnya, kuda-kuda serta hewan-hewan lain di keraton nampak gelisah dan saling meringkik, hawaa menjadi sangat panas dengan udara yang terasa pengap, bau bangkai santar tercium kemana-mana.

Dharmadipa yang sedari tadi gelisah tidak bisa tidur, bangun dari atas tempat tidurnya, ia meraih Keris pusakanya lalu keluar dari kamarnya, dia mendongkak melihat keatas langit. Kawanan burung gagak hitam berterbangan diatas keraton Mega Mendung dengan saling berkoakan, dan yang paling mengerikan adalah sebuah bola api yang sangat terang nampak berputar-putar diatas langit keraton, hatinya kembali mendua, "Oh guru apa yang harus aku lakukan?!" tanyanya dalam hati pada diri sendiri, sekilas wajah guru sekaligus ayah angkatnya dan ibu angkatnya berkelebat di pelupuk matanya.

"Guru… Ayah… Ibu…" rintihnya, dia lalu duduk bertafakur memusatkan pikirannya. "Mega Sari! Jangan kau teruskan perbuatan sesatmu itu! Ingat pesan guru kita! Tinggalkan perbuatan sesatmu itu!" ucapnya dengan telepati pada Mega Sari, "Mengapa sampai hati kau mau melakukan perbuatan sesat yang keji dan terkutuk ini?!" lanjutnya.

Tiba-tiba udara di hadapan Dharmadipa bergetar, lalu dari kegelapan malam munculah Mega Sari yang hanya merupakan bayangan dan tidak dapat dilihat oleh orang lain kecuali Dharmadipa. Bayangan gadis cantik ini berjalan lenggak-lenggok menghampiri Dharmadipa sambil tersenyum manis menggoda, "Minggir Kakang, tolong jangan halangi usahaku!" pintanya. "Apakah Kakang sudah tidak menginginkanku sebagai pendampingmu? Padahal kita sudah menjadi sepasang suami-istri sebelum kita lahir, Kakang ingat sewaktu kita sering bertemu di alam mimpi? Kakang ingat sewaktu aku membawa Kakang bertemu di alam halus? Apakah Kakang tidak mau mereguk segala kenikmatan dan kepuasan ketika nanti kita bersatu memerintah Mega Mendung dan seluruh tanah Pasundan?!"

Dharmadipa membuka kedua matanya dan menatap Mega Sari dengan tajam. "Aku hanya tidak mau berkomplot dengan orang dari aliran sesat sepertimu!" tegasnya.

Mega Sari menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, "Kakang menyebut saya penganut aliran sesat? Lalu menurut Kakang aliran yang seperti apakah yang termasuk aliran lurus? Aliran Islam seperti yang diajarkan oleh Guru Kita Kyai Pamenang dan Nyai Mantili? Bukankah tentara Islam yang telah membunuh ayah dan Ibu Kakang? Yang telah menghancurkan negeri Kakang?!" Dharmadipa mulai terpengaruh oleh ucapan Mega Sari, bara api dendam di dadanya berkobar kembali, dendam inilah yang membuatnya selalu terpuruk dan kini sedang dimanfaatkan oleh Mega Sari dengan rayuan mautnya!

Mega Sari menyeringai melihat ucapannya mulai termakan oleh Dharmadipa, bayangan itu lalu merangkul Dharmadipa, dengan suara manja ia berkata, "Ini semua tidak bisa kuhindari kekasihku, karena kematian Prabu Karmasura adalah jembatan untuk mencapai jalan menuju kebersamaan kita! Pelan kita sedang mencapai puncak kebahagiaan…

Kakang Dharmadipa, Kakang adalah calon raja, calon pemimpin Mega Mendung! Kakang harus faham bahwa politik untuk mencapai tujuan harus menghalalkan segala cara! Tidak peduli seberapa kotornya darah yang melumuri tubuh kita, tidak peduli seberapa banyaknya bangkai manusia yang harus kita injak! Seluruh prajurit serta rakyat yang mati di medan perang adalah tumbal untuk sebuah kekuasaan! Ribuan rakyat yang lapar atau yang sengaja dilaparkan juga adalah tumbal kekuasaan, tidak peduli pria-wanita, tua-muda, dewasa atau anak-anak bahkan bayi sekalipun! Ini selalu berlaku disetiap zaman, dari zaman manusia mulai mengenal kekuasaan sampai zaman yang tidak kita tahu, sampai alam semesta ini kiamat! Dan yang saya inginkan, kita berdualah yang berada di puncak kekuasaan itu! Maka sudah tugasku sebagai seorang istri untuk meluruskan jalan yang akan kita tempuh menuju kekuasaan itu Kakang!"

Mendengar penjelasan tentang politik kekuasaan yang disampaikan dengan suara manja nan lembut bagaikan buluh perindu dari mulut Mega Sari itu merobohkan dinding keimanan Dharmadipa yang selama ini telah goyah diterpa badai api dendam didalam jiwanya. Rasa keadilan yang ditanamkan oleh gurunya menguap entah ke mana, maka berkatalah pemuda ini dengan suara lemas, "Aku selalu tidak bisa menolak keinginanmu Mega Sari!".

Mega Sari pun tertawa bengis dengan penuh kemenangan, namun kelihatannya dan kedengarannya sangat indah bagi Dharmadipa, bagaikan taburan mutiara yang berjatuhan ke atas lantai pualam, bayangan perempuan yang sangat cantik itu bangun dari duduknya sambil tertawa-tawa lalu menghilang ditelan kegelapan entah ke mana!

Didalam sebuah gubug reyot yang tersembunyi di hutan luar Kutaraja Rajamandala, Mega Sari bangun dari semedinya. "Sudah kau urus pemuda pilihan hatinya itu?" tanya NYai Lakbok.

"Sudah guru, saya memanfaatkan gelora api dendam di hatinya untuk meruntuhkan keyakinannya!" jawab Mega Sari.

Nyai Lakbok tertawa mengkikik menyeramkan "Bagus muridku! Kau teruslah manfaatkan dendam di hatinya untuk mengendalikan pemuda itu! Sekarang lanjutkanlah, baca lagi manteranya!" perintah Nyai Lakbok, mereka berduapun meneruskan ritual ilmu santet Ngareh Jiwanya dihadapan berhala yang ada di dalam gubug itu.

Sementara itu di kesatriaan keraton Mega Mendung, Dharmadipa kembali mendongkakan kepalanya ketas langit, di langit bola api yang tadi sempat menghilang kini muncul lagi, bola api itu berputar-putar lalu melesat kearah kamar tamu kehormatan yang ditempati oleh Prabu Karmasura, bola api itu meledak diatas gentengnya dan langsung terdengarlah suara jeritan pria tua yang tak lain adalah Prabu Karmasura!

Menyaksikan semua itu, Dharmadipa jatuh berlutut dengan lemas, air matanya menetes, "Maafkan aku Guru… Ayah dan Ibu benar, sekarang saya telah terjerat dalam cengkraman suatu kekuatan maha dahsyat yang saya sendiri tak tahu itu apa dan saya tak mampu melepaskannya! Oh Guru…mengapa aku selalu menjadi orang yang kalah?" ratapnya.