webnovel

Wartawan Tua

Dul Suid termenung. Wajahnya masam. Rongga dadanya bergemuruh. Lembar surat kabar yang sedang dibacanya hampir saja diremasnya. Di halaman rubrik "Hukum dan Kriminal" tertulis berita headline berjudul "Satgas Berantas Pungli Ringkus Oknum Kantor Imigrasi".

Dul Suid menyambut gembira keberhasilan Satgas Berantas Pungli tersebut. Tetapi, yang membuat wajahnya masam adalah aksi-aksi Satgas tersebut baru sebatas di kota-kota besar. Itu pun hanya di kantor-kantor instansi tertentu. Padahal, jika dilihat struktur organisasi Satgas tersebut mengalir sampai ke daerah-daerah.

"Mana gebrakan Satgas di daerah?" gerutu Dul Suid.

"Satgas ini sudah lama bergerak, masa masih berputar-putar di sebagian kota saja? Padahal di daerah pungli merajalela, mengapa tangan Satgas Berantas Pungli seperti tidak sampai ke daerah?" Dul Suid masih menggerutu dalam hati.

"Apa dayaku? Ah, Persetan dengan semua itu!" dia seperti marah dengan diri sendiri. Ujung lembar Surat Kabar tanpa disadari diremasnya. Dia gemas! Dia membanting Surat Kabar ke atas meja.

Tingkah Dul Suid ternyata sejak tadi diawasi oleh isterinya, yang menatap penuh kesal sambil geleng-geleng kepala.

"Sudah Ibu bilang, Bapak jangan membaca surat kabar dan nonton berita televisi lagi. Bapak kan tahu akibatnya? Tiap habis membaca berita di surat kabar, Bapak tidak bisa menahan emosi. Kalau sudah begitu sesak napas Bapak kambuh. Eeh, masih saja mencuri-curi baca surat kabar," gerutu Ida, isteri Dul Suid. Surat kabar yang menggeletak di atas meja diambil Ida, lalu dibawanya ke dapur. Entah mau diapakan.

"Bapak itu sudah tua. Bapak bukan lagi wartawan muda yang gagah perkasa, yang bila melihat ada ketidakadilan bisa langsung bertindak menggebrak dan sebagainya," Ida mengingatkan.

Mendengar kata-kata isterinya, Dul Suid hanya bisa mendesah panjang, lalu menyandarkan tubuhnya dan kepalanya di kursi. Semua yang diucapkan isterinya itu benar. Dul Suid tidak bisa menyangkalnya. Itulah kenyataannya sekarang. Dia hanya seorang wartawan tua. Tepatnya bekas wartawan. Orang tua yang sudah lama tidak menulis. Dan, kalaupun menulis belum tentu ada surat kabar mau memuat tulisannya.

"Aah!" Dul Suid mendesah. Dia seakan disadarkan siapa dirinya saat ini. Dul Suid seperti baru bangun dari mimpi setelah mendengar kata-kata isterinya tadi. Sudah lima tahun ini dia mengidap penyakit, yang kata dokter spesialis adalah penyakit Asma Bronkial Kronis.

Dan, karena penyakit itu pula, dua tahun lalu dia mengundurkan diri dari pekerjaan mengelola sebuah tabloid. Sekarang dia menganggur. Dia tidak boleh kelelahan. Harus menjaga emosi jangan sampai menggelegak karena marah. Marah akan membuat penyakitnya kambuh.

Dul Suid masih duduk termenung dan menyandar di kursi plastik di ruang tamu rumahnya, ketika isterinya beranjak ke dalam. Pikirannya masih mengingat berita headline yang baru saja dibacanya. Hatinya bergemuruh. Sebuah kontradiksi menggeluti jiwanya. Surat-surat kabar dan televisi memberitakan sukses Satgas Berantas Pungli, tetapi pada kenyataannya, di daerah tempat tinggalnya, pungli merajalela. Gurita pungli yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan Satgas.

Dia mendapat cerita dari teman-temannya, kenalan, dan para tetangga, tentang pungli yang masih ramai dan terang-terangan di kantor-kantor pelayanan publik di daerahnya. Kantor-kantor pemerintah daerah maupun kepolisian, yang bersentuhan dengan kepentingan publik.

Yang menjadi korban pungli adalah mereka, para rakyat kecil. Rakyat kecil yang mencari sesuap nasi untuk keluarga dari kerja sebagai buruh harian, sopir angkutan umum, pedagang kecil, atau penjaga malam pasar tradisional.

Beberapa hari lalu Dul Suid mendapat telepon dari rekannya, seorang karyawan kecil sebuah perusahaan swasta. Rekannya itu menceritakan pengalaman pahit mengurus asuransi Jasa Raharja anaknya yang kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor.

"Saya dimintai uang tujuhjuta, Pak, agar sepeda motor anak saya bisa diambil di kantor polisi," kata suara di ponsel Dul Suid.

"Subhanallah!," Dul Suid terperanjat. "Orang kena musibah masih dimintai uang?" tanya Dul Suid tidak percaya.

"Iya, Pak. Begitulah kenyatannya," jawab rekannya di posel.

"Sekarang bagaimana, Mas? Jadi diambil sepeda motornya?" tanya Dul Suid.

"Sementara saya pending dulu, Pak. Gak punya uang sebanyak itu. Untuk operasi jari kaki anak saya yang patah akibat kecelakaan itu, saya sudah habis duapuluh juta lebih," papar rekannya.

"Lantas, apa alasan oknum polisi itu minta uang?" Dul Suid bertanyak penasaran.

"Dia bilang untuk bagi-bagi teman-temannya dan petugas Jasa Raharja yang mengurus asuransi. Polisi itu bilang 'Bapak nanti kan, dapat duapuluh juta dari asuransi'," ungkap rekan Dul Suid.

"Terlalu! Tega sekali oknum itu," gerutu Dul Suid gemas bercampur marah.

Pengalaman pahit rekan Dul Suid itu adalah gambaran nyata kondisi sehari-hari di lingkungan masyarakat bawah. Masyarakat yang tidak bisa melepaskan dirinya dari kesibukan hilir- mudik di jalan raya.

Kecelakaan lalulintas terjadi setiap hari di setiap sudut negeri ini, dan setiap peristiwa kecelakaan itu menjadi "rejeki haram" oknum-oknum kotor di instansi terkait. Ini sungguh kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Pertanyaannya, apakah tangan-tangan Satgas Berantas Pungli mampu menjangkau sampai ke pelosok-pelosok negeri ini?

Dul Suid, si wartawan tua, hanya bisa mendesah resah bersandar di kursi bututya. Dia heran. Peristiwa seperti yang dialami rekannya itu terjadi nyata di depan mata masyarakat. Apakah tidak ada seorang pun wartawan atau petugas Satgas Berantas Pungli yang tahu, setidaknya "mencium"nya?

Sejenak Dul Suid tercenung. Pikirannya melayang jauh ke belakang, ke masa puluhan tahun silam, saat dia masih menjadi wartawan muda. Ketika menjadi seorang reporter di sebuah surat kabar daerah di Lampung. Dia wartawan yang tidak akan membiarkan ketidak-adilan atau kecurangan terjadi di depan matanya.

Jika dia mengetahui ada ketidak-adilan atau kecurangan di sebuah instansi, dia langsung bertindak. Dul Suid muda melakukan investigasi dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Setelah lengkap dan cukup syarat untuk menjadi berita, maka dia menulis dan menyerahkannya ke meja redaktur. Besok beritanya terbit dan bikin gempar.

Tidak sedikit kasus korupsi, manipulasi, dan pungli diungkapnya dan diberitakan. Tak terbilang juga orang yang terkait dengan perkara-perkara yang diungkapnya berdatangan untuk mengajak "damai". Semua ditolak secara halus. Tak jarang juga dia harus bersitegang dengan oknum redaktur yang menghalang-halanginya membuat berita pengungkapan kasus.

Keberhasilannya mengungkap berbagai kasus bukan semata kerjanya sendiri. Dia dibantu orang-orang "dalam" instansi terkait, yang masih mencintai kejujuran dan keadilan. Dul Suid menyadari bahwa apalah daya dirinya jika bekerja sendiri mengungkap kasus di sebuah instansi.

Dan, yang tak kalah penting adalah peran masyarakat. Informasi dari masyarakat banyak membantunya menyingkap berbagai misteri kasus di sebuah instansi. Informasi yang sudah lengkap dan akurat itu, lalu dikonfirmasi kepada pihak berwenang. Kemudian diangkatnya menjadi berita.

Kasus besar yang pernah diungkapnya dan menjadi berita menggegerkan adalah pencurian kayu dan rotan di salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Tanggamus (waktu itu masih menjadi bagian Kabupaten Lampung Selatan). Pencurian puluhan ton kayu dan rotan setiap itu didalangi oleh oknum kepala Resort Pemangku Hutan (KRPH) setempat, yang seharusnya menjaga hutan lindung tersebut.

Pikiran Dul Suid masih melanglang ke masa lalu, saat dia mendatangi pos polisi hutan di salah satu kawasan hutan lindung dan mengaku sebagai panitia lomba lintas alam mahasiswa Lampung, yang sedang membuat  jalur Lomba Lintas Alam. Berkat penyamarannya itu, Dul Suid berhasil mengumpulkan banyak data dan fakta lapangan lengkap dengan foto tumpukan kayu dan rotan di Pos Polisi Hutan.

"Ah, itu masa lalu," dia seperti tersentak dan terbangun dari lamunan masa lampaunya. Dia menyadari kondisi saat ini berbeda dengan masa ketika dia muda. Dulu masih banyak wartawan yang rela berkorban demi memperjuangkan sebuah idealisme.

Dia ingat satu nama yang dikaguminya, yakni Panda Nababan, yang berhasil mengungkap pungli jembatan timbang sepanjang pulau Sumatera di era 80-an. Panda Nababan menyamar sebagai kernet truk demi mendapat data akurat tentang kasus pungli yang puluhan tahun tak pernah bisa diberantas itu.

Dan, berkat investigasi Panda Nababan, seluruh jembatan timbang ditutup oleh Pangkopkamtib Lamsamana Sudomo. Sebuah keberhasil yang cemerlang dari seorang wartawan.

Dia melihat kenyataan wartawan muda saat ini seperti "mati rasa" terhadap kepentingan rakyat kecil. Hal itu dapat dilihatnya dari maraknya pungli di kantor-kantor pelayanan publik mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai ke pusat.

Yang paling nyata dirasakan adalah pembuatan KTP elektronik. Perkara yang memang dari hulunya bermasalah itu, kini jadi ajang mencari keuntungan oknum di Kantor Catatan Sipil. Dengan dalih blanko habis, oknum kantor tersebut tega mengombang-ambingkan masyarakat yang ingin membuat KTP elektronik. Namun, setelah ada bisik-bisik dan nego melalui calo dan membayar seratusribu rupiah, ajaib! Blanko yang semula dikatakan habis, tiba-tiba ada.

"Huh!" Dul Suid mendesah. Resah. Terbayang di benaknya rakyat kecil selalu saja jadi santapan empuk oknum yang mencari keuntungan pribadi dengan jalan mempersulit orang lain.

Jika demikian adanya, apalah arti dari perubahan sebutan PNS (Pegawai Negeri Sipil) menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Perubahan sebutan tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi perubahan mental. Yang perlu dibenahi adalah mental. Mental yang sakit harus segera diobati, ibarat kanker atau tumor harus dioperasi sampai tuntas.

Dul Suid, si wartawan tua, sudah gatal tangannya ingin menulis berbagai ketimpangan itu, lalu mengirimnya ke media massa. Tapi, dia jadi ragu, mengingat dirinya sekarang bukan lagi seorang wartawan organik dari salah satu surat kabar atau majalah. Dia hanya seorang tua yang pernah manjadi wartawan.

"Apa ada media yang mau menerima tulisan saya?" hatinya berkata setengah mengeluh. Lelaki tua yang nyaris kehilangan rasa percaya dirinya ini, berusaha membangkitkan kembali semangatnya. "Aku harus tetap menulis meskipun hanya dimuat di blog pribadi. Suara hati ini harus dikeluarkan, disebarkan walau hanya bisa di dunia maya," hati Dul Suid berkata penuh tekat.

Dia lalu beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamar. Dia berkemas. Berganti baju dan celana.

"Mau kemana, Pak," suara isterinya tiba-tiba mengejutkan Dul Suid. Rupanya sejak tadi sang isteri mengamati gerak-gerik suaminya saat meninggalkan kursi ruang tamu.

"Saya mau  pergi ke warnet dulu, Bu," jawab Dul Suid singkat. Dia bertekat membuat sebuah blog pribadi di situs gratisan, tempat dia akan memposting semua tulisannya. Tempat menampung keluh-kesahnya tentang ketidak-adilan dan kecurangan oknum-oknum aparat negara. Isterinya menatap sendu. Dia tahu persis gejojak jiwa sang suami, si wartawan tua.