26 Sahabat

"Pram.."

"Ya nona.."

"Masih saja kamu memanggilku, nona."

"Maaf, aku kira ini masih di lingkungan pekerjaan. Saya tidak bisa melakukan itu."

Pramudya hendak kembali melangkahkan kakinya meninggalkan wanita cantik berwajah sendu. Luka yang terus berdarah mengingat masa lalunya tak mampu Ia tutupi jika sedang berada di hadapan laki – laki yang merupakan salah satu pilot di maskapai miliknya.

"Aku hanya ingin teman, Pram."

Pramudya menghentikan langkahnya, menarik nafasnya dalam – dalam. Bos sekaligus sahabatnya ini memang selalu membuatnya tak tega untuk sekedar mengacuhkannya.

"Baiklah, lima belas menit lagi kita bertemu di café seberang."

Setelah itu Pramudya lalu pergi meninggalkan Laura yang hanya mengangguk pelan kemudian ikut beranjak pergi dari area bandara menuju ke sebuah café tempat biasa mereka makan bersama.

*****

"Ada undangan nih, bos." Andika meletakkan sebuah undangan berwarna maroon ke atas meja kerja Bima.

"Dari siapa ini?" Tanya Bima lalu mengambil undangan yang tadi di letakkan oleh sahabat sekaligus asistennya.

Andika tak menjawab Ia hanya membiarkan Bima membuka dan mencari tahu isi undangan itu. Pasalnya sudah beberapa kali mereka mendapatkan undgan itu namun Bima tak mau untuk menghadirinya.

"Reuni?"

"Hm."

"Ini jauh man…"

"Terus? Alasan gitu buat ga datang lagi?"

"Kerjaan banyak."

Andika menarik nafas panjang, Andika sudah sangat paham jika akan ada banyak alasan yang akan di lontarkan oleh sahabatnya itu untuk menolak untuk hadir.

"Siapa tahu kali ini Laura datang. Kau mungkin bisa menyelesaikan masalah mu dengannya. Dengan begitu kamu bisa memulai hidup baru ldengan Sefia." Andika langsung beranjak dari ruangan Bima setelah melontarkan kata – kata itu.

BIma menarik nafas panjang, lagi…. Dia mengingat perjalanan kisah cintanya dengan Laura. Dari mulai mereka menjalin persahabatan kemudian menjadi sepasang kekasih walau pada saat itu taka da restu dari orang tua Bima. Dan saat restu itu mereka dapat dengan teghanya Laura pergi meninggalkan bima saat rencana pernikahan mereka sudah di depan mata.

Setelah berbagai pertimbangan akhirnya Bima memutuskan untuk menelpon Sefia, sekertaris yang telah resmi naik pangkat menjadi istrinya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Bima tersenyum kecil mendengar suara lirih dari ujung telpon.

"Bagai mana keadaanmu? Sudah baikan?"

"Alhamdulilah, sudah lebih baik, ada apa kau menelpon, aku yakin bukan hanya untuk menanyakan kabarku kan?" Tebak Sefia.

Bima tersenyum lebar kali ini, Sefia selalu tahu apa yang Ia pikirkan.

"Iya kamu benar."

"Jadi ada apa?"

BIma terdiam, Ia tak langsung menjawab.

"Bim…"

"Ya."

"Jadi ada apa?"

"Ehm… apa kamu mau menemaniku datang ke acara reuni kampusku?"

"Reuni kampus? Itu jauh Bim, memangnya kapan?"

"Satu minggu lagi kok. Kamu keberatan?"

"Tidak. Baiklah aku akan menemanimu."

Bima tersenyum senang, "Baiklah. Terima kasih."

"Sama – sama."

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

"Bim.."

"Hm.."

"Masih ada yang ingin kamu katakan?"

Terdengar helaan nafas panjang di telingga Sefia.

"Ada apa?" Tanya Sefia dengan nada selembut mungkin, Ia mencoba menebak jika pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu sedang bimbang.

"Sef.."

"Ya.."

"Bagai mana kalau kita sekalian bulan madu? Ehm… maksud aku?"

"Oke." Belum sempat Bima menyelesaikan kalimatnya, Sefia memotong dengan memberikan jawaban yang membuat kedua jantung yang berjauhan itu berdetak sama hebatnya.

"Baiklah, akun akan menyiapkan semuanya. Kamu sudah makan?" Ucap Bima sambil menatap penunjuk waktu di pergelangan tangannnya.

"Sudah."

"Ok kalau begitu, sampai bertemu di rumah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Bima tersenyum lebar,entah mengapa Ia merasakan hatinya yang sangat bahagia dan kini jantungnya pun ikut berdetak kencang.

"Semoga memang ini yang terbaik."

"Jadi? Sudah kamu putuskan?" Tanya Andika tiba – tiba.

Bima terlonjak kaget karena tak menyangka jika Andika ternyata telah kembali ke ruangan kerja miliknya.

"Setan lo." Ucap Bima spontan sambil mengelus dadanya.

Andika terkekeh, "Segitunya… katanya ga jatuh cinta ternyata berbunga – bunga." Goda Andika.

"Semprul!"

"jadi datangkan?"

"Hm."

"Bulan madu sekalian?" Goda Andika lagi.

Bima langsung melotot tajam, sontak saja pulpen diatas menjadi korbannya. Sang pulpen mendarat tepat tepat di dada Andika yang semakin terkekeh karena tingkah sahabatnya.

"Aku suruh Emon buat nyiapin baju kalian berdua." Andika hendak berlalu namun Emon ternyata telah berdiri di ambang pintu.

"Panjang umur nih bocah baru di omong dah muncul aja." Ucap Andika lalu kembali duduk di tempatnya.

Emon dengan langkah gemulai berjalan menuju ke sofa di mana Andika pun berada di sana.

"Ada apa? Nyari Eike?"

"Iyess… ada tugas buat elo, Mon."

"Tugas apaan kendi?"

"Tuh! Cari baju buat Tuan dan Nyonya bos."

"Dalam rangka apa?"

"Reuni… lo gam au datang?"

"Eh! Tumben si mas bos mau datang? Habis kesambet?"

"Sembarangan Lo, Mon." Sergah Bima.

Emon tertawa, "Ya ga pernah – pernah gitu Ye mau datang ke acara begituan. Mau pamer bini?"

"Udah siapin aja sih… tapi jangan kaya dulu ya.." Kata Andika.

"Assiiappp… eike udah professional."

"Berarti dulu memang amatiran." Bima tertawa terbahak.

"Enak aja, gini – gini eike lulusan desaigner ya.."

"Ya lulusan desaigner ngapa juga lo kerja disini? Bukan kerja sama papi lo aja." Ucap Kendi.

"Ya bagai mana lagi, lo kan tau Ndi, kalau bokap gwe sebenarnya ga setuju kalau aku jadi designer."

"Lha terus?"

"Ya makanya eike kerja disini, itu sarat papi kalau aku mau jadi designer aku juga harus bisa menjadi penerus papi."

"Lha! Usaha bokap lo di pertambangan, sedang lo designer. Lo yakin?"

"Itu tugas Bima ngajarin Eike."

"Lo harus bayar mahal ma gwe." Ucap Bima.

"Eike udah jadi asisten lo, emang masih kurang?"

"Tapi kan Lo gwe gaji."

"Ya salam, sama aja bohong dong Ah! Gaji eike habisbuat ngasih ke you.."

Bima dan Andika tertawa melihat Emon yang nampak kesal.

"Katanya Sefia sakit?" Tanya Andika

"Iya, dia kurang enak badan semalam dia demam."

"KIrain sakit anu nya… ternyata demam?" kata Emon dan Andika bersama – sama.

"Sialan kalian."

Kini gantian Emon dan Andika yang tertawa terbahak melihat raut wajah Bima yang nampak merah.

"Oya, Lo di mau nginep di hotel apa ke apartemen lo nanti saat reuni?"

"Gwe nginep di hotel aja, tapi sesekali bakal jenguk apartemen juga."

"Ngapa juga ga sekalian You nginep di apartemen, ngirit tau…"

"Eh! Mon! bos kita itu mau sekalian bulan madu jadi lebih afdol nginep di hotel."

"Wow… bulan madu?" Emon tersenyum gemas.

"Jangan bilang lo juga mau nginep di hotel yang sama ama gwe. Awas aja lo!" Ancam Bima.

"Ih Mas Bim pelit."

"Biarin, Lo tajir buat apa duit Lo?"

"Iya deh Iya, ntar Eike bareng elo ya ndi?"

"Bareng gwe? Ogah!"

avataravatar
Next chapter