3 Jalan-jalan?

<p>Dengan wajah kesal Sefia melangkah di belakang bosnya yang nampak menyembunyikan senyumannya dengan berjalan mendahului sekertaris warisan dari papanya.<br/>"Ayo cepatan jalannya! Kamu lelet amat sih! kalah tuh siput."<br/> <br/>"Baik Pak."<br/>"Apa?" Bima menoleh ke belakang dengan wajah sok garang menatap Sefia.<br/> <br/>"Baik Mas Bos."<br/>Bima kembali menatap lift yang belum terbuka lalu tersenyum sambil menunduk. Yakin Ia sangat terhibur saat melihat wajah kesal Sefia.<br/> <br/>Tinng<br/> <br/>Pintu lift terbuka, Bima melangkah lebih dulu memasuki lift lalu diikuti oleh Sefia dengan mendekap berkas di dadanya.<br/> <br/>Mereka hanya terdiam selama berada di dalam lift, Bima sesekali melirik Sefia yang berdiri di belakangnya dengan kepala menunduk.<br/> <br/>"Ga ada yang buang uang di lantai, kenapa kamu terus menunduk apa yang kamu cari?" Tanya Bima tanpa menoleh pada Sefia, Ia hanya melihat wajah Sefia dari pantulan dinding baja di hadapannya.<br/> <br/>"Tidak ada mas boss."<br/>"Terus kamu menghindari saya, memangnya saya ini ga enak untuk kamu lihat apa? Saya kurang ganteng? Sampai kamu lebih memilih lantai sebagai tontonan dari pada aku yang gaji kamu."<br/> <br/>"Maaf Mas Bos."<br/> <br/>TING<br/><br/>Pintu lift kembali terbuka, kini mereka berjalan menuju ke lobby dimana mobil Bima telah terparkir disana. Para karyawan yang melihat mereka berjalan hanya menunduk sopan, mereka tahu siapa yang berjalan di depan kawan mereka di lantai 38, Bima putra pemilik kantor tempat mereka mengais rejeki.<br/> <br/>Mungkin hanya Sefia yang tak mengenali lebih awal bagai mana wajah Bima dikarenakan saat perkenalan tempo hari, gadis itu terpaksa ijin tidak masuk ke kantor karena diare yang tiba – tiba menyerang. Kebiasaan Sefia yang memang menyukai makanan pedas membuat gadis itu rentan sakit perut dan juga diare.<br/> <br/>"Bisa cepet ga sih jalannya!" Bima kembali memasang wajah garang, padahal di dalam hati Ia senang bisa melihat wajah kesal yang justru menambah imut wajah Sefia.<br/> <br/>'Ya Allah gustiii, pantesan papa betah di kantor.' Batin Bima yang sudah duduk di belakang kemudi menunggu Sefia masuk ke dalam mobil.<br/> <br/>"Ya Ampun! Kamu pikir aku ini sopir kamu apa? Duduk di depan!" Kembali Sefia harus mendengar suara tak bersahabat bos barunya itu.<br/>Dengan malas Sefia lalu berpindah ke kursi depan tepat di samping Bima yang sedang menatapnya tajam.<br/>Belum juga Sefia berhasil memasang sabuk pengaman dengan benar, mobil itu tiba – tiba saja telah melaju membuat Sefia tersentak kaget dan menatap bos barunya dengan wajah kesal.<br/> <br/>'Ya Allah, dasar bos kupret!' Rutuk Sefia dalam hati.<br/> <br/>"Kenapa kamu lihatin saya kayak gitu? Hati – hati nanti jatuh cinta." Ucap Bima sambil menaikan kedua alisnya menatap Sefia sekilas.<br/> <br/>"Yang ada Mas Bos yang bakalan jatuh cinta sama saya." Akhirnya tak tahan juga mulut Sefia untuk tetap diam.<br/><br/>"Why?"<br/><br/>"Karena Mas Bos selalu marah – marah sama saya." Sahut Sefia dengan wajah cemberut.<br/><br/>"Bukan itu maksud pertanyaan saya."<br/><br/><br/>"Lalu?"<br/><br/>"Memangnya kenapa kalau saya jatuh cinta sama kamu?"<br/> <br/>Sefia lalu melirik bos barunya itu, Ia bingung harus menjawab apa. Lain Sefia lain pula dengan Bima. Hatinya bersorak girang karena berhasil menjbak Sefia dnegan kata – katanya.<br/> <br/>*****<br/> <br/>"Lho, papah sudah pulang, tumben?" Tanya Sandra yang tak lain istri Bratasena, Ibu dari Bima dan adiknya si Cempreng Camelia.<br/> <br/>"Kan sudah ada Bima, biarkan saja dia yang mengurus kantor mulai sekarang, lagi an kan papa kangen sama mama." Ucap Bratasena sambil berbisik mesra tepat ditelingga sang istri, yang langsung mendapat cubitan di pingang laki – laki yang menikahinya hampir 32 tahun lamanya.<br/>"Gombal, pasti ada maunya." Tebak Sandra.<br/>"Mama memang selalu tahu apa yang papa pingin, ayok mah ke kamar."<br/>"Papah!!!"<br/>Baru saja mereka hendak beranjak dari ruang tengah, suara si bungsu mengagetkan mereka.<br/> <br/>"Ya Allah, Camel! Untung papa ga ada riwayat sakit jantung, kalau ga papa udah masuk IGD denger suara kamu."<br/> <br/>"IH! Papa lebay deh." Camelia berjalan menuju pada kedua orang tuanya yang saling memeluk dari samping lalu mengecup kedua pipi mereka bergantian.<br/> <br/>"Kenapa kamu triak – triak?" Tanya mama Sandra.<br/>"Ga ada apa – apa, kangen aja sama mama dan papa." Jawab Camelia sambil tersenyum manis di hadapan kedua orang tuanya yang justru menatap anak bungsu mereka dengan tatapan curiga.<br/> <br/>"Pasti ada maunya." Tebak Brasena dan istrinya bersamaan.<br/> <br/>"Idih memangnya papa, kalau ngomong kangen sama mama pasti ada maunya?" Tembak Camelia membuat kedua orang tua saling pandang.<br/> <br/>Tak!<br/> <br/>Satu sentilan di jidat sang putri meluncur dari tangan sang papa.<br/>"Kamu nguping ya?"<br/> <br/>"Siapa yang nguping? Orang papa ngomongnya kenceng gitu, Tuh si Bibi aja denger kali pah." Sahut Camelia sambil mengusap keningnya bekas sentilan sang papa.<br/> <br/>Bratasena lalu menoleh pada asisten rumah tangganya yang sedang merapikan hiasan di lemari kaca.<br/>"Ya udah, kamu mau apa teriak – teriak panggil papa?"<br/>"Mel mau jalan – jalan sama teman – teman ke puncak boleh?"<br/>"Teman kamu siapa?" Tanya sang papa karena si bungsu termasuk anak yang ramah sehingga mempunyai teman yang cukup banyak apa lagi kegiatan yang selalu berhubungan dengan alam membuat si bungsu lebih banyak memiliki teman laki – laki dari pada perempuan.<br/> <br/>"Andi, Toni, Gara, Sasa, Meri…. Dan masih banyak lagi.." Jawab Camelia menyebutkan satu persatu teman – temannya dalam perkumpulan motor tril nya.<br/> <br/>"Laki – laki semua?" Tanya sang papa dengan sedikit melotot.<br/>Camel memutar bola matanya malas "Ya Ampun papa, tadi MelMel bilang ka nada Sasa, Meri itu artinya ada perempuannya juga disana papa sayang…"<br/> <br/>"Tidak boleh!" Jawab Bratasena tegas.<br/>"Pah… masa ga boleh sih?" Rajuk Melmel sambil bergelayut di lengan sang papa, berharap sang papa akan iba melihat dirinya yang nampak bersedih.<br/> <br/>"Tidak ada kakak kamu yang mengawasi mu selama disana, karena kakak sekarang sibuk bekerja menggantikan papa."<br/>"Kakak baru dua kali ikut Melmel nge-trill pah, biasanya juga melmel Cuma sama temen melmel aja."<br/> <br/>Bratasena masih berpikir dan menimbang, jujur saja terkadang ia sangat khawatir terhadap putrinya yang memiliki hobbi yang jarang di minati oleh perempuan.<br/> <br/>"Sudahlah pah, ijinkan melmel ke puncak, lagian kan kuliahnya baru selesai ujian, biar dia refresing sejenak."<br/> <br/>Bratasena menatap istrinya, lalu tiba – tiba senyum mengembang di wajah Bratasena yang justru membuat jantung ibu dua anak itu berdegup kencang.<br/> <br/>"OK! Tapi sebagai gantinya papa juga mau jalan - jalan ke puncak gunung tiap malam."Bisik Bratasena dengan suara cukup pelan kali ini takut terdengar anak bungsu mereka.<br/> <br/>Kedua bola mata Sandra melotot Ia sangat tahu apa yang dimaksud dengan suaminya tersebut, walau usia mereka tak lagi muda namun jiwa muda mereka tak pernah luntur sedikitpun, termasuk jiwa kemesuman suaminya yang berhasil menelurkan dua anak mereka yang ganteng dan cantik.<br/> <br/>"Jadi gimana nih pa, diijinin ga?" Rajuk camellia dengan wajah penuh harap.<br/> <br/>Bratasena kembali menatap wajah sang istri meminta jawaban.<br/>"Gimana mah? Ijinin ga?" Tanya BRatasena sambil memainkan kedua alisnya.<br/>"Iya… iya…"<br/> <br/>Bratasena tersenyum lebar, karena ia bisa berpatroli tiap malam dan tidak takut kesiangan untuk berangkat ke kantor karena ada Bima yang telah menggantikannya.<br/> <br/>"Oke, papa ijinkan dengan satu syarat."<br/> <br/>"Apa pah?"<br/>"Kembali pulang ke rumah dengan keadaan utuh persis sama seperti saat kamu berangkat ke puncak!" Tegas sang papa.<br/> <br/>Camelia mengangguk mantap. "Oke pah siap! Terimakasih papaku sayang.. muah."<br/>"Terima kasih mama, kalian berdua terdebest pokoknya dah." Kata Camelia setelah mencium kembali kedua pipi orang tuanya lalu segera berlari masuk ke dalam kamarnya.</p>

avataravatar
Next chapter