27 goda menggoda

Suasana malam semakin sahdu setelah turunnya hujan. Sisa – sisa kedinginan masih terasa menusuk tulang. Bima yang baru saja masuk ke dalam kamar setelah membersihkan dirinya di kamar mandi menatap wajah Sefia yang sudah terlelap di dalam selimut tebal. Hatinya menghangat. Bima kembali melangkah ke arah ranjang mengambil baju yang telah di siapkan oleh Sefia sebelum terlelap. Rasa sakit di kepalanya membuat Sefia tak mampu menemani sang suami walau hanya sekedar menanyakan kabarnya seharian ini.

Perlahan tangan Bima terulur menyentuh kening Sefia, memastikan jika istrinya itu sudah lebih baik dari pada saat Ia tinggalkan siang tadi saat makan siang. Yah. Sesuai janjinya Bima kembali pulang saat makan siang untuk melihat kondisi istrinya.

"Sudah tidak panas." Gumam Bima lalu melangkah ke arah sofa dan mendudukkan pantatnya dengan santai. Tangannya meraih laptop lalu melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan di kantor karena saking banyaknya pekerjaanya yang menumpuk seakan tak pernah ada habisnya.

Hampir tengah malam Bima masih saja sibuk berkutat dengan pekerjaannya hingga tak menyadari jika kini Sefia telah duduk di sampinya dengan membawa secangkir kopi panas untuk dirinya.

"Minumlah." Ucap Sefia, sontak Bima menoleh kesumber suara.

"Aku ganggu kamu ya? Kok bangun sih?"

Sefia tersenyum lembut, "Baru sadar kalau ganggu?"

"Serius?"

"Hm.."

"Maaf... istirahat lah lagi aku akan bekerja di ruang kerjaku saja."

"Tidak jika kau tidak ikut tidur bersamaku." Tegas Sefia.

Sefia sengaja menggunakan kalimat itu supaya Bima beristirahat. Sefia sangat tahu bagai mana Bima yang seorang pekerja keras dan Sefia juga tahu jika Bima tak akan tega membiarkannya terkantuk – kantuk hanya untuk menunggunya.

"Baiklah, temani aku minum kopi sebentar lalu kita tidur." Balas Bima yang mendapat anggukan dari Sefia.

"Kenapa aku bisa tak melihatmu keluar dari kamar tadi?"

"Kamu terlalu serius dengan pekerjaanmu, sampai aku terbangun dan melangkah membuka pintu kamarpun kamu tak menyadarinya."

Bima terkekeh lalu menyesap kopinya.

"Maaf.."

"Apa pekerjaan hari ini sangat berat sampai kau sangat serius memeriksa berkas – berkas itu."

Bima mengangguk, "Ya, begitulah... kamu tahu kan proyek di Kalimantan harus segera berjalan."

Sefia mengangguk, "Bekerja keraslah." Sefia tersenyum berbeda dengan Bima yang menatapnya dengan dahi berkerut.

"Aku pastikan jika kau tak akan kekurangan apapun." Sahut Bima.

"Harus!"

"Kau tega!"

"Itu kewajibanmu suamik."

Bima menarik nafas berat lalu menghabiskan kopinya.

"Ayo tidur."

Sefia tak menjawab Ia lalu bangkit menuju ke ranjang diikuti oleh Bima.

"Boleh peluk?" Tanya Bima saat keduanya telah berada di atas ranjang yang sama.

Sefia menatap Bima sekilas lalu mengangguk.

Setelah sekian waktu menikah dengan Bima, dan berdasarkan apa yang telah mereka sepakati itulah Sefia berusaha menjadi istri yang baik dan berusaha mengikuti apapun permintaan Bima.

Bima mendekatkan tubuhnya pada tubuh ramping Sefia yang tertidur telentang. Tangan besar itu memeluk erat perut Sefia yang justru membuat kinerja jantungnya bertak tak karuan.

Bima tersenyum kecil lalu lebih mendekatkan tubuhnya pada Sefia, dengan sengaja Ia menyusupkan kepalanya pada ceruk leher Sefia.

"Selamat tidur, istrik."

"Hm, selamat tidur.."

"Suamik."

"Iya, selamat tidur suamik." Ulang Sefia setelah Bima mengatakan kata suamik tepat di telingganya.

Pagi menjelang, Bima membuka matanya perlahan. Wajah yang begitu ayu dan manis itu kini terpampang nyata di hadapannya. Bima menatap intens wajah Sefia, ada perasaan lain yang terus saja menyeruak setelah mereka menikah. Banyak hal yang baru Bima ketahui tentang istrinya yang Ia kenal dengan perempuan judes dan juga ketus.

"Semoga keputusan kita menikah adalah keputusan yang tepat, semoga Allah memberi kita jalan untuk merasakan cinta di hati kita masing – masing,."

Namun tiba – tiba Bima mengingat sesuatu 'Laura' gadis yang masih mengisi hatinya karena menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.

'Dimana kamu, La?'

Tak ingin berlarut dalam kegalauan dan masa lalu yang mencoba ia kubur, Bima memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Tak berselang lama, Sefia yang terbangun dan tak menemukan Bima disisinya segera turun dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi hanya untuk memastikan jika sang suami mungkin benar masih berada di dalamnya.

Setelah memastikan jika Bima sedang mandi, Sefia kembali menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya itu dan juga menyiapkan dua sajadah untuk mereka melaksanakan sholat subuh bersama.

"Terima kasih, istrik." Ucap Bima tiba – tiba dari belakang tubuh Sefia yang sontak membuat Sefia lalu menoleh ke belakang.

"Hah! Kamu ngagetin." Ucap Sefia lalu pergi meninggalkan Bima yang masih tersenyum sambil mengenakan pakaian yang telah disiapkan oleh Sefia.

Di ruang keluarga telah duduk manis papa Bratasena sedang meminum kopi buatan istri tercinta sambil menonton berita di televisi.

"Selamat pagi, pa." Sapa Bima dan Sefia bersamaan.

Bratasena tersenyum ke arah anak dan menantunya, Ia begitu bahagia melihat Bima yang sepertinya telah bisa menerima Sefia di dalam hatinya.

"Selamat pagi."

"Aku bantu mama dulu ya." Pamit Sefia pada Bima.

"Kamu sudah baikan?" Bima merasa khawatir pada Sefia. Bima tak mau karena menjalankan kewajibannya Ia justru melupakan kondisi tubuhnya.

"Aku sudah baikan kok."

Bima mengangguk lalu membiarkan Sefia pergi ke dapur dimana sang mama di bantu asisten rumah tangganya sedang menyiapkan sarapan.

"Bagai mana hubunganmu dengan Sefia?" Tanya Papa

Bima melirik pada papanya lalu tersenyum kecil. "Biasa saja pa, kami masih berusaha untuk saling beradaptasi."

"Baguslah, semoga kalian selalu bahagia, dan cepet kasih papa cucu."

Bima mendengus, sedangkan papa Bratasena terkekeh melihat sang anak.

"Pasti kamu belum belum main siram – siraman." Tebak sang papa sengaja menggoda putranya.

Bima semakin mendengus, "Ya begitulah."

"Kasian..." Ucap papa Bratasena sambil terkekeh.

"Tak perlu papa ajari kan?" lagi dan lagi Bratasena menggoda sang putra.

"Papa!"

"Sudah berapa lama kalian menikah, tapi kamu masih belum bisa mengarap ladang, gimana mau tebar benih. Payah kamu! masak kalah sama papa.."

"Hah! Terus saja godain Bima, lihat saja nanti, Bima langsung kasih cucu tiga sama papa."

Bratasena tertawa, "Serius? Memang kamu bisa?"

"Papa meremehkan keperkasaan Bima?"

Bratasena menaikkan kedua bahunya.

"Nyatanya hingga saat ini kamu belum bisa nge-gol-in."

"Semua butuh waktu, pah."

"Jangan sampai kamu menyesal anak muda... hahaha"

"Bicara apa sih kalian, kayaknya seru banget." Kata Mama Sandra menghampiri keduanya.

"Rahasia." Jawab Papa Bratasena.

"Rahasia – rahasiaan segala! Udah yuk sarapan dulu." Ajak sang mama.

"Hari ini kalian ada acara kemana?" Tanya Mama Sandra saat mereka telah sampai di meja makan.

"Bima nurut sama Sefia saja, mah." Sang mama mengangguk paham.

"Sefia ada acara hari ini?" Tanya mama.

"Tidak ada, Ma. Pingin di rumah aja."

"Ya sudah memang seharusnya kamu istirahat dulu, katanya meinggu depan kalian mau liburan ke luar negeri."

"Iya, Ma."

"Pulangnya bawain papa cucu ya.."

avataravatar
Next chapter