1 1. Malam Pertama

Wajahnya terlihat begitu cantik meski matanya terlelap. Tubuhnya dibalut dengan gaun pengantin putih yang nampak indah ketika melekat, menutupi setiap jengkal kulitnya yang menggoda.

Bibirnya yang dilapisi oleh lipstik berwarna merah, membuat pria yang sedang menatapnya harus menelan air liur menahan hasrat yang menggebu sampai celananya terasa sesak.

"Bangun, sayang!" bisiknya. "Menantuku yang cantik," bisiknya lagi sembari mengelus pipi wanita yang membuatnya tidak sabar untuk segera melucuti pakaiannya.

"Egh…" Mata wanita cantik itu mulai terbuka secara perlahan.

"Grace!" Suara bariton yang terdengar sangat mengejutkan. "Kau lebih cantik kalau sadar," sambungnya.

"Akh!" teriak Grace sembari mundur dengan spontan sampai ia hampir terjungkal dari atas ranjang.

"Untung saja aku menangkapmu," ucapnya. "Kalau kau sampai terluka sebelum aku menyentuhmu, bukankah itu akan menjadi penghinaan bagiku?" sambungnya.

"Tu--tuan Geza!" pekiknya sembari menyingkirkan tangan Geza yang merangkul pundaknya.

"Kenapa terkejut seperti itu, Grace?"

"Minggir!" teriak Grace.

Geza tidak menghiraukan amukan Grace. Ia turun dari atas ranjang. Ekspresinya yang dingin kembali membuat Grace merinding.

"Neco, keluarlah! Kunci saja pintunya. Siapapun tidak diperbolehkan untuk menemuiku sampai aku sendiri yang keluar dari kamar ini. Entah itu besok pagi, dua hari lagi atau bahkan lebih lama dari itu," ujar Geza pada Neco, asisten pribadinya.

"Baik, Tuan!"

Neco melangkah keluar dari kamar yang dihias seperti kamar pengantin. Akan tetapi, Grace segera turun dari ranjang dan berlari menyusul Neco.

"Tuan Neco!" teriak Grace. Geza mencegah Grace untuk bertatapan dengan Neco. "Lepaskan aku!" teriak Grace sembari meronta.

Geza merangkul pinggang Grace. Ia melirik Neco supaya Neco tidak menoleh.

"Kau mau ke mana, sayang? Malam ini akan menjadi malam pertama kita yang tidak akan kau lupakan," bisik Geza sembari mengecup daun telinga Grace.

"Menyingkir! Kau sungguh menjijikkan!" pinta Grace.

Bibir Grace yang memakinya, semakin membangunkan hasrat Geza yang sudah lama terpendam. Geza melempar tubuh Grace ke atas ranjang.

Di Itali, tidak ada yang bisa membantah perintah dari Geza. Ia pengusahaan muda yang namanya melejit di dunia bisnis sejak usianya dua puluh dua tahun. Sudah sepuluh tahun Geza mempertahankan posisi itu.

"Kau tidak akan bisa lari dengan gaun pengantin yang membuatmu kerepotan. Aku akan membantumu untuk melepaskannya," ujar Geza.

"Jangan menyentuhku!" Grace menepis tangan Geza. "Seharusnya tidak seperti ini." Mata Grace berkaca-kaca. Ia tidak tahu sejak kapan ia berada di dalam kamar bersama dengan Geza.

Geza melepaskan dasi yang melingkar dilehernya. Melemparkan dasi tersebut ke sembarangan arah.

"Grace, aku tidak ingin menjadi mertuamu," ujar Geza. Ia duduk di samping Grace yang tertunduk lesu.

"Aku harus pergi!" gumam Grace.

Geza memegang pergelangan tangan Grace. Ia tidak mengizinkan Grace pergi meninggalkannya.

"Kau ingin pergi? Demi bajingan sialan itu? Pernikahanmu sudah batal, Grace!" bentak Geza.

"Bukan urusanmu!" balas Grace.

Grace menghapus linangan airmatanya. Bukan saatnya untuk menangisi keadaan karena itu tidak akan mengubah semuanya.

Grace tidak ingat apa yang terjadi sampai ia terperangkap. Sebelumnya, Geza bersikap biasa tanpa menunjukkan perasaannya. Namun, apa yang terjadi saat ini membuat Grace tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Grace, kembali!" teriak Geza. "Jangan membuatku marah, oke! Jangan membuatku sampai harus menyeretmu ke sini," sambungnya dengan ancaman.

Grace tidak peduli dengan bualan yang keluar dari mulut Geza. Ancaman itu dianggap sebagai angin lalu karena Grace ingin keluar dari kamar yang membuat dadanya sesak.

"Menyerahlah! Kau tidak akan bisa keluar, Grace!"

"..." Grace tetap diam. Ia mencoba untuk membuka pintu yang terkunci menggunakan apapun yang bisa Grace pikirkan saat itu juga.

"Aku sudah katakan padamu kalau kau tidak akan bisa lari, bukan?"

Grace memutar tubuhnya. Entah sejak kapan Geza sudah berdiri di belakangnya. Mungkin karena Grace terlalu fokus untuk kabur hingga ia tidak mendengarkan suara langkah kaki Geza.

"Apa kau ingin mendengarkan sesuatu kenapa kau bisa bersamaku?" tanya Geza sembari mengecup leher Grace.

"Menjauh dariku, Tuan Geza! Anda tidak boleh seperti ini." Grace kembali mendorong Geza.

"Aku tidak mungkin bisa membawamu untuk menjadi milikku tanpa persetujuan Ayahmu," ujar Geza.

"Apa?" pekik Grace. "Ti--tidak mungkin. Anda pasti memberikannya iming-iming manis. Pasti begitu, bukan?" sambungnya.

"Aku sudah membelimu dengan sejumlah uang. Sekarang, waktunya kau harus memberikan tubuhmu untukku," kata Geza.

"Jangan gi..."

Geza membungkam Grace dengan bibirnya. Kesan ciuman paksa yang rasanya menjadi candu untuknya.

Grace memukul dada Geza berkali-kali tapi Geza tidak melepaskan pagutan bibirnya sampai Grace merasa sesak.

"Bibirmu sangat manis," ucap Geza. Tatapan mesum itu membuat Grace ingin memakinya.

"Lancang!" bentak Grace.

"Kenapa? Bukankah kau baru saja menyukainya?" ucap Geza. Ia memegang dagu Grace.

"Kau orang paling gila yang pernah aku temui! Tidak berakal dan tidak seperti manusia!" hardik Grace.

Geza yang sedari tadi tersenyum, mengubah ekspresinya. Grace menelan air liurnya. Ekspresi datar dari wajah Geza memberikan sebuah tekanan yang membuat Grace tidak mampu berkata apa-apa lagi.

"Grace, hanya karena aku bersikap baik padamu, jangan berpikir kalau kau bisa bertingkah semau mu, oke!"

"Kau pria menjijikkan! Menyingkir!" Grace mendorong Geza.

Ia kebingungan. Tidak ada cara lain untuk kabur dari sana. Jendela tertutup rapat. Dilihat dari pohon yang terlihat samar, kamar itu terletak di lantai atas.

Grace berusaha menjauh. Membuat jarak antara dirinya dengan Geza. Grace mulai takut sejak Geza berani mencium bibirnya.

'Tuhan... Aku tidak ingin bersama pria gila ini. Bantu aku,' batin Grace.

Grace kesulitan berlari karena ia harus mengangkat gaunnya yang menjuntai panjang ke lantai. Keadaan Grace menguntungkan Geza yang terus mengamatinya.

"Sudah cukup main-mainnya, Grace. Aku tidak bisa menahan diri lebih dari ini," ujar Geza.

"Pergi! Aku tidak sudi dekat-dekat dengan bajingan sepertimu!" teriak Grace.

Geza menarik gaun Grace. Grace terjatuh dalam dekapan Geza yang terasa begitu hangat. Geza mencekal tangan Grace. Menghimpit tubuh Grace diantara dinding dan dirinya.

"Lepaskan aku, Tuan Geza. Anda harus ingat kalau saya Istri Erkan!" ucap Grace dengan suara lantang.

"Dengar, Grace! Kau hanya milikku. Lupakan Erkan."

"Apa? Ucapan konyol apa itu?" pekik Grace.

Grace mendelik. Bibirnya yang memaki akhirnya mengatub rapat. Tangan nakal Geza sudah melepaskan tali yang mengikat gaun yang Grace kenakan.

"Kau tidak bisa mengelak malam ini, Grace. Aku akan menjadikanmu sebagai milikku."

"Tidak! Jangan melakukan ini, Tuan Geza. Saya mohon!" ucap Grace. Ia terlihat sangat tulus dalam memohon.

"Minum ini." Geza menunjukkan pil berwarna putih.

"Tidak! Dasar gila!" tolak Grace.

Geza memasukkan pil itu ke dalam mulutnya, lalu mengambil segelas air. Geza mengarahkan bibirnya ke bibir Grace. Memasukkan obat itu secara paksa.

Air yang mengalir dari mulutnya, membasahi dua cup berenda berwarna putih yang melekat ditubuh Grace.

"Uhuk... Uhuk... Uhuk... Apa yang Anda berikan padaku?" tanya Grace setelah hampir mati tersedak.

Geza menyeringai. "Sesuatu yang akan membuatmu memohon dalam sentuhan penuh gairah, Grace!"

avataravatar