11 Yoga Sakit

"Sebelum pergi, lebih baik makan sarapanmu dulu," katanya, kemudian menghilang dari pandangan Meta.

Meta nyaris menangis, bagaimana dia mau pulang. Dia tak biasa untuk keluar rumah tanpa mengenakan bawahan. Dan saat ini ia hanya mengenakan kemeja milik Yoga, bagaimana bisa ia keluar dari selimut ini, kemudian berdiri di depan Pak Cipto?

Meta beranjak dari tempat tidur, kemudian diam-diam ia membuka lemari milik Yoga. Dia harus mendapatkan apa pun yang bisa ia kenakan. Agar dia tak malu untuk keluar, toh dia sudah cukup dari bosan bila berada di sini lama-lama. Tangan Meta meraih sebuah celana olah raga milik Yoga, lantas ia cepat-cepat memakainya, meraih tasnya kemudian bergegas pergi. Meminta Pak Cipto mengantarnya sebelum Kinan merundungnya dengan pertanyaan-pertanyaan gila.

Sesampainya di depan kontrakan, Meta langsung cepat-cepat masuk ke dalam kamar sembari mengendap-endap. Sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara berisik, agar semua penghuni kontrakan tidak ada yang tahu jika semalam dia tak tidur di rumah. Mata Meta tampak berbinar tatkala ia melihat jika di depannya adalah kamarnya, kemudian dia pun memutar knop pintu kamarnya.

"Habis dari mana lo?" seloroh Kinan, saat Meta masuk ke kamarnya.

Meta nyaris melompat, tapi dia buru-buru bersikap biasa saja. Menanggalkan pakaiannya, kemudian berganti dengan handuk. Duduk sebentar di samping Kinan yang sudah memicingkan mata untuknya.

"Pakaian siapa itu?" selidik Kinan lagi, sembari melirik ke arah kemeja warna putih beserta dengan celana olahraga cowok ada di atas ranjang Meta. Itu adalah pakaian cowok!

Dan lagi lagi Meta tak bisa menjawab sama sekali. Meta hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian dia clingak-clinguk tak karuan.

Mata Kinan kemudian melotot, melihat sesuatu di dada Meta, "cupang? Elo, elo abis ngapain semalem kenapa di dada lo banyak banget bekas cupang, Met? Elo nggak jual diri, kan? Elo nggak minta diperkosa Om-Om karena elo masih perawan, kan? Jawab Meta!" teriak Kinan kesetanan.

Meta yang baru tahu karena penuturan Kinan pun sontak menutup dadanya dengan kedua tangannya. Dia benar-benar tak menyangka jika di dadanya akan penuh dengan hal menjijikkan itu. Siapa yang memberikan tanda itu di dadanya? Dan sejak kapan ada tanda itu di dadanya? Ya Tuhan, Meta benar-benar tidak tahu!

"Katakan, Met, elo semalem di mana!" marah Kinan lagi.

"Gue ada di apartemennya Yoga," jawab Meta, dengan nada suara bergetar karena dia hendak menangis dibuatnya.

Kemudian dia memeluk kedua kakinya, sambil menangis sejadi-jadinya. Mengambil selimut, kemudian menutupi seluruh tubuhnya .

"Kin, gue diperkosa, kan? Gue diperkosa Yoga, Kinan! Gue diperkosa! Tadi pagi, gue bangun, pakaian yang gue kenakan semalem udah nggak ada di tubuh gue, dan gue hanya mengenakan kemeja putih itu! Dan sekarang, sekarang, kenapa banyak bekas merah-merah gini di dada gue, kin! Kenapa!" histeris Meta.

Kinan yang awalnya terkejut pun merasa iba juga dengan Meta. Jika benar bosnya itu telah memperkosa Meta, adalah hal yang sangat keji. Namun demikian, Kinan juga masih ragu. Apa benar orang yang melakukan itu adalah bosnya?

Bukan apa-apa, dilihat dari penampilan, kelas, dan segala hal keduanya apa mungkin? Apalagi, mendengar gosip yang sedari dulu melekat ketat pada diri bosnya. Semakin membuat Kinan ragu.

Kinan mencoba bersikap rasional, selama ini bosnya hampir tak terlihat dekat dengan perempuan mana pun. Apakah karena bosnya ingin melampiaskan hasratnya, dan Meta dijadikan budak seks bosnya? Seperti halnya di film-film panas yang sering Meta tonton. Kinan benar-benar tak habis pikir. Padahal di mata jejeran karyawan perempuan, bosnya adalah tipe laki-laki ideal yang harus dinikahi karena memiliki kesempurnaan tiada celah.

"Emangnya, elo nggak tanya ama Pak Yoga karena ini? Emangnya elo nggak sakit?" tanya Kinan lagi.

Meta hanya menggeleng, dengan isakan yang sesekali terlepas dari bibir mungilnya. Dia saja perawan, belum berpengalaman. Bagaimana dia tahu apanya yang sakit? Benar, memang jika di sekolahnya dulu ada pelajaran biologi. Tapi, kan itu hanya materi, dan Meta benar-benar buta akan hal itu.

"Gue harus ke rumah sakit. Gue harus mastiin apakah benar Yoga merkosa gue apa enggak."

******

Hari ini Meta tak berniat untuk bekerja. Dia benar-benar masih punya urat malu untuk sekadar menghindari bosnya itu. Jadi ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Memastikan sesuatu terlebih dahulu sebelum ia yakin untuk mengambil langkah selanjutnya. Namun untuk sesaat rasa sakit di dadanya kian menyeruak, kedua tangannya bergetar hebat, mengingat hal-hal yang membuatnya sampai benci di titik ini kepada kaum laki-laki. Semua laki-laki sama saja, mereka hanya mencari kepuasan, dan setelah itu, akan meninggalkan perempuan begitu saja.

Tin!! Tin!!

Meta terjingkat, saat sadar ada klakson mobil di dekatnya. Saat ia menoleh, mobil sedan mewah berwarna hitam itu menepi. Dia tahu itu mobil siapa, ya... itu adalah mobil Yoga.

"Mbak Meta mau ke mana?" tanya Pak Cipto, setelah kaca mobil di turunkan.

Meta memandang Pak Cipto takut-takut. Dia pun tersenyum hambar kemudian menjawab, "mau kerja, Pak."

"Lho, kok jalannya ke sana? Kan kalau kerja seharusnya nyari halte ke barat, Mbak?" selidik Pak Cipto lagi.

Ingin rasanya Meta menyumpal mulut Pak Cipto. Karena orangtua itu membuat dia bertambah malu bukan kepalang. Andai Pak Cipto tahu dia tidak mau masuk ke kantor, dan akan pergi ke rumah sakit hari ini.

"Silakan masuk mobil, Mbak. Pak Yoga memberi tumpangan."

"Tidak, terimakasih," tolak mentah-mentah Meta.

"Biar sekalian ini sudah siang," paksa Pak Cipto lagi.

"Tidak, terimakasih," keras kepala Meta.

"Masuk, atau saya paksa Anda masuk."

"Iya."

Meta langsung buru-buru masuk ke dalam mobil, memilih duduk di depan bersebelahan dengan Pak Cipto. Dia diam, tanpa berani menoleh ke belakang, dan ke samping. Tapi, Meta cukup tahu jika saat ini Pak Cipto tengah menahan tawa entah karena apa. Dan itu semakin membuat Meta kesal. Sepertinya Meta dipermainkan oleh dua orang ini.

*****

Di dalam kantor, Meta terus berusaha menyembunyikan wajahnya. Terlebih saat Yoga sesekali meliriknya. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, untuk kemudian pulang ke rumah. Paling tidak, dia harus menghindari bosnya itu, atau semua hal semalam yang dia bahkan tak ingat apa pun berhasil membuatnya malu.

Meta menghela napas panjang, bahkan sekarang, waktu satu menit bahkan seperti satu jam. Dia terus saja melihat detakan jarum jam yang ada di dinding, dan berharap jika waktu akan segera berlalu. Namun nyatanya?

Meta tersenyum, saat ia mendapatkan ide brilian untuk menghabiskan waktu mengerikan bersama dengan Yoga. Lebih baik, dia menonton beberapa koleksi film pornonya.

Meta mencari flashdisk yang ada di tasnya, kemudian mencari film-film favoritnya itu. Matanya melotot saat folder-folder di sana hanya tinggal satu, dan itu adalah kumpulan film Spongebob. Dia tak pernah menyimpan film kartun, lantas bagaimana bisa film pornonya yang maha dahsyat berubah jadi film kartun?

"Setidaknya film itu akan membuat otak Anda berfungsi lebih baik dari pada film-film porno yang tidak ada gunanya," celetuk Yoga yang berhasil membuat mulut Meta menganga sempurna.

Tahu dari mana bosnya kalau dia sedang ingin menonton film porno? Jangan-jangan bosnya tahu jika isi flashdisknya ini adalah kumpulan film porno semua? Meta semakin menyembunyikan wajahnya semakin dalam. Sebab dia benar-benar malu saat ini.

"Meta, bisa Anda ke sini sebentar? Buatkan saya teh seperti yang Anda buatkan kemarin," perintah Yoga.

Meta memerhatikan Yog, bosnya itu tampak pucat. Sesekali ia memijat pelipisnya, untuk kemudian ia memijat pangkal hidungnya yang bangir. Meta pun menuruti perintah Yoga, segera membuatkan teh hangat kemudian diletakkan di meja Yoga. Berdiri di samping Yoga sambil mengamati.

avataravatar
Next chapter