18 Pendekatan

Pagi ini agaknya mentari bersinar cukup terang. Rasa hangat mulai merangsek masuk kamar melalui celah-celah gorden yang terbuka. Meta tampak bergeliat, karena merasa suhu kamar kini menjadi lebih panas dari biasanya. Untuk kemudian, dia mulai membuka mata. AC kamar tidak menyala, dan dia sadar telah memakai kaus kaki sekarang. Kemudian, dia melirik tempat sebelahnya, Yoga tidak ada di sana. Dia pun beranjak dari ranjang, setelah merapikan selimut berwarna abu-abu itu ke tempatnya semula. Dan saat ia membuka pintu, aroma nikmat itu pun mulai menusuk-nusuk indera penciumannya.

Di pentri sudah ada beberapa hidangan, beserta dua gelas jus yang Meta tebak mungkin Jus jeruk, atau mangga. Untuk kemudian, dia memandang lagi pada sosok yang masih sibuk di balik kompor. Lagi, Meta memandang sekitar. Biasanya di jam seperti ini Bibik rumah Yoga akan datang untuk sekadar bersih-bersih, dan membuatkan sarapan. Namun rupanya, hari ini Bibik itu tidak datang.

"Sudah bangun?" tanya Yoga, sambil membawa dua buah piring yang masing-masing berisi dua potong roti bakar. Kemudian, diletakkan di meja. "Duduklah, sarapan," kata Yoga lagi.

Meta lantas duduk, kemudian memandang lagi hidangan di meja. Terlalu banyak jika dimakan berdua. Tapi di sini tidak ada siapa-siapa.

"Ada beberapa makanan semalam yang bisa kuselamatkan. Jadi menunya sedikit banyak," jelas Yoga pada akhirnya.

Kemudian Yoga mengambil beberapa butir obat, dan menyuruh Meta untuk meminumnya.

"Vitamin," jelas Yoga.

Meta pun menurut, membuka mulutnya dan membiarkan Yoga menyuapi tiap butir pil itu dengan begitu telaten.

"Bapak bisa masak?" tanya Meta hati-hati. Yoga pun diam, tak menjawab pertanyaan Meta itu. "Kalau Bibik nggak ke sini, aku yang akan nyiapin makanan untuk Bapak,"

Yoga menarik sebelah alisnya, setelah memotong roti menjadi potongan-potongan kecil, dia pun kembali menyuapi Meta.

"Aku tidak yakin kamu bisa masak, yang ada kamu akan membuat dapur rapiku berantakan," ejek Yoga.

Meta menggembungkan pipinya, karena merasa terhina oleh ucapan Yoga. Namun apa tebakan bosnya itu benar, Meta sama sekali tidak pandai memasak.

Lagi Meta terdiam sejenak saat Yoga menyuapinya, dan tiba-tiba dada Meta bergetar dengan cara tak karuan. Ragu-ragu Meta membuka mulutnya, sambil matanya terus memandang ke arah Yoga.

Kenapa dengan bosnya? Kenapa bosnya memperlakukannya seperti ini? Apa yang salah dengan bosnya?

Meta pun tampak salah tingkah, untuk kemudian dia mengambil potongan roti yang masih utuh, kemudian menyantapnya dengan lahap.

"Aku mandi dulu, Pak," katanya ingin beranjak pergi.

"Kalau di rumah tidak perlu memanggilku Pak," kelas Yoga.

Lagi Meta memutar kepalanya, memandang Yoga yang sudah asik dengan makannnya. Bahkan bosnya itu tak merasa jijik makan dengan garpu yang tadi digunakan untuk menyuapinya.

Buru-buru Meta masuk ke dalam kamar, mendapat perlakuan Yoga seperti itu bisa-bisa wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Serta jantungnya akan lepas dari tempatnya.

*****

"Pak Cipto, saya turun di perempatan saja, Pak!" seru Meta, setelah mobil hampir sampai di perusahaan.

Dia sama sekali tidak bisa membayangkan, bagaimana jika karyawan lain tahu, kalau dia semobil dengan bosnya. Meski pekerjaannya hanya berdua dengan bosnya, tetap saja, devisi lain akan membicarakan masalah ini.

"Tidak perlu," tolak tegas Yoga.

"Tapi, kalau karyawan lain bergosip bagaimana? Saya tidak mau reputasi Pak Yoga sebagai bos akan hancur. Atau malah, saya akan menjadi jelek karena mereka pikir jika aku adalah sekertaris tidak tahu diri karena telah menggoda bosnya sampai sejauh ini,"

"Siapa peduli?" ucap Yoga lagi.

Tanpa sadar mobil sudah berhenti di depan perusahaan, dan benar saja, ketika Meta keluar, ada beberapa karyawan yang memandang ke arahnya dengan tatapan sinis. Tak tertinggal bisik-bisik menyebalkan itu pun juga.

Meta langsung berlari masuk ke dalam perusahaan, sambil menutup wajahnya dengan tasnya. Tapi tiba-tiba, Kinan menarik lengannya untuk berhenti.

"Meta!" dengus Kinan sambil berkacak pinggang.

"Eh ada Kinan, eh ada Mbak Tanti. Hallo, apa kabar kalian, baik-baik saja?" sapa Meta seolah tak terjadi apa-apa.

Sementara Kinan, langsung mencubit perut Meta sampai sahabatnya itu mengaduh kesakitan.

"Elo udah jadi artis sekarang, berita tentang lo menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru devisi. Bahkan, para cleaning service pun menjadikan lo bahan gosip," gemas Kinan.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Meta kebingungan.

"Karena kabarnya lo sering semobil ama Pak Yoga. Jadi mereka berpikir, elo adalah cewek murahan yang mencoba merayu Pak Yoga yang homo,"

"Apa!" pekik Meta setelah mendengar penjelasan Mbak Tanti. "Gue... gue mencoba merayu Pak Yoga yang homo?" ulangnya.

Kinan, dan Mbak Tanti mengangguk kuat.

"Jadi gimana? Gue bener-bener bingung. Pak Yoga itu homo nggak sih? Kenapa beritanya jadi ngenes gini, sih? Gue jadi kasihan ama elo," seloroh Kinan.

"Pak Yoga itu normal, dia nggak homo, kok!" bantah Meta kuat-kuat.

"Lo ada bukti?" selidik Kinan, Meta pun menggeleng.

"Gue udah ada rencana hebat. Kalau Pak Yoga pacaran ama Becca, pasti isu itu akan hilang, kan?" kata Meta semangat.

"Gue rasa semua orang juga sudah tahu, deh, Met. Kalau selama ini Bu Becca selalu mendekati Pak Yoga tapi ditolak mentah-mentah," kini giliran Mbak Tanti kembali bersuara.

Meta hanya bisa mendengus, kemudian dia memilih masuk ke dalam lift dan meninggalkan dua temannya itu di luar.

Sementara itu di ruangan Yoga, Fabian sudah berada di sana. Duduk di meja Yoga sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Meta mana, Ga?" tanyanya. Tapi, Yoga tak menanggapi pertanyaan dari sepupunya itu. "Nanti gue mau ajak dia makan siang di luar," katanya lagi.

Yoga hanya melirik Fabian sekilas, tanpa mau menimpali ucapan Fabian sedikit pun. Kemudian, Fabian tersenyum membuat Yoga menarik sebelah alisnya.

"Malam minggu gue mau tembak dia," katanya yang berhasil membuat Yoga yang sedari tadi membaca file-file yang ada di tangannya terhenti. "Lo tahu, para pria di sini semuanya menggosipkan dia. Dia adalah pegawai paling cantik di sini," lanjutnya lagi.

"Oh," jawab Yoga. Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.

"Lusa bukankah hari ulang tahun perusahaan?"

"Biasanya kamu yang mengurusi itu, kan?" ucap Yoga sambil menghela napas. Fabian pun mengangguk, untuk kemudian dia menghadap Yoga dengan picingan matanya.

"Gue mau buat pesta kali ini agak berbeda."

"Dengan?"

"Gue mau adain sebuah permainan. Dan di permainan itu, gue mau buat sesuatu yang berbeda. Gue mau buat laki-laki yang ada di sini tahu kalau gue bisa dapetin Meta,"

Yoga menarik sebelah alisnya. Permainan apa yang akan dibuat oleh Fabian? Tapi, dia tak ingin bertanya dan tahu jauh tentang itu. Ini adalah urusan fabian, dan Meta. Dia tidak memiliki hak untuk ikut campur atau apa pun.

"Met!" seru Fabian, yang berhasil membuat Yoga melirik ke arah sosok cantik yang kini sudah duduk di tempatnya.

Meta hanya tersenyum, membuat Fabian bergegas mendekat ke meja Meta. Duduk di kursi depan sambil memandang Meta dengan seksama.

Lagi, Yoga menghela napas panjang. Untuk kemudian dia memilih fokus dengan file-file yang ada di tangannya.

"Nanti kita makan siang bareng yuk!" ajak Fabian.

"Tapi, gue kan lagi ada kerjaan banyak."

"Udah nggak usah terlalu lo forsir. Kalau nggak selesai bisa dikerjakan besok, kan?" ucap Fabian mencoba membujuk Meta.

avataravatar
Next chapter