4 Hari-Hari Melelahkan

Meta mendengus beberapa kali saat melihat isi dompetnya. Rencananya, dia ingin mengajak Kinan untuk membeli beberapa potong baju kerja. Tapi, sepertinya itu tidak bisa. Sisa uang dari pekerjaan sebelumnya sudah ia berikan pada sang Bunda. Dengan alasan itu adalah gaji bulanannya selama kerja di sini. Dia juga tidak mungkin meminjam Kinan lagi, sebab uang Kinan juga sudah habis diberikan pada mamanya saat neneknya jatuh sakit beberapa waktu lalu. Dan, dia juga tidak mungkin pinjam sama dya makhluk lain yang menghuni kos-kosan ini.

Lagi, Meta mendengus. Lalu bagaimana? Dia tidak mungkin pinjam pakaian Kinan lagi, bisa-bisa Yoga akan sangat marah, dan mendepaknya dari kantor. Tapi....

"Met, gimana... gimana? Elo diterima kerja, kan?" tanya Kinan.

Memang Meta sengaja tak mengabari Kinan lewat telepon, dia ingin memberitahunya langsung.

"Jelas, dong! Gue... apa sih yang nggak bisa gue lakuin?" percaya dirinya.

Kinan tersenyum saja, meski dia tahu Meta berbakat, tapi dia tak ingin jika persetujuan bosnya memasukkan Meta adalah campur tangan Bian. Yoga--bosnya itu tidak akan bilang tidak pada sepupunya itu.

Kinan melirik kemejanya yang tergeletak di ranjang Meta, mata Kinan melotot saat tahu jika kancing kemejanya ada yang hilang.

"K... kemeja gue? Apa yang terjadi ama kemeja gue? Kenapa kancingnya banyak yang ilang, Met?" tanyanya histeris.

Meta lantas menyembunyikan wajahnya dengan bantal, dan itu berhasil membuat Kinan semakin penasaran. Ikut naik ke ranjang Meta, dan menarik bantal yang dibawa sahabatnya.

"Tau nggak, gara-gara kemeja elo itu, harga diri gue di depan Pak Yoga hancur, Kin!" emosi Meta, wajahnya kembali memerah saat ia mengingat kejadian memalukan itu. "Tanpa sadar, ya, kancing kemeja elo itu lepas. Dan... dan hal itu terjadi di depan Pak Yoga!"

"Apa? Serius? Terus... terus, Pak Yoga bilang gimana?" tanya Kinan semangat.

Meta memutar bola matanya jengah, bisa-bisanya sahabatnya malah begitu bersemangat dengan hal yang mempermalukannya.

"Dia ngira gue yang enggak-enggaklah, mana langsung nanya ke intinya lagi. Elo tahu saat itu rasanya gue mau copot muka gue, terus gue titipin ke pos satpam."

"Ih, Meta, nggak lucu. Terus gimana, gue anterin beli pakaian kantor buat elo?" tanya Kinan semangat.

Tapi, Meta menggeleng, "lagi bokek gue, Kin. Uang terakhir gue, udah gue transferin ke nyokap. Udah nggak ada uang lagi sama sekali,"

"Duh, coba gue ada duit, ya, Met. Terus besok elo gimana? Kalau lo pakai pakaian gue lagi, pasti Pak Yoga mikir kalau elo mau ngerayu dia."

"Bodoh amatlah, Kin, yang penting gue kerja," jawab tak acuh Meta, sambil mengibaskan tangannya. Padahal, persoalan ini sudah ia pikirkan sedari tadi. Tapi, dia tidak mau membebani pikiran sahabatnya.

"Nanti, deh, gue cariin yang agak longgaran buat elo, ya, Met," ucapnya.

Meta tersenyun simpul, kemudian dia mengangguk kepada Kinan. Siapa lagi yang mau membantunya di saat seperti ini kalau bukan Kinan, sahabat baiknya.

*******

Pagi ini Meta mencoba memantabkan hati, di depan ruangannya dia terus memantabkan diri. Kemeja warna maroon milik Kinan setidaknya tak seketat kemarin, tapi rok milik Kinan masih benar-benar melekat ketat pada dirinya. Dia tak bisa membayangkan jika mungkin rok ini akan robek saat ia gunakan untuk duduk, atau berjalan. Dan terlebih itu di depan Yoga. Pasti riwayatnya akan benar-benar tamat sekarang.

Meta kemudian menyingkirkan pikiran konyolnya, sebab dia tak mau apa yang ia pikirkan akan benar-benar menjadi kenyataan. Dia kemudian duduk, mempelajari beberapa dokumen perusahaan agar setidaknya dia paham pekerjaan seperti apa, dan perusahaan seperti apa yang harus ia kerjakan. Terlebih, jadwal bosnya itu, kalau dia tak mencari tahu mulai dari sekarang, bisa-bisa dipecat oleh bosnya. Dia masih ingin bekerja, bundanya sedang membutuhkan uang. Dan dia tak ingin bergantung oleh laki-laki itu.

"Hah, ada meeting nanti di luar?" gumam Meta. Dia langsung memeriksa kembali dokumen lainnya.

"Maaf, Mbak Meta..." Meta mendongak, saat suara yang terdengar familier itu menyapanya, laki-laki paruh baya yang ia lihat kemarin pun tersenyum ke arahnya. "Peraturan di sini, Mbak Meta setelah datang ke kantor membereskan ruangan Pak Yoga, kemudian menata dokumen-dokumen mana yang harus ditanda tangani, dan penting untuk hari ini, dan membuatkan secangkir minuman di pagi hari."

"Hah? Semua itu pekerjaan saya, Pak? Kalau mengurus dokumen saya paham. Tapi kalau bersih-bersih... saya bekerja di sini bukan menjadi seorang cleaning service, kan? Saya seorang sekertaris, lho," kata Meta agak dongkol.

Lelaki tua yang Meta belum tahu siapa namanya itu pun kembali tersenyum, seperti paham dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut Meta.

"Ya begitulah, Mbak, Pak Yoga tipikal atasan yang tidak begitu suka ada orang lain masuk ke ruangannya. Jadi, pekerjaan-pekerjaan seperti itu dilakukan oleh seketarisnya," jelas orangtua itu.

Meta menarik sebelah alisnya, dia curiga dengan satu hal, "apa jangan-jangan, ngepel ama nyapu ruangannya saya juga yang mengerjakan, Pak?" tanyanya tampak cemas.

"Tidak, Mbak, itu saya yang mengerjakan."

Spontan Meta menghela napas lega, setidaknya dia tidak jadi seorang pembantu di sini. Setelah berbasa-basi sebentar, orangtua yang akhirnya Meta tahu bernama Cipto itu pun undur diri. Rupanya, Pak Cipto ini adalah supir pribadi Pak Yoga, yang anehnya ke mana pun Pak Yoga pergi, Pak Cipto selalu ikut.

Meta buru-buru membersihkan ruangan Yoga, kemudian dia mulai menyiapkan minuman. Secangkir teh hijau aroma melati, teh yang selalu dibawa Meta ke mana-mana, teh yang dibuat oleh bundanya. Meta punya banyak stok di kontrakannya.

Menurut bundanya, ramuan teh ini adalah warisan keluarga, selain bisa merilekskan pikiran, kata bundanya juga ada beberapa ramuan ajaib untuk menyembuhkan penyakit susah tidur. Dan, itu selalu berhasil untuk Meta.

Meta menghela napas, setelah meletakkan beberapa dokumen, ia langsung keluar dari ruangan Yoga. Belum sempat ia benar-benar keluar, si empunya ruangan pun datang. Sosok itu tampak memandang Meta dengan tatapan aneh, menyapu tubuh Meta dengan matanya, kemudian masuk ke ruangannya.

"Setelah ini, ada meeting di luar," kata Yoga, seolah memberitahu Meta. Tapi tatapannya sudah tertuju pada dokumen yang ada di mejanya.

"Iya, Pak,"

Meta berdiri seperti orang bodoh, saat ucapannya diabaikan oleh Yoga. Laki-laki itu benar-benar mengabaikannya.

Meta menggerutu, sambil keluar dari ruangan Yoga. Duduk di ruangannya sembari mencibir.

"Sabar, Met, sabar... ngadepin lelembut macam dia," dengus Meta.

Belum sempat Meta menghirup udara sepuasnya, Yoga sudah keluar dari ruangan. Sambil membenarkan kerah kemejanya, dia melirik sekilas tanpa kata-kata.

Meta mengabaikan Yoga yang melewatinya, membuat bosnya itu menghentikan langkahnya.

"Apa Anda akan diam diri di sana?"

"Apa?" tanya Meta, kemudian dia meralat ucapannya, "Oh, Maaf, Pak!"

Meta langsung berlari, membuntuti langkah Yoga. Dia benar-benar bisa serangan jantung, hanya karena memiliki atasan aneh seperti Yoga.

avataravatar
Next chapter