webnovel

Hello Jakarta

Meninggalkan sesuatu yang sudah membuat kita nyaman memang tidaklah mudah. Bagi Raya semenjak kedatangannya ke Jakarta sepuluh tahun silam bukan merupakan kebahagiaan karena dia harus memulai kehidupan yang baru dan meninggalkan kehidupan lamanya di kota pelajar tersebut.

Saat itu usia Raya tujuh belas tahun dan dia sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Ayahnya terpaksa dipindahkan kerja di Jakarta karena harus mengurus cabang salah satu perusahaan travel di Jakarta. Bagus Suhendar, dia adalah ayahnya Raya yang berprofesi sebagai direktur di sebuah perusahaan travel yang cukup maju.

Raya adalah anak ketiga dari empat bersaudara, Lila sang kakak pertama yang sudah menikah dan lebih memilih mengikuti suaminya tinggal di pulau Sumatera. Dody sang kakak kedua yang juga harus pindah kuliah di salah satu Universitas swasta yang berada di kawasan Jakarta Barat yang kini sudah kuliah semester empat jurusan ekonomi. Sedangkan Tania adik bungsu Raya yang masih berusia enam tahun yang juga akan mulai masuk sekolah dasar di Jakarta ini.

"Apa semua sudah siap?" tanya Bagus.

"Iya Pa," jawab mereka serempak.

"Baiklah kalau begitu kita harus cepat menuju bandara supaya tidak terburu-buru saat check in," perintah Papa.

Merekapun menaiki travel yang membawa mereka ke Bandara Adi Sucipto, Malang untuk terbang menuju Jakarta. Sesampainya mereka di bandara Papa dan Mama mengantri untuk check in, sedangkan ketiga anaknya menunggu di luar ruangan. Ketika proses check in selesai mereka semua boarding dan menunggu pesawat yang akan mereka naiki.

"Kenapa sih kita harus pindah?" gerutu Raya pada orang tuanya.

"Ya karena pekerjaan Papa memang dipindahkan Nak," ucap Bagus dengan lembut.

"Terus nanti kalau kita udah di Jakarta dan Papa diminta pindah lagi kita juga harus pindah gitu Pa?" tanya Raya kesal.

"Ya begitulah," jawab papanya sambil tersenyum.

Raya langsung melipat tangannya di depan dada dan memalingkan wajahnya ke samping. Ibu dan Dody hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Raya yang seperti ini. Tania yang memang belum mengerti apa-apa hanya sibuk bermain dan bersorak saat ia melihat pesawat dari ruang boarding. Hanya Raya yang sama sekali tidak bersemangat pergi ke Jakarta, tempat di mana orang-orang sangat ingin mengunjungi dan menetap di sana.

Raya bersikap seperti ini karena dia harus meninggalkan teman-temannya dan juga sekolahnya. Belum lagi nanti di Jakarta dia harus memulai beradaptasi lagi dengan lingkuang baru, sekolah baru, dan teman-teman baru. Membayangkannya saja sudah membuat Raya malas. Seny, mamanya memanggil Raya untuk mengajaknya masuk ke dalam pesawat karena sebentar lagi mereka akan terbang.

"Ray, ayo kita naik," ajak Seny.

"Iya," jawabnya singkat.

"Kak Raya sakit ya? Kok diam aja sih?" tanya Tania polos.

"Iya. Kak Raya lagi sakit gigi," goda papanya.

Raya lama sekali tak menggubris semua celoteh keluarganya. Dia memilih untuk berjalan dengan tatapan lurus ke depan, Sesampainya mereka di peswat Raya yang duduk bersama mamanya dan Tania bertanya berapa lama mereka akan berada di dalam pesawat.

"Ma, berapa lama kita di pesawat?" tanya Raya.

"Hmm ... Kira-kira satu jam lima belas menitan lah," jawab Seny.

"Ya sudah kalau begitu Raya mau tidur ya Ma. Jangan dibangunin kalau belum sampai," pesan Raya.

"Tapi kan pesawatya belum jalan Ray, memangnya kamu bisa tidur kalau pesawat masih mendarat seperti ini?" tanya mamanya.

Raya tak menghiraukan mamanya lagi. Dia langsung menyandarkan kepalanya pada kursi, memejamkan matanya dan mulai tidur. Baru saja Seny ingin membangunkannya Bagus sudah lebih dulu mencegah dan membiarkan Aira untuk melakukan apapun yang dia mau, karena dia mengerti akan perasaannya.

Setelah satu jam lima belas menit akhirnya mereka tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Sesuai dengan permintaan Raya tadi, mamanya sudah membangunkannya ketika para pramugari dan pramugara menginfokan bahwa pesawat akan mendarat. Setelah mereka semua turun dari pesawat Bagus langsung memerintahkan pada istri dan juga anak-anaknya untuk menunggu di terminal kedatangan karena dia akan menelepon supir yang menjemput mereka untuk memberitahu bahwa mereka sudah berada di bandara.

"Kalian semua tunggu di sini ya, Papa akan menelepon Mas Ujo orang yang akan menjemput kita," perintah Bagus.

"Iya Pa," semua orang menjawab kecuali Raya.

Melihat sikap Raya yang menurut Seny itu keterlaluan dia mencoba berbicara dari hati ke hati pada putrinya. Dia tak ingin kehidupan baru mereka di Jakarta diwarnai oleh kemarahan.

"Ray, kamu kenapa Sayang? Kamu masih marah dengan keputusan Papa dan Mama?" tanya mamanya sambil mengelus rambut Raya.

"Raya gak marah Ma, Raya hanya belum bisa menerima keputusan ini. Raya lagi asik menikmati dunia eh malah harus beradaptasi lagi sama lingkungan dan suasaa baru. Itu kan gak mudah Ma." Raya mengeluh.

"Iya Mama tau Nak, tapi semua itu hanya sementara kan. Sebentar lagi kamu juga lulus sekolah, itu juga kan mulai dunia baru," bujuk Seny.

"Ya sudahlah Ma, berikan Raya waktu untuk bisa berdamai dengan situasi ini," kata Raya.

Bagus kembali menghampiri mereka dan mengajak mereka untuk menemui Mas Ujo yang sebentar lagi akan tiba. Papanya tau bagaimana perasaan Raya, oleh sebab itu dia tak mengajak Raya untuk berbicara lebih banyak lagi.

Mas Ujo yang tak lain adalah supir dari perusahaan dimana papanya Raya nanti akan bekerja telah mengantar mereka sampai ke rumah yang akan mereka huni. Perumahan mewah yang terletak di Jakarta Selatan membuat mata Raya sedikit berubah. Begitu mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan perumahan elit barulah Raya membuka suara.

"Mutiara Residence! Ini perumahan yang akan kita tempati Pa?" tanya Raya dengan raut wajah yang sedikit ceria.

"Iya Sayang. Kamu suka kan tinggal di sini?" tanya Bagus yang sedang duduk di samping bangku pengemudi.

"Iya Pa, Raya suka," jawab Raya sambil mengangguk dan matanya mulai berkeliling.

"Hu ... dasar anak matre! Giliran lihat rumah mewah aja langsung senang. Dari tadi kemana aja, cemberut terus!" cetus Dody kakak laki-laki Raya.

Seny yang mendengar celoteh mereka berdua langsung menepuk paha Dody sebagai peringatan agar tidak banyak menggoda adiknya. Karena Raya adalah anak yang mudah merajuk.

Mobil yang dikemudikan Mas Ujo tiba di depan sebuah rumah bercat putih dengan pagar berwarna cokelat. Bagus memerintahkan seluruh anggota keluarga untuk turun dan segera masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang akan mereka tinggali ini memang lebih besar dari rumah yang mereka tempati sebelumnya.

"Raya! Dody! Kalian bisa pilih kamar mana yang kalian suka, biar Papa, Mama dan Tania menempati sisanya," kata Bagus begitu mereka sudah memasuki rumah tersebut.

"Pa, Ma, Raya boleh kan punya kamar di atas?" tanya Raya.

"Dody juga," susul Dody.

"Iya Sayang, boleh. Kebetulan kamar di atas memang ada dua. Bukan begitu Mas Ujo?" tanya Bagus.

Laki-laki yang dipanggil Mas Ujo hanya mengangguk karena beliau juga sibuk mengangkat barang-barang mereka dari mobil.

"Kalau kamar Tania dimana Ma?" celoteh gadis kecil itu pada Mamanya.

"Kamar Tania di sebelah kamar Mama dan Papa ya. Nanti Tania boboknya sama Mbak yang akan mengasuh Tania," jelas Seny.

Perpindahan mereka ke Jakarta memang sudah tersusun rapi. Berkat bantuan dari perusahaan Bagus dan keluarga bisa menetap di rumah mewah yang diberikan perusahaan. Bukan hanya itu, mereka juga diberi supir, pengasuh, serta asisten rumah tangga yang semuanya sudah disiapkan. Ketika mereka tinggal di Jogja, mereka hanya mempunyai seorang asisten rumah tangga harian oleh sebab itu mereka tidak bisa mengajaknya untuk pergi ke Jakarta. Sedangkan di sini, Bagus mendapatkan satu unit mobil lengkap dengan supirnya serta kebutuhan lainnya.

Raya memilih sebuah kamar yang cukup besar jika hanya untuk dirinya sendiri. Kamar yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur dan lemari ini sudah siap untuk ditempati. Karena rasa lelah yang ia rasakan maka dia memilih untuk langsung beristirahat. Direbahkannya tubuhnya di atas ranjang, kemudian direntangkan kedua tangannya ke atas sambil mengucap.

"Hello Jakarta," kata Raya sambil memejamkan mata.

Next chapter