1 Prolog

Di dalam sebuah rumah reyot, seorang pria paruh baya mengelus kepala seorang anak kecil sambil berkata, "Chen-er, sebagai manusia kita tidak bisa hidup sendiri. Karena itu, kita harus saling membantu. Tidak peduli siapa, di mana dan kapan pun, selama mampu, kau harus mengulurkan tanganmu untuk membantu."

Anak kecil yang dia ajak bicara tersenyum dan mengangguk. Kedua matanya yang membulat tampak begitu bening dan menggemaskan bagai mata anak anjing.

Tak lama kemudian, pria paruh baya dan anak kecil itu keluar rumah. Mereka bergandengan tangan dan melangkah pergi dari area rumah itu. Sosok keduanya semakin menjauh dan tak terlihat lagi.

.

.

.

Hiruk pikuk kota sudah mulai terlihat sejak pagi. Banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Pasar pun tampak seperti lautan manusia. Memang suasana pagi di Kota Xian selalu ramai seperti itu. Sebenarnya, Xian itu kota yang tidak terlalu besar. Namun, bisnis tambang giok yang berkembang pesat mampu menopang perekonomian lokal dengan sangat baik.

"Bibi, hari ini aku membawa jamur xianggu (shitake), apa kau mau membelinya?" Tanya seorang gadis berpakaian polos dengan rambut diikat pita abu-abu pada wanita penjual jamur di salah satu kios pasar.

"Ah, kau mengambilnya dari hutan?" Wanita itu bertanya dengan senyuman di wajahnya sambil mengulurkan tangan untuk meraih keranjang bambu yang dibawa gadis tadi.

Melihat itu, gadis tadi membalas dengan senyuman. Dia tahu wanita itu akan membeli jamurnya. Tak lama kemudian, wanita itu memberinya beberapa keping uang koin.

Setelah menerima uang, gadis itu beralih ke kios pedagang kentang. Kali ini penjualnya seorang pria paruh baya berkumis. Penampilannya sedikit galak, tapi pria itu langsung tersenyum saat melihat gadis tadi tersenyum ke arahnya.

"Paman, aku punya kentang yang siap panen. Apa kau mau membelinya?"

"Apa kentangmu bagus? Kalau memang bagus, bawalah ke mari besok."

"Lumayan bagus. Kelihatannya tidak ada yang membusuk karena tidak kehujanan. Kalau begitu, besok pagi akan aku bawa ke sini."

Gadis itu meninggalkan kios penjual kentang dengan tersenyum ceria. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sesuatu.

"Chen-er."

Terdengar suara perempuan tua dari seberang jalan. Gadis tadi merasa terpanggil dan menoleh. Dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, gadis itu menghampiri wanita tua tadi.

"Ada apa? Kenapa nenek Wang memanggilku?" Tanya gadis itu pada seorang wanita tua berambut putih yang sedang duduk di sebelah dagangannya.

"Aku tadi membeli bakpao. Apa kau mau?" Tanya nenek Wang sambil menyodorkan sebuah bakpao kepada gadis tadi.

"Nenek, kau selalu baik seperti biasa. Kalau setiap hari kau memberiku bakpao, aku bisa jadi semakin gendut dan bulat seperti A-Bao." Canda gadis itu.

Nenek Wang tertawa sambil memberikan bakpao tadi. Meskipun gadis tadi seperti menolak, nyatanya dia tetap menerimanya.

"Duduklah dulu dan makan itu." Gadis itu duduk di samping nenek Wang dan memakan bakpaonya. Beberapa saat kemudian, dia berdiri dan berpamitan kepada nenek Wang. Dia berjalan menjauh dari keramaian dan menyusuri jalan yang tidak begitu ramai hingga sampai pada sebuah rumah tua berukuran kecil.

Sejak beberapa bulan yang lalu dia tinggal di rumah tua itu karena tak berpenghui. Kabarnya, rumah itu bekas tempat pembantaian satu keluarga, sehingga tidak ada yang menempati. Dia memang bukan penduduk asli Kota Xian. Kalau ada yang bertanya siapa dia, gadis itu akan mengatakan namanya Yun Mengchen. Sebelum tinggal di Xian, dia tinggal di Gushan, kota yang ada di utara Xian. Selama ini dia berkelana, jadi tinggal berpindah-pindah.

Selama di Xian, dia dikenal ramah. Namun, dia bukan gadis ceria yang penuh semangat. Pada dasarnya dia pendiam, tapi karena ramah dan murah senyum, orang-orang menyukainya. Misalnya saja nenek Wang tadi. Dia seorang pedagang di pasar yang menjual berbagai jenis sayur dan buah. Kiosnya lumayan besar. Nenek Wang sangat menyukai Yun Mengchen karena dia ramah dan berwajah cantik. Saat pertama kali bertemu, nenek Wang memuji Yun Mengchen karena wajahnya yang cantik meskipun tidak menggunakan riasan sama sekali. Sejak saat itu, setiap kali ke pasar, dia akan memberi Yun Mengchen makanan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Yun Mengchen berjualan. Seperti hari ini, dia menjual jamur yang didapat dari hutan. Beberapa hari yang lalu dia juga menjual buah yang tumbuh liar di hutan. Kemarin dia menjual sawi yang dia tanam di kebut kecil miliknya kepada nenek Wang, dan besok dia akan menjual kentang.

Setelah masuk ke dalam rumah, dia pergi ke dapur untuk menaruh sisa jamur yang tidak dia jual. Dapur di rumahnya kecil, tapi peralatannya cukup lengkap untuk memasak.

Yun Mengchen berjalan ke luar dapur dan melangkah menuju kamar. Di rumah itu ada dua kamar, tapi hanya ada satu tempat tidur dan satu set perlengkapan tidur, seperti selimut dan bantal.

Yun Mengchen menyibakkan kelambu tempat tidur dengan hati hati. Di tempat tidur itu ada sosok laki-laki yang masih terlelap.

Yun Mengchen duduk di tepi tempat tidur dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi laki-laki itu. Suhu tubuhnya sudah tidak sepanas kemarin, tapi wajahnya masih pucat. Dia juga memeriksa denyut nadi laki-laki itu. Denyut nadinya sudah normal, tapi dia masih belum sadar sejak tiga hari yang lalu.

Sampai detik ini, Yun Mengchen belum tahu siapa laki-laki yang telah dia selamatkan itu. Dia hanya menyelamatkannya atas dasar kemanusiaan. Sejak kecil dia memang sudah dididik untuk membantu orang lain tanpa pandang bulu.

Karena laki-laki itu masih belum sadar, Yun Mengchen tidak merasa was-was berganti pakaian di dalam kamar. Setelah selesai, dia keluar kamar.

Seandainya Yun Mengchen menyibakkan kelambu lagi, dia mungkin akan melihat jemari laki-laki yang masih belum siuman tadi mulai bergerak, menandakan akan segera tersadar.

avataravatar
Next chapter