8 --Chapter 7--

Amel menatap tehnya dengan kosong. Gavin yang ada disebelah Amel sampai mengkerutkan keningnya heran.

"Amel," panggil Gavin sambil memegang tangan Amel yang sedang menyatu kuat.

"Eh? Kenapa Kak?" Tanya Amel.

Amel sempat terkejut, tapi itu tidak lama, Amel mencoba untuk tenang disaat dia sedang tegang seperti ini.

"Kamu kok tegang banget, ada apa?" Tanya Gavin sambil meremas kecil tangan Amel. Respon Amel ternyata hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah.

"Gapapa Kak," jawab Amel.

Gavin menghela nafas lelah, Amel hanya tersenyum canggung. Bukan niat Amel untuk menyembunyikannya pada Gavin, tapi dia rasa ini bukan waktu yang tepat.

"Yaudah kalau gitu," balas Gavin. Amel mengangguk cepat.

***

Amel memeluk Gavin erat, rasanya seperti akan kehilangan aroma dan pelukan ini. Gavin yang diepeluk hanya tersenyum kecil, Gavin belum merasakan debaran saat dia bersama Amel, tapi Gavin merasakan nyaman yang tidak dia dapat di Ana.

"Aku tenang banget," ucap Gavin tiba tiba. Amel mendongakan kepalanya dengan lucu.

Mereka sedang berdiri di tengah malam dengan angin yang menusuk langsung kulit mereka. Balkon kamar mereka menyuguhi pemandangan kota yang terlihat cantik pada malam hari.

"Tenang kenapa?" Tanya Amel.

"Beberapa kali aku resah, tapi selalu ada penawarnya," balas Gavin.

"Siapa?" Amel mengkerutkan keningnya heran, cemas mulai melanda.

"Kam- kamu se- seling-"

"Apasih Mel, kamu penawar resah aku. Nethink sih." Gavin buru buru menyela ucapan Amel, Amel yang mendengar tentu lega rasanya.

Amel menggerakan tubuh mereka yang saling menghangati ke arah kanan dan kiri. Gavin yang peka mengambil dua tangan Amel yang sedang memeluknya untuk di letakan di bahunya, tangannya memegang Amel.

Amel menatap Gavin dalam, rasanya dia ingin menikmati rasa rasa ini sampai selamanya. Semakin malam, Amel semakin resah.

"Jangan tinggalin aku Kak." Dengan polos, Amel mengucapkan itu.

"Kenapa?" Tanya Gavin.

"Aku gamau jauh dari Kakak," balas Amel. Gavin hanya terkekeh, dia baru sadar Amel semenggemaskan ini.

"Iya Kakak jan-"

DOR!!!

Gavin refleks memegang pinggang Amel erat. Dugaan Amel benar, dia akan dipisahkan Gavin. Bukan Gavin yang meninggalkan Amel, tapi Amel yang meninggalkan Gavin.

Saat mereka sedang berdansa tanpa musik, Gavin dan Amel sudah setengah putaran. Artinya, Gavin memunggungi pemandangan kota di malah hari, tentu hal itu dapat membuat siapa saja yang mengincar Amel semakin mendapatkan kesempatan, sehingga mudah saja peluru itu masuk ke dalam dada kiri Amel.

"Amel," ucap Gavin. Amel masih setia tersenyum sambil memegang bahu Gavin. Gavin buru buru menelfon ambulan dan polisi. Amel yang melihat itu hanya tersenyum.

"Amel tolong bertahan, aku- aku akan balas per-"

"Gapapa Gavin, ternyata bukan kamu yang ninggalin aku, aku yang ninggalin kamu," sela Amel. Gavin menggeleng takut.

"Enggak! Amel harus tetep buka matanya oke?" Gavin menggendong Amel secara bridal style dengan wajah kalutnya.

Dibawah sudah ada Ambulan yang menjemput, dan juga polisi. Rumah mereka dengan Rumah Sakit kota memang dekat, dan terlihat mama papa Gavin menghampiri Gavin.

"Gavin ad-"

"AKU GATAU MAMA! ISTRI AKU KETEMBAK!!!!" Untungnya Amel sudah diletakan di kasur khusus Rumah Sakit.

"Ya Allah Gavin." Gavin dipeluk Mora dengan erat. Ando juga memeluk Gavin.

"Aku mau ikut Ambulan Ma," ucap Gavin disela isaknya. Mora melepaskan pelukannya dan menatap anaknya yang sudah lebih tinggi darinya, Mora mengangguk kecil.

Gavin segera masuk ke Ambulan dan mendapatkan Amel yang mukanya sudah pucat, tadi sempat dadanya di sumbat kain agar menghambat darahnya untuk keluar.

Gavin hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih mau memberinya kesempatan untuk bahagia bersama Amel. Ya, Gavin harap.

***

Gavin terduduk lemas dikursi tunggu. Gavin baru saja mendapat kabar, kalau istrinya mengalami koma, Amel kehabisan banyak darah, dan tembakannya juga cukup dalam.

"GAVIN!!!" Gavin mendongak. Orang tuanya serta kedua mertunya datang.

"Gimana keadaan Amel, Gavin?!" Gavin hanya diam. Karly yang sudah bercucur air mata memegang lengan Gavin dan meremasnya dengan lemah.

"GAVIN!!!! AMEL KEADAANNYA GIMANA???" Gavin menatap mata Karly. Air matanya merembes dan dia segera memeluk Karly.

"Maaf Ibu," ucap Gavin. Karly memeluk erat Gavin, Kelvin hanya diam. Ando dan Mora juga diam. Mereka bukan diam membisu, diam karena menahan tangis. Mora sudah menangis tanpa suara, namun Ando dan Kelvin berusaha tidak menangis. Disaat saat seperti ini, peran mereka sangat penting untuk menguatkan yang rapuh.

"Amel koma," bisik Gavin. Karly semakin kejer dan memeluk Gavin erat. Karly tidak marah terhadao Gavin, hanya dia kecewa. Kecewa sama takdir.

Mengapa harus anaknya yang mengalami?

***

Gavin menatap tubuh perempuan yang beberapa bulan ini mengisi harinya. Pertemuan singkat, lalu perjodohan yang Gavin anggap malapetaka malah berubah menjadi anugrah.

Gavin mencintai Amel, dan Gavin menyadari itu.

Gavin hanya terobsesi sama Ana. Selama ini dia mencintai Amel, hanya dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Sekarang Gavin sadar, begitu besar pengaruh Amel terhadapnya.

Sekarang Gavin paham, Amel sudah menjadi pusat perhatian hatinya.

Semenjak Gavin bertemu Amel, Amel menjadi poros rotasi kehidupannya. Semua fokus Gavin hanya untuk Amel.

"Amel, yuk bangun yuk. Nanti aku beliin ice cream yang banyak!!" Gavin berucap antusias, walaupun matanya mengeluarkan cairan bening.

"Aku kangen banget sama kamu." Gavin mencium tangan Amel dengan dalam.

"Udah 2 bulan loh..." Gavin mencoba mengajak Amel berbicara lagi.

Namun hasilnya....Nihil.

Gavin menangis kembali, dia seperti manusia yang tidak terurus. Meskipun begitu, untungnya dia memiliki orang tua serta mertua yang sangat baik. Gavin masih mendapatkan perhatian serta suport untuk dirinya.

Walaupun Gavin jarang sekali mandi.

"Aku keluar dulu ya, dikit lagi mama dateng kok." Gavin berdiri dan segera berlalu.

Di sepanjang lorong, Gavin bertemu mamanya. Gavin hanya tersenyum dan menyalami saja, setelahnya dia pamit. Gavin berniat untuk menyelediki kasus ini tanpa bantuan polisi.

Sudah dua bulan, dan polisi tidak menemukan jijaknya sama sekali. Gavin tentu geram, bisa saja polisi itu sogok. Gavin menaiki taksi mobil yang sempat dia pesan.

Dijalan, pikiran Gavin terpaku pada Amel. Perempuan yang mengejar ngejar dirinya, sampai menggunakan wasiat kakenya yang paldahal perjodohan itu sifatnya tidak memaksa. Ada sisi di hatinya untuk memaksa dirinya menerima Amel.

Karena sebenarnya Gavin sudah jatuh cinta lebih dulu ke Amel, dari pada Amel ke Gavin.

Gavin di kagetkan oleh klakson truk yang berada di sebelah kanan. Gavin melihat ke sopir, dan sopirnya tidak ada. Saat Gavin ingin memuka pintu mobilnya, ternyata dikunci dari luar.

Gavin pindah ke arah depan dan berusaha mengeluarkan dirinya sendiri. Kaca bagia supir bolong, bisa jadi bolong sudah saat menjemput Gavin. Tapi karena Gavin memikirkan Amel, pikirannya tercabang cabang.

BRAK!!!

TITTTT!!!!

Suara tabrakan berbarengan dengan bunyi alat elektrokardiogram membuat siapa saja yang mendengar memekik. Gavin tidak berhasil keluar, sehingga mobil yang dia tumpangi harus menggelinding jauh.

Gavin memegang kepalanya kuat kuat, memori memori yang dia simpan bersama Amel dia ingat. Air matanya menetes, detak jantungnya berdebar kencang, dia sangat mencintai Amel.

Sampai sampai, hanya membayangkan saja membuat detak jantunga tidak normal.

"Amel...."

***

avataravatar
Next chapter