6 --Chapter 5--

Paginya mereka benar benar pergi untuk jogging, Gavin sedang menunggu Amel yang terkantuk kantuk. Gavin melihat Amel dengan gemas, Gavin menghampiri Amel dan membantu mengingat tali sepatu yang belum terikat.

"Bobo aja yuk, aku males," keluh Amel. Gavin tertawa kecil, Amel ini ngomongnya pas mereka sudah siap.

"Ayo udah, aku mau beli ketoprak diujung jalan, sambil jalan." Gavin menarik Amel, Amel yang masih lemas karena mengantuk memeluk Gavin dengan manja. Gavin terkekeh kecil, Amel kalau ga bar bar manjanya bikin gemes dan Gavin baru sadar hal itu.

"Ayok jalan, dih malah gelendotan gini, malu ih." Gavin menarik tangan Amel yang memeluknya erat. Rasanya Gavin ingin menggigit pipi bulat Amel dengan giginya.

Amel melepaskan pelukannya dan menggandeng Gavin, Amel masih terlihat lemas namun masih harus terlihat strong matanya. Amel lalu menatap Gavin yang ditatap menoleh dan menaikan alisnya.

"Mau mie ayam," ucap Amel dengan senyum manisnya.

"Masih pagi, siangan aja ya?" Bujum Gavin. Amel mengangguk lucu, pipi tembamnya ikut bergoyang seiring gerakan kepalanya yang naik turun. Gavin yang sudah tidak tahan dengan pipi Amel malah menggigitnya keras.

"AWWWW!!!" Pekik Amel. Gavin sesegera mungkin memeluk Amel dari belakang dan mendorongnya untuk jalan. Tubuh Amel memang tidak langsing di kebanyakan orang, tapi tubuhnya empuk dipeluk, Gavin sangat nyaman.

Gavin sedikit bangga dengan hobby Amel yang tukang makan. Gavin memang belum mencintainya, tapi dia akan mencintainya. Gavin sendiri berusaha untuk move on dari Ana.

Gavin melangkah dengan tangan merangkul bahu Amel. Amel menatap tukang ketoprak di ujung jalan. "Kak, ini yang Kapin makshud?" Tanya Amel. Gavin mengangguk, dia pernah makan disini, bersama Ana.

Suasana yang sudah mulai hangat, karena matahari sudah naik, membuat Amel dan Gavin buru buru untuk memesan makanan mereka dengan minum es teh.

"Kapin, mau satu gelas lagi, aku haus," ucapan Amel membuat Gavin tersenyum, istrinya ini ternyata haus.

"Punya aku habisi aja dulu," balas Gavin. Pesanan mereka pun datang, Gavin dan Amel mulai menikmatinya.

"Gavin!!!" Panggilan seseorang membuat Gavin dan Amel menoleh ke asal suara, paldahal yang dipanggil Gavin.

"Loh Ana?" Ternyata yang memanggil adalah Ana, dan disebelah Ana ada seorang laki laki yang membuat Amel berdiri dan memeluk laki laki itu.

"AKBAR!!!!!" Pekik Amel girang, tidak sadar kalau mereka jadi pusat perhatian. Akbar yang tau kabar Amel menikah dengan seorang guru cepat cepat melepas pelukannya.

"Kalo kangen jangan begini dong, lu kan bini orang!!" Sewot Akbar. Amel hanya menyengir lucu, Akbar dan Gavin yang melihat jadi gemas sendiri.

"Gavin, kok tumben ada disini." Kali ini, perhatian mereka ke arah Ana yang sudah duduk di tempat Amel duduki. Gavin terlihat salah tingkah.

"Yakan-"

"Eh, Ana kok panggil kak Gavin tanpa embel embel pak?" Ucapan Gavin disela sama Amel. Ana tampak menatap Amel sebentar.

"Karena gua mantan pacar Gavin," jawaban dari Ana membuat Amel membeku. Amel sama sekali tidak tau kalau hubungan mereka sejauh itu. Ana cukup tau diri akan hal itu.

"O-ouh," respon Amel. Suasana jadi canggung, Amel melanjutkan makan dengan raut berfikir, Gavin yang sesekali melirik Amel yang berpindah tempat di sebelah kirinya, Ana yang menatap Gavin dengan senyum cantiknya, sedangkan Akbar, dia bermain ponsel dengan jantung berdebar, sungguh situasi yang menegangkan.

"Amel, ayo pulang!" Gavin menarik Amel berdiri dan segera berlaku dari tempat itu, makanan mereka diawal juga sudah dibayar, jadi Amel atau Gavin tidak perlu takut ditagih tagih abang abangnya.

***

Sesampainya dirumah, Amel menaiki tangga untuk menuju kamarnya dengan menahan tangisannya. Gavin yang melihat menghela nafasnya. Gavin menyusul dengan segera.

Dibukanya pintu itu, terlihat Amel yang sedanh melamun di dekat pintu jendela kamr mereka. Amel yang tau Gavin ada disini mulai jalan ke arah balkon sambil menutup pintu perbatasan antara balkon dengan kamarnya.

Gavin mengehela nafas, dia memilih mandi untuk meredam emosi emosi yang baru dia tampung. Sedangkan Amel, Amel menangis tersedu sedu tanpa suara, mulutnya dia tutup agar tidak menciptakan isakan pilunya.

Mungkin mereka butuh waktu untuk menerima keadaan yang ada. Biar waktu yang mengatur, mereka sebagai hamba hanya menjalaninya dengan ikhlas.

***

Sejak kejadian minggu lalu, Amel berubah menjadi sosok yang diam, tidak mau terlu buka suara tentang apa yang terjadi. Amel juga sedikit menghindar dari Gavin, mulai dari sekolah, sampai dirumah.

Amel sendiri menjadi sosok yang cuek dan mulai menjauh dari Gavin bukan tanpa alasan. Amel merasa bersalah, dia merasa posisinya disini merebut hak sahabatnya, Amel menyesal atas pemintaan perjodohan itu.

Peejodohan antara Amel dan Gavin terlaksana memang dari kertas wasiat perjodohan dari kakek mereka masing masing. Namun, perjodohannya tidak bersifat memaksa, dijalankan gapapa enggapun juga gapapa.

Namun karena Amel sangat memaksa perjodohan ini, mau ga mau hal ini terjadi, dan amel sangat amat menyesal. Amel memandang buku yang dulu menjadi curhatan hati antara Ana, masing masing mereka memilikinya, Ana memegang punya Amel dan Amel memegang punya Ana.

Pintu terbuka, menampakan Gavin yang berdiri dengan kaos polosnya. Amel yang mendengat pintu terbuka buru buru menutup buku itu dan mengelap air matanya.

"Hari ini kita pindah, kamu udah siap kan?" Pertanyaan Gavin hanya dijawab anggukan Amel.

"Yaudah, ayuk berangkat!" Ajakan Gavin membuat Amel segera berdiri dan mengambil barang barangnya yang sudah di kemas. Ada perasaan sedih ketika dia harus meninggalkan kamar yang sedari dulu menjadi tempatnya bermain.

***

Amel menatap orang tuanya dengan tatapan sendu, dia adalah anak tunggal, menjadi yang paling dimanja rasanya sangat berat meninggalkan orang tuanya.

"Ayah sama Ibu, jaga kesehatan ya," ucap Amel. Gavin hanya menatap kedua mertuanya dengan senyum tulusnya. Kelvin sebagai ayah dari Amel tentu saja merasa sulit untuk melepas anak semata wayangnya pergi.

Amel dan Gavin menaiki mobil yang akan mereka gunakan untuk menuju rumah baru mereka, dimana akan tercipta cerita baru. Dengan kaca dibuka, Amel melambai lambaikan tangannya ke arah orang tuanya sambil menahan tangis.

Diperjalanan terasa sepi, Amel yang sibuk memikirkan orang tuanya, dan Gavin yang memikirkan bagaimana caranya agar Amel tidak marah.

Saat lampu merah, Gavin meraih tangan Amel lalu mengecupnya dan meletakannya dipipinya. Amel tentu terkejut, spontan dia menoleh ke arah Gavin dan mengelus pipi Gavin.

"Sorry, jangan cuekin aku," ucap Gavin dengan lirih.

Lampu sudah dihijau, namun Gavin enggan melepas tangan Amel. Sesekali, tangan Amel dikecup dengan lembut sambil mengelus ngelus punggung tangan Amel yang terasa lembut dan pas ditangannya.

***

Sesampainya dirumah, mereka benar benar bekerja sama dalam membereskan barang mereka. Pekerjaan membereskan pakaian, foto foto yang Amel bawa. Mereka terlihat bahagia saat membereskan itu secara bersama sama.

"AKHIRNYA!!!!" Pekik Gavin sambil merebahkan dirinya dengan tangan dibentangkan. Amel pun ikut berbaring, dengan bantalan lengan Gavin yang di bentang. Gavin menoleh ke arah Amel dan dengan mudah menarik lengan yang ditiduri Amel keatas, akibatnya Amel terguling dan berakhir dipelukan Gavin.

"Jangan marah marah lagi," bisik Gavin. Amel yang masih terkejut hanya mengangguk.

Gavin hanya terkekeh. Setelah itu, Gavin mengajak Amel tidur siang untuk menghilangkan penat. Harapan Gavin, semoga perasaan ini cepat ditetapkan, kepada siapa hatinya memihak. Dan harapan Amel, jangan ambil Gavin-nya.

***

avataravatar
Next chapter