19 --Chapter 18--

Dua minggu sudah berlalu, dan mereka akan segera terbang ke Indonesia untuk menemui orang tua yang selama ini merawat Amel.

Amel, Gavin, serta kedua orang tuanya sudah siap di dalam pesawat pribadi milik keluarga Amel. Kini Amel dan Gavin sedang sibuk dengan laptopnya masing masing.

Gavin melirik Amel dan tersenyum. "Sayang," panggil Gavin. Amel menoleh ke arah Gavin. "Manggil doang," balas Gavin ketika Amel mengangkat alisnya. Amel mendengus kesal dan memilih memfokuskan dirinya terhadap laptop yang ada di depannya.

"Sayang." Amel menoleh ke arah Gavin dan mengangkat alisnya. "Engga kok, aku manggil aja." Amel mengambil tangan Gavin dan menggigutnya dengan keras "AKHHH SAYANG!!!!" Amel menghempaskan tangan Gavin begitu saja dengan kasar.

"Gavin nyebelin," gumam Amel. Gavin meniup niup bekas gigitan Amel yang mencetak jelas di tangannya. "Sayang, sakit loh." Amel hanya mengacuhkannya tanpa repot repot menjawab.

Untung posisi mereka sedang di kamar yang kedap suara, sehingga teriakan Gavin tidak terdengar oleh orang orang yang diluar kamarnya.

***

"AKHIRNYA!!!" Gavin menutup mulut Amel dan mencium kepala Amel dengan wajah menahan tawa. "Sayang jangan berisik!" Amel hanya menyengir di balik telapak tangan Gavin. Gavin melepaskannya dan menggandeng tangan Amel.

"Mama sama Papa kemana?" Tanya Amel.

"Katanya mau ke hotel aja," balas Gavin. Amel hanya mengangguk anggukan kepalanya.

"Pak ke alamat ini." Gavin memakai jasa taksi karena supirnya izin untuk libur.

Disepanjang jalan mereka hanya sibuk oleh kesibukannya masing masing. Amel menatap jendela mobil dan Gavin menatap Amel.

"Kenapa?" Tanya Amel sambil menoleh ke arah Gavin. Amel mengelus rambut lebat Gavin dan Gavin meresponnya dengan tersenyum.

"Elusin ya," ucap Gavin. Amel mengangguk. Gavin memeluk Amel dan meletakan kepalanya di bahu Amel dengan wajah diletakan di dekat leher Amel.

Gavin menutup matanya menikmati elusan tangan Amel. Gavin menghirup bau tubuh Amel dengan senyum mereka. Tangan Gavin memeluk Amel semakin erat dan sampai akhirnya Gavin terlelap.

***

Mereka sampai di rumah dulu mereka menjadi seorang suami istri. Amel mengeluarkan air matanya karena terlalu rindu dengan rumah yang ada di hadapannya.

"Hey, you don't cry!" Ucap Gavin sambil mengelap mata Amel dengan lembut. Amel tersenyum dan memeluk Gavin.

"Aku seneng kita bisa kembali bareng bareng," ucap Gavin. Amel mengangguk anggukan kepalanya setuju.

"Aku juga," balas Amel.

Gavin melepaskan pelukannya dan menggandeng Amel untuk masuk ke rumah yang sudah empat tahun lebih ditinggali. Rumahnya masih bersih karena Mora dan Ando menyewa orang untuk membersihkan selalu rumah Gavin dan Amel.

"Masih sama," ucap Amel.

"Iya, karena yang bisa merubahnya cuman kamu." Amel tersenyum lalu memeluk Gavin dari samping.

"Mau lihat kamar kita?"Tanya Gavin. Amel mengangguk dan berjalan lebih dulu ke lantai dua.

Amel tersenyum ketika melihat kamar mereka masih sama, hanya sprei dari kasurnya sudah berganti. Amel berdiri di balkon di mana dirinya ditembak.

"Disini," ucap Amel. Gavin tersenyum, dia tau makshud Amel apa. Sampai sekarang mereka belum tau pelakunya siapa dan motifnya apa.

"Siapa pelakunya, dan untuk apa?"

"Aku pelakunya!" Tiba tiba, suara seorang wanita dan getaran ponsel di tangan Amel secara bersamaan berbunyi. Amel yang kaget menoleh ke arah belakang dimana pintu masuk untuk ke kamar mereka. Gavin menyembunyikan Amel di punggungnya. Amel mengangkat telfon yang dia namai kontak 'Akbar Anak HOMAN'.

"Ibu!" Gavin dan Amel melotot ketika melihat Karly yang berdiri disana dan mengaku dialah dalang dari kejadian empat tahun silam.

***

"Aku dalangnya!" Ulang Karly dengan tangan memegang pisau.

Gavin menyembunyikan Amel di balik punggungnya, takut takut kejadian dulu terulang kembali. "Mau ibu sekarang apa?" Karly tersenyum.

"Ibu cuman mau Amel mati!" Gavin semakin berusaha melindungi Amel. Amel pun tubuhnya sudah bergemetar takut.

BRAK!

Pintu terbuka dengan keras. Disana terlihat Akbar dan kedua orang tuanya Amel. Karly tersenyum sinis dan melempar pisaunya ke arah Vas bunga di deket Amel.

"Amel? Telfon kamu berdering dan kamu angkat sayang?" Tanya Karly dengan nada seolah olah dia masih menjadi anak angkatnya.

"Dia bukan anak kamu!" Ucap Sinta dengan tegas. Karly tersenyum lalu menatap Sinta dengan wajah yang terlihat jahat namun dengan sorot terluka.

"Dia bukan anak kandung aku, tapi aku yang merawatnya." Amel memegang pundak Gavin dan memiringkan kepalanya mengintip.

"Makasih, tapi seorang ibu yang tulus, ga mungkin membeda bedakan kasih sayangnya sama anak kandungnya!" Balas Amel. Karly tersenyum dan menatap Amel. Amel yang ditatap menyembunyikan lagi dirinya dibalik punggung Gavin.

"Kamu ga tau mereka sayang, dan kamu ga tau apa yang sebenarnya terjadi." Amel menyernyitkan keningnya dengan heran.

"Makshudnya?" Tanya Amel sambil mengintip di balik punggung Gavin. Amel melirik mamanya yang seperti sedang gelisah. Karly hanya tersenyum dan menghampiri Amel dan Gavin.

Gavin membalikan badannya dan memeluk Amel. Karly mengambil pisaunya dan tersenyum. Karly mencoba meraih Amel namun tidak bisa.

"AMEL!!" Pekik Akbar.

"AKU GA MAU!!" Teriak Amel. Karly dengan cepat menarik lengan Amel yang tidak terlindungi tubuh Gavin. Gavin yang kalah cepat berusaha menggapai Amel.

Amel panik karena di dalam genggaman Karly. Karly memeluk Amel dari belakang. Tanggannya mengerahkan pisaunya di dada Amel.

JLEB!!!

"AMEL!!!!" Teriak Akbar, Gavin, Arya dan Sinta secara bersamaan. Gavin melemah melihat lemandangan didepan, Gavin terduduk di lantai balkon yang dingin.

***

Isak tangis terdengar pilu di kuburan milik seorang wanita yang dikenal banyak orang. Akbar memeluk Ana yang terisak isak didalam dekapannya.

Saat Akbar menelfon Amel, Akbar dalam perjalanan ke Indonesia bersama Ana. Untung kandungannya Ana kuat, dan sudah mendapat surat izin dari dokter yang memeriksa kandungan Ana.

Ana memeluk Akbar erat seolah merasakan sakit ketika orang yang dicintainya meninggal dunia. Orang yang selalu menjadi alasan dia untuk tetap menjadi sosok Ana.

"Kenapa sih hiks, kenapa harus dia si Akbar!" Ucap Ana dengan suara yang tersendat sendat. Sakit di hatinya dan rasa sesak di dadanya seolah olah benar benar menggambarkan apa yang hari ini dia rasakan.

Akbar hanya terdiam menatap nisan itu. Orang yang dari dulu sudah dia anggap sebagai ibunya harus meninggal dengan mengenaskan.

"Semoga Tante Karly tenang ya tan," Ucap Akbar.

Gavin menatap Amel yang duduk di kursi roda. Semenjak kejadian itu, Amel drop dan tidak memiliki tenaga untuk sekedar berjalan. Amel mau ga mau harus memakai kursi roda untuk menopang tubuhnya.

Gavin berjongkok dan memutar kursi rodanya Amel. Gavin mengelus kepala Amel yang sedang tertunduk. Wajah pucat, dengan bibir yang pecah pecah serta matanya bengkak apalagi sedang mengeluarkan air mata. Kondisi Amel benar benar memprihatinkan.

"Sayang..." Panggil Gavin selemah mungkin.

"Ini bukan salah kamu, bukan." Gavin memegang tangan hangat Amel dan meremasnya dengan pelan. Gavin seolah olah menyalurkan energi positif-nya untuk Amel.

"Gapapa sayang, bukan salah kamu, kamu juga ga mau endingnya seperti itu." Amel meneteskan air matanya kembali.

"Heyy! Look at me!" Gavin dengan tegas memegang wajah Amel yang bahsah akibat air matanya. Gavin menatap Amel dengan sorot memohon.

"Tolong jangan kayak gini."

***

avataravatar
Next chapter