18 --Chapter 17--

Hari ini hari terakhir Amel memperlakukan dirinya sebagai istri dari Gavin, meskipun memang kenyataannya seperti itu. Seperti hari hari yang lalu, Amel akan membangunkan Gavin, menyiapkan pakaiannya, menyiapkan sarapannya, mengantar makan siang Gavin dan hal hal yang harus dia lakukan sebagai istri.

Tapi, bukan itu yang menjadi masalahnya. Yang menjadi masalahnya adalah Gavin beluk mengingat wajah asli istrinya.

Seperti biasa, hari ini Amel membangunkan Gavin dan menyiapkan pakaiannya lalu menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Amel.

Sudah dari kemarin lusa Mora dan Ando terbang ke Jepang untuk berlibur, dan hari ini mereka berdua akan pulang. Gavin mengunyah makanan miliknya dengan mata menatap Amel.

"Kenapa" Tanya Amel ketika sadar bahwa dirinya di perhatikan. Gavin menggelengkan kepalanya dengan pelan sambil tersenyum.

"Gapapa," balas Gavin.

"Oh ya." Gavin menatap Amel yang bertanda dia menunggu kelanjutan ucapan Amel.

"Sesuai perjanjian, kalau besok masih belum inget wajah istri kamu, aku bakal terbang ke Jerman lagi." Gavin menatap Amel dengan heran.

"Bukannya ini yang terakhir?" Tanya Gavin. Amel mengangguk.

"Hari ini kamu ingat ingat aja aku tunggu sampe besok, aku yakin kamu ga akan inget sama wajah istri kamu." Amel meninggalkan meja makannya dengan wajah datar. Gavin menghembuskan nafasnya lelah.

Sekarang rasa takut melanda Gavin. Gavin yakin kalau wajah istrinya seperti Amel. Tapi Gavin belum mengingat wajah istrinya dengan jelas, walaupun dia tau kalau wajah istrinya persis seperti Amel, karena memang istrinya Amel.

"Aku berangkat," ucap Gavin sambil mencium kening Amel yang kebetulan lewat di belakang kursinya. Amel hanya bergumam dan berlalu untuk naik ke lantai atas.

***

Amel menatap jendela yang basah karena hujan. Siang seharusnya terik sekarang malah hujan, dan Amel setia memandangi hujan itu.

Amel menatap kertas kecil yang ada di mejanya.

Amel duduk di kursi dan bermeja kecil, kata Gavin ini tempat dia untuk ngopi. Meja bundar dengan dua kursi yang saling berhadapan dan dekat oleh jendela.

Amel menulis di sebuah buku yang memang khusus untuknya.

'Terkadang hujan mengajarkan aku untuk bersyukur berkali kali. Jatuh namun bermanfaat. Lebur namun berguna. Hujan mengajarkan aku untuk tidak takut jatuh. Hujan mengajarkan aku untuk menyatu. Menyatu dalam diri sendiri. Aku bisa bermanfaat walau aku jatuh, aku bisa berguna jika aku menyatu.'

Amel tersenyum menatap tulisannya. Amel suka menulis kata kata untuk dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri agar bisa memotivasi orang lain, itu prinsip Amel.

Amel menatap ponselnya yang bergetar menampilkan nama Akbar.

"Halo?" Tanya Amel.

"Kerumah sakit *** sekarang juga," ucap Akbar dengan tenang namun bernada tegas.

"Emang kenapa?" Tanya Amel.

"Gavin kecelakaan! Cepet!" Amel mematikan ponselnya lalu segera menuju rumah sakit yang Akbar beri tau.

***

"AKBAR!!" Amel berlari ke arah Akbar dan memeluknya. Akbar sempat terkejut namun dia membalas pelukan Amel. "Gavin, gimana?" Amel berusaha berbicara meski sulit.

Akbar melepaskan pelukan mereka dan menyuruh Amel masuk. Amel masuk ke dalam dan melihat keadaan Gavin yang terbaring tak berdaya.

"Gavin," panggil Amel. Amel memeluk Gavin dengan spontan. "Kenapa sih Vin? Ingatan kamu sama wajah istri kamu aja belum pulih! Apa abis ini kamu bakal lupa sama memori kita?!!"

"Engga dong." Balasan dari omongan Amel tersauti oleh Gavin sendiri. Gavin membuka matanya sebelah sambil menahan senyum. "Senyum aja sih!" Sewot Amel, Gavin tersenyum lebar dan dilanjuti oleh tawanya.

"Aku udan inget, who you are." Amel menatap Gavin dengan terkejut. "Serius?" Gavin mengangguk.

"Sebelum kecelakaan, aku sempet nemu foto dimana kamu pakai baju SMA dan akhirnya kepala aku sakit karena memori memori keputar dengan wajah kamu yang ada di kepala aku, dan ga sengaja nabrak pohom gara gara ngindarin Ayam." Amel tertawa terbahak bahak mendengar cerita absurd dari Gavin.

"Kocak ih! Kaya drama Indosiar." Gavin terkekeh kecil.

"Jadi? Kita terbang ke Jerman bareng bareng?"

***

"Awas hati hati," Ucap Gavin sambil membantu Amel turun dari jet milik keluarga Gavin. Gavin dan Amel sudah berhasil dan selamat mendarat sampai ke Jerman.

Gavin benar benar mengingat Amel, bahkan hingga Gavin menggunakan bakat yang sedari dulu dia pendam dia keluarkan. Gavin melukis wajah Amel karena dia mengingat jelas wajah istrinya dari masa Amel menjadi muridnya.

"Temuin mama papa abis itu kita bahas masalah pernikahan kita?" Amel mengangguk, Amel meminta Gavin menikahinya kembali lantaran mempertegas status suami istri mereka.

Gavin setuju setuju saja, permintaan Amel mudah dia kabulkan, jadi kenapa engga?.

Amel masuk kedalam mobil setelah Gavin membantunya masuk. Satu minggu Gavin disuruh istirahat total hanya kecelakaan menabrak pohon itu. Gavin tidak parah, tidak ada luka dalam. Namun, dokter menyarankan untuk ber-istirahat total, agar lukanya juga cepat sembuh.

Akhirnya, setelah satu minggu mereka benar benar berangkat ke Jerman.

***

"Assalammualaikum," salam Amel dan Gavin. Amel dan Gavin masuk ke dalam rumah yang sepertinya sedang ramai karena Amel dan Gavin langsung disambut oleh gelak ketawa orang orang yang ada dirumah.

"Hellooooo semuanya!!!" Amel melambaikan tangannya dengan heboh. Rumah yang sedang ramai itu langsung menoleh ke asal suara, yang ternyata milik Amel.

"AMEL!!!" Amel memeluk satu satu saudara saudaranya dan tentunya tante, om serta neneknya. Mama Papanya memeluk Amel ketika keadaan mulai agak tenang.

"Ini siapa?" Tanya salah satu sepupu Amel dengan wajah polosnya.

"Suami Amel," jawab Amel. Semuanya menatap Amel melongo.

Amel tersenyum dan mulai menjelaskannya, Gavin juga membantu menjelaskannya termasuk insiden dirinya yang kecelakaan hanya karena ayam yang berdiri di tengah jalan.

"Ayam Singapur meresahkan ya bund," ucap Stevan, sepupu Amel yang paling kecil dan tentunya tampan.

Akhirnya, kepulangan Amel disambut baik oleh keluarganya, apalagi Gavin. Gavin mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa, contohnya.

"Keponakan om yang cewe cuman Amel doang. Kalau sampe lecet balikin, soalnya cuman di produksi satu doang."

***

"Keluarga kamu seru!" Amel mengangguk anggukan kepalanya.

"Emang, dan gua seneng bisa ketemu mereka lagi." Gavin tersenyum. Dia sudah tau tentang orang tuanya Amel, dan Gavin tidak mempermasalahkan itu.

"Kita kapan ke Indonesia?" Tanya Gavin.

"Dua minggu lagi." Gavin mengangguk anggukan kepalanya paham.

"Kenapa dua minggu lagi?" Tanya Gavin.

"Karena aku ada kerjaan yang ga bisa aku tinggalin." Gavin memang belum tau kalau Amel adalah seorang penulis yang terkenal dan sangat secret.

"Emang kerjaan kamu apa?" Amel tersenyum.

"Yang dekat dengan ini dan ini," jawab Amel sambil menunjuk dada dan kepala. Yang Amel makshud adalah Hati dan Pikiran, di mana dia menulis yang digambarkan oleh imajinasi dan di olah menjadi sebuah kata lewat hati, agar pembacanya dapat merasakan apa yang Amel rasakan saat menulis karyanya.

"Hmm..." Gavin tampak terlihat memikir dan Amel hanya tersenyum kecil.

"Ga akan menemukannya jika dipikirkan, tanpa sadar dia berkeliaran." Gavin tersenyum, Amel adalah gadis penuh teka teki.

Dan Gavin sangat menyukai Amel, Amel yang penuh misteri dan teka teki.

"Oranng tua kamu udah tau kalau kita akan ke Indonesia?" Tanya Gavin. Amel mengangguk anggukan kepalanya antusias.

"Udah!" Balasnya.

Gavin mengangguk dan memilih menyibukan dirinya dengan laptop yang ada di depannya, Gavin ada beberapa kerjaan yang memang bisa dia kerjaan lewat jarak yang sangat jauh, sehingga dia bisa berpergian seperti ini.

***

avataravatar
Next chapter