16 --Chapter 15--

Ana menatap jendela kamar tamu yang langsung memberikan pemandangan taman belakang rumah Gavin. Dia tidak ingin melakukan ini, namun rasa cintanya menutupi perasaan itu.

"Sabar ya sayang, kalau benar kita ga bisa sama papa Gavin, kita minta tanggung jawab sama orang yang buat kamu hadir." Ana mengusap perutnya pelan sambil menghapus air mata yang terjun dari matanya.

Ana duduk di meja rias yang tersedia di kamar tamu rumah milik orang tua Gavin. Mengambil kertas dan pulpen di laci nakas, lalu mulai membuat surat yang mungkin akan dia berikan ke Amel setelah kondisi hubungan antara dirinya dengan Gavin mulai sedikit membaik.

Haii Mel!!

Gua mau say sorry and thank you ke lo.

Sorry, udah buat lo sakit. Sebenarnya Mel, gua ga ada niat jahat sama lo, apalagi buat rebut kebahagiaan lo. Gua cuman ga mau Gavin hancur kalau tau lo meninggal, gua cuman mau bantu dia dengan berpura pura sebagai Amel, biar seandainya dia tau kenyataanya dia bisa lebih ikhlas. Cara gua emang salah Mel, gua malah nyakitin lo, gua seneng banget pas tau kalau lo masih hidup. Sebenarnya, gua juga mau Mel ngerasain di posisi lo, gua juga mau. Maaf Mel, gua sahabat yang buruk buat lo. Gua ga nyesel ngelakuin ini, karena dengan ini gua tau 'mau seberusaha apapun gua, kalau Gavin lebih cinta sama Amel, dia ga akan pernah berpaling ke Ana'. Thank you Amel, kejadian ini bikin gua belajar banyak hal. Salam buat Akbar, gua nunggu Akbar tanggung jawab atas bayi yang gua kandung.

Ana meletakan lembaran kertas dan pulpen itu di atas meja rias dan segera merebahkan dirinya di atas kasur yang empuk. Ana menghela nafas dengan senyum mengembang.

"Semuanya udah selesai. Takdir tuhan emang paling indah. Sakit ditinggal sahabat bisa merasakan cinta lama. Ternyata dunia menolak gua buat bahagia sama Gavin, kenyataan Amel masih hidup buat semuanya semakin rumit. Dan sekarang? Gua ngandung anak sahabat lama gua sendiri, takdir takdir, mau lo apa sih?" Ana memejamkan matanya sambil tersenyum, tertawa dalam hati karena takdir hidupnya yang seolah olah di buat candaan oleh alam.

Terkadang, yang terlihat jahat bisa saja salah mengambil cara. Terkadang, yang terlihat baik bisa saja hanya tipuan mata. Hati dan pikiran harus digunakan secara bersamaan.

Karena terlalu mementingkan ego tidak selalu berakhir baik. Begitupun juga hati, terlalu mementingkan hati belum tentu dianggap baik.

***

"Dimana Amel?" Semuanya berhenti mengunyah sarapan yang sedang mereka santap. Ando menatap Mora dan Mora menatap balik Ando.

Ana meletakan garpu dan sendoknya dengan pelan. "Amel, Amel adalah sahabat Ana dan aku Ana. Yang kemarin dateng adalah Amel." Gavin mengambil gelas yang berisi air di meja makan lalu membantingnya dengan keras.

"KENAPA LO LAKUIN ITU?!" Gavin mengeraskan rahangnya dengan geram.

Ana berdiri lalu menghampiri Gavin. Gavin ikut berdiri dan menatap tajam Ana, sorotnya tampak marah. Gavin terlanjur kecewa dengan fakta yang ada.

Semuanya tampak membingungkan, Ana dan Amel. Dimana keduanya? Bagaimana wajah sebenarnya? Gavin menatap mata Ana dengan sorot tajam.

"Maaf," ucap Ana. Gavin tersentak ketika mendengar suara serak Ana.

"Aku ga bermakshud buat rebut kamu dari Ana. Amel sahabat aku, dia yang dari dulu nemenin aku, jadi aku ga mungkin rebut kebahagiaan dia walaupun DULU aku ada niat untuk menghancurkan kebahagiaan dia," jeda Ana.

"Empat tahun yang lalu, Amel dinyatakan meninggal, dan kamu kecelakaan yang membuat kamu lupa wajah Amel. Hanya wajah, bukan memori. Aku datang mengajukan diri aku sebagai Amel bukan makshud untuk merebut kamu dari Amel." Ana mengusap air matanya yang sempat turun.

"Aku cuman ga mau kamu kecewa, aku ga mau kamu hancur, karena pada saat itu aku masih cinta sama kamu." Ana menangis sejadi jadinya. Ana gatau harus menjelaskannya seperti apa.

"Aku ga nyesel ngelakuin ini. Karena, lewat kejadian ini aku jadi belajar banyak hal. Aku juga sebenarnya semenjak kehamilan ini pengen mengungkap semuanya, kalau aku sebenarnya bukan Amel. Aku cuman salah jalan, karena pada saat itu aku kalap, maaf."

Ana menatap kembali Gavin dengan sorot kecewa. Ana kecewa pada dirinya sendiri, karena terlalu mencintai Gavin dia sampai salah jalan dan lupa pulang.

"Ini bukan bayi gua sama lo kan?" Ana tersenyum kecil.

"ITU HASIL SAMA GUA WOY!" Ana, Mora, Ando dan Gavin menoleh ke arah suara yang sudah tidak asing lagi.

Disana ada Amel yang sedang berdiri dengan mata berkaca kaca dan Akbar yang tersenyum. Ana menghampiri Amel dan Amel menghampiri Ana.

Mereka memeluk satu sama lain, mereka melepas rindu lewat tangisan yang selama ini mereka tahan. Berkali kali Ana bergumam maaf dan Amel selalu mengangguk.

Amel paham, Ana hanya tidak ingin membuat Gavin sedih dan hancur, dan dengan mengaku ngaku sebagai Amel adalah jalan pilihan Ana sendiri. Paldahal kalau dengan cara itu, Gavin malah akan semakin berharap akan kehadiran Amel.

Ana pun tidak tau kalau ternyata Amel masih hidup, dan dia sengaja membuang semua album album atau foto foto yang dapat membuat Gavin mengingat wajah Amel, karena Ana tidak mau kalau Gavin kecewa.

Lagi lagi cara Ana salah. Tapi setidaknya semuanya sudah terungkap, Ana sudah tau cinta sejatinya siapa, dan Ana sudah siap jika Amel membencinya.

"LO BEGO BANGET SIH!" Amel dengan gemas mencubit lengan Ana pelan, walaupun dengan wajah yang sudah acak acakan karena menangis.

Ana terkekeh lalu memeluk Amel dan mencium pipi Amel. "Pas di di tempat makan itu gua mau meluk lo tau! Gua kangen banget sama loooo..." Amel terkekeh dan membalas perlakuan Ana dengan mecium pipinya.

Aneh memang, tapi itu cara mereka mengungkapkan rasa sayang mereka satu sama lain. Akbar menarik Ana dan membawanya keluar. Amel hampir menahan Ana dengan menariknya. Namun, karena Ana sudah tau kebiasaan Amel, dia buru buru melekatkan lengannya ke arah punggung Akbar.

Amel melototkan matanya dan Ana memeletkan lidahnya dengan wajah konyolnya. Amel menatap Ando dan Mora yang sudah berdiri dan akan segera pergi.

"Tan-"

"Mama sayang...." Amel menggaruk garuk pipi putihnya dengan canggung. "Iya maa," balas Amel. Ando dan Mora pergi ke atas, dan sepertinya Akbar dan Ana pergi keluar, karena terdengar mesin mobil milik Akbar melaju menjauh.

Amel datang dengan Akbar memang menggunakan mobil, Akbar dan Amel memang sudah bertamu dari sebelum mereka melakukan sarapan, semua ini atas perintah Gavin.

Gavin menemukan nomor telefon Akbar di selipan Album itu. Gavin buru buru menghubungi Akbar dan menyuruhnya datang pagi pagi. Gavin tidak tidur, Gavin benar benar tidak bisa tidur.

"Jadi?" Amel tersentak ketika mendengar suara berat Gavin.

"Kamu bisa jelasin sesuatu?" Amel berdehem sebentar lalu menatap Gavin.

"Aku Amel, murid kamu sekaligus mantan istri kamu." Gavin mengkerutkan keningnya tidak suka saat mendengar kata 'mantan istri'.

"Kita pernah bercerai? Ingat, aku hanya lupa wajah istri aku bukan memori kita." Amel menatap mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Aku yang menge-klaim kalau kamu dan aku sudah bercerai." Gavin menggeleng sambil mengeluarkan senyum tidak percayanya.

"Belum ada kata cerai diantara kita. Kita masih sah menjadi suami istri, kamu ga bisa memutuskan keputusan tanpa nanya dari aku yang notabennya adalah suami sah kamu." Amel menatap Gavin dengan air mata yang sudah mengalir.

"Kalau begitu, aku mau bercerai." Gavin melototkan matanya terkejut.

"Kita baru ketemu, dan kamu langsung minta pisah?" Amel mengangguk anggukan kepalanya.

"Iya! Aku mau pisah dari kamu." Gavin menarik tangan Amel keluar dari rumah dan memasukannya kedalam mobil. Amel panik, belum pernah dia melihat Gavin semarah ini.

"Kamu mau bawa aku kemana Gavin!" Gavin menoleh sekilas ke arah Amel.

"Aku bakal bawa kamu ketempat yang dimana cuman ada aku sama kamu." Gavin menyeringai dan Amel membulatkan matanya.

"Mau kamu apain aku?" Tanya Amel dengan nada tegas.

"Aku akan buat kamu ngandung anak aku!"

***

avataravatar
Next chapter