12 --Chapter 11--

"Mel."

"Gausah di bahas Akbar." Amel menyumpal telinganya dengan earphone miliknya.

"Mel, dengerin gua dulu." Akbar tidak menjalankan mobilnya lantaran sudah gerah dengan sikap sepupunya.

"Ck, apa sih?" Akbar memegang pundak Amel.

"Lo harus kasih tau Gavin, kalau lo Amel." Amel tersenyum remeh.

"Lo pikir dengan begitu dia bakal balik lagi sama gua?" Tanya Amel.

"Of course, kenapa engga? Sekarang gini, Gavin nganggap Ana itu lo, berarti Gavin masih berharap sama lo, bukan berharap, Gavin pikir posisinya saat ini ada di dekat lo." Amel tertegun. Benar juga, tapi apa dia sanggup hidup bersama dengan Gavin tanpa memikirkan Ana?

"Mereka ga tinggal bareng, gua udah selidikin itu bareng Erfan." Amel mengkerutkan keningnya bingung.

"Lah? Gavin kan nyebut Ana itu gua, seharusnya Gavin sama Ana satu rumah."

"Jadi ada kejadian dimana nyokapnya Gavin bilang kalau Ana bukan Amel. Sampai akhirnya Gavin menyuruh Ana buat tinggal masing masing, dia mau cari bukti dulu benar atau engganya Ana itu Amel."

Amel mengkerutkan keningnya dengan heran. Alasan Akbar tidak masuk akal sekali. Makshudnya, seandainya memang Gavin ingin mencari bukti, tanpa harus berpisah ranjang bersama Ana bisa kan?

Tapi, untuk saat ini dia tidak perlu memusingkan itu. Amel jadi ingat buku yang Gavin baca. Itu buku dirinya yang berjudul "TIME". Karya Amel yang satu ini memang menceritkan waktu yang dapat mengubah segalanya, termasuk perasaan.

Amel harap, perasaannya bisa diubah selama berjalannya waktu. Meskipun membutuhkan waktu yang lama, setidaknya dia mengurangi perasaanya sedikit saja.

"Halo?"

"..."

"Hah?"

"..."

"Lo serius?"

"..."

"Oh oke oke, thank you buat infonya."

Amel menoleh ke arah Akbar dan raut wajahnya mempertanyakan ada apa dengan Akbar?

"Hmmmm..."

"Kenapa sih?" Tanya Amel dengan bingungnya.

"Hmm... Jalan dulu ya, gua jelasin di perjalanan." Akbar menjalankan mobilnya dari lokasi tempat mereka makan. Amel sudah was was, takut takut kalau berita yang diberitahu Akbar adalah berita buruk.

"So?"

"Erfan bilang, kalau Gavin sama Ana abis dari rumah sakit." Akbar menjelaskannya dengan pelan pelan, takut takut kalau Amel terkejut mendengar kabar ini

"Jadi, tadi pas kita ketemu mereka baru dari rumah sakit gitu?" Tanya Amel.

"Maybe." Amel memikirkan kejanggalan yang ada. Siapa yang sakit? Buat apa mereka ke rumah sakit? Apa ada yang Akbar tutupi dari dirinya? Atau sesuatu yang ada dikepalanya beneran terjadi?

"Kata Erfan, mereka abis dari dokter kandungan." Amel mengkerutkan keningnya heran, buat apa mereka ke dokter kandungan? Ana hamil? Atau terjadi sesuatu pada rahimnya? Amel benar benar dibuat bingung dengan ini.

"Belum ada penjelasan yang pasti. Tapi, Erfan kasih tau ke gua kalo dia ngeliat mereka berdua keluar dari dokter kandungan," Ucap Akbar.

"Maybe Ana-"

"Ga mungkin, menurut gua ga mungkin." Akbar menyangkal ucapan Amel yang akan membuat Amel semakin nethink. Akbar tidak mau itu terjadi, dia ingin Amel berfikir kalau Gavin masih mengharapkannya.

"Bisa aja Akbar," jawab Amel. Akbar mengkerutkan keningnya bingung, itu tidak mungkin terjadi bukan?.

"Tau dari mana lo?" Tantang Akbar. Amel terkekeh sinis melihat tingkah laku Akbar yang seolah olah tau segalanya.

"Gua liat mereka." Jawab Amel.

"Trus, hubungannya sama Ana hamil apa?"

"KARENA GUA LIAT MEREKA NGINEP DI HOTEL YANG SAMA KAYAK KITA!!!!!"

"Lo ga usah bohong Mel," sangkal Akbar. Amel menoleh ke arah Akbar sebentar dan melengos ke arah depan.

"Lo tau apa tentang Gavin?" Tanya Amel.

"Gua tau segalanya tentang dia." Amel menoleh ke arah Akbar dengan tatapan tidak percaya.

"Lo tau segalanya?" Ulang Amel.

"Iya!" Jawab Akbar.

"Berarti selama ini lo gatai gua," jawab Amel dengan tegas.

"Apa yang gua tau tentang lo?" Tanua Akbar.

"Semuanya."

"Lo bilang semuanya? Gua ga salah denger?" Tanya Akbar dengan raut remeh.

"Iya semuanya? Kenapa? Lo itu sebenarnya ga tau gua, jadi jangan sok paling paham gua. Gua sakit aja ga ada yang tau, emang lo pikir ngelepasin orang yang gua cinta gampang? Apalagi sama sahabat gua sendiri." Akbar tertegun dengan ucapan Amel. Baru kali ini Amel menunjukan sisi lemahnya secara terang terangan. Akbar memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan menghadap ke arah Amel.

"Gua ngerti kalau lo-"

"ENGGA!! LO GA BAKAL NGERTI DI POSISI GUA!" Balas Amel.

"KENAPA SIH MEL? KENAPA LO BILANG GUA GA NGERTI LO? KENAPA!!!" Amel mengelap matanya dengan raut wajah kecewanya. Dengan kesal, Amel menunjuk dada Akbar dengan menekannya.

"KARNA LO BELUM PERNAH ADA DI SISI GUA!!!" Amel menekan dada Akbar di setiap katanya.

"Gua tau Mel, tau banget kalau gua belum ngerasain itu, tapi gua paham perasaan lo." Amel tertawa remeh. Bagaimana seseorang tau apa yang Amel rasakan kalau orang itu belum pernah merasakannya.

"Gimana caranya lo tau apa yang gua rasain? Lo aja belum pernah di posisi gua. Lo punya otak, yang lo gunain bisnis, tapi buat masalah hati, logika sama perasaan lo ga bergerak sama sekali. Logikanya, lo belum pernah ngerasain apa yang gua rasain, gimana lo paham gua? Coba lo pake perasaan, ketika lo lagi di titik paling lemah dan dipaksa untuk menerima dan menceritakan apa yang lo rasain paldahal itu adalah pembahasan yang sensitif, bisa aja lo gila gara gara di tekanan itu."

"Mel bukan maks-"

"Gua tau. Gua tau kok, lo ga bermakshud buat maksa gua untuk cerita apa yang gua tanggung. Tapi please, berhenti seolah olah lo paham gua, berhenti untuk membahas pembahasan yang sensitif, nyuruh gua buat jujur siapa gua sebenarnya, lo ga ada hak itu."

"Mel..."

"Lo tau kenapa? Karena yang paham perasan gua hanya gua sendiri. Orang yang pernah ngalamin posisi gua juga belum tentu mengerti, apalagi orang yang belum ngerasain rasanya di posisi gua. Jadi, berhenti maksa gua buat ceritain kalau gua adalah Amel, biar Ana berpura lura layaknya Amel, dia bakal hidup di dramanya sendiri. Gua tau kok, keputusan apa yang harus gua ambil, gua bukan anak remaja lagi, hal seperti ini gua bisa nge-handle kok."

"Mel, gua minta maaf kalau gua kesannya ikut campur buat hal-"

"Gapapa." Amel membuka pintu dan mengambil tasnya. Akbar hanya membiarkannya, Amel semakin dipaksa akan semakin melawan. Akbar menutup wajahnya dengan kedua tanganya.

Akbar melihat Amel menaiki sebuah taksi, setelahnya Akbar memilih kembali ke hotel dengan perasaan kacau. Ternyata selama ini Akbar belum paham perasaan Amel. Karena dia belum pernah ngerasain di posisi Amel.

Akbat harap, dia bisa berbaikan lagi sama Amel. Akbar begitu menyayangi Amel, karena hanya Amel satu satunya saudara Akbar yang bisa membuat Akbar melupakan lelahnya bekerja.

Tingkah laku Amel yang periang, membuat Akbar ikut senang. Senyumnya yang manis jadi candu Akbar. Terkesan berlebihan, tapi memang itu yang Akbar rasakan.

***

avataravatar
Next chapter