webnovel

Chapter 24

Apartemen Greg, rasanya aneh jika hanya aku yang memanggilnya dengan Gregory, sama besarnya dengan apartemenku dan Lana. Beberapa boks yang belum dibuka ditumpuk di sudut ruangan. Kuarahkan pandanganku ke seluruh ruangan perlahan, seluruh perabotannya terlihat seperti baru saja keluar dari majalah desain interior. Walaupun sedikit berantakan karena Ia baru saja pindah.

Dominasi warna abu-abu dan hitam, serta stainless steel dan granit membuat apartemen ini terlihat mahal. Aku membayangkan Greg hanya perlu menunjuk salah satu model desain yang diinginkannya lalu beberapa jam kemudian apartemennya sudah siap. Uang membuat segalanya lebih mudah.

Berapa yang mereka bayar pada Mr. Osbourne agar Ia mau menyerahkan apartemennya? Kutarik kedua sudut mulutku ke bawah saat memikirkannya. Ia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di Manhattan. Mungkin Greg hanya akan mengunjungi Lana setiap akhir pekan, mungkin apartemen ini hanya sementara... pandanganku bergerak ke Nicholas yang berdiri beberapa meter di depan pintu, salah satu bahunya bersandar di tembok sebelahnya, kedua tangannya berada di saku celananya. Dan Ia sedang mengamatiku.

Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menenangkan jantungku yang berdebar. "Kau juga mengetahui semua ini?" tanyaku sambil menunjuk ke sekitarku dengan kedua tanganku. Ia hanya mengangkat bahunya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

"Jadi hanya aku yang tidak tahu." Gumamku pada diriku sendiri sambil menatap ornamen beruang kecil berwarna hitam di atas meja Tv.

"Nick..." Untuk pertama kalinya aku memanggilnya dengan nama pendeknya. Kedua mataku masih terpaku pada beruang itu. "Kita tidak akan bisa menjauh jika Greg dan Lana bersama."

Aku mendengar suara langkahnya yang mendekat tapi kedua mataku tidak bisa teralih dari ornamen beruang itu. Rasa gugup membuatku tidak bisa menatap langsung ke arahnya.

"Greg dan Miss Morrel tidak ada hubungannya dengan kita, Eleanor." Ia berhenti di sebelahku.

Aku menoleh sedikit ke arahnya sambil mengerutkan keningku. "Tentu saja ada, aku tidak akan bisa melupakanmu jika aku selalu bertemu dengan Greg."

"Kau menyukainya." Aku tidak menyukai nada bicaranya saat Ia mengatakannya. Kali ini aku benar-benar menoleh ke arahnya. Ia masih menatapku dengan wajah tenangnya tapi kedua matanya berubah semakin menggelap, walaupun masih biru.

"Karena Greg adalah saudaramu. Bukan karena aku menyukainya." balasku.

Ia hanya menatapku dengan kedua mata birunya yang gelap seolah-olah mencari kebenaran di dalam ekspresiku saat ini, "Aku tidak suka membicarakannya seperti ini. Kau sudah makan malam?"

Aku mengangguk kecil. Ini bukan pertama kalinya Ia bertanya apa aku menyukai Greg, aku tidak tahu bagaimana Ia bisa berpikir aku menyukai saudaranya. Greg berada di urutan teratas dari daftar orang-orang yang tidak kusukai saat ini.

Nicholas menarik kedua sudut mulutnya ke bawah. "Duduk, Eleanor." Ia melepas kancing jasnya lalu mengambil tempat di sofa seberangku. Dasinya sudah longgar hingga berada beberapa senti di bawah kancing teratas kemejanya. Aku mengikutinya dengan duduk di sofa kulit berwarna hitam belakangku. Tanganku bergerak tanpa kusadari mengelus permukaan sofa yang lembut.

"Jadi..." aku menunggu kedua matanya menatapku sebelum melanjutkan, "Aku harus menjawabnya sekarang."

"Aku sudah menunggu terlalu lama." Jawabnya tanpa berkedip.

"Kau sudah tahu jawabanku..." Aku yakin Ia sudah mengetahuinya. Kugigit bibir bawahku dengan gugup, aku tidak bisa mundur sekarang. Nick menyandarkan punggungnya di sofa lalu menarik dasinya hingga terlepas dengan salah satu tangannya, setelah itu Ia menyimpannya di salah satu saku jasnya.

"Aku ingin mendengarnya langsung darimu, Eleanor." Jawabnya dengan suara rendah. Kedua mataku terpaku pada kancing teratas kemejanya yang kini terbuka. Tiba-tiba ruangan apartemen ini terasa terlalu kecil bagi kami, kubuka bibirku sedikit untuk menjawabnya tapi tidak ada kata-kata yang bisa kukeluarkan dari mulutku.

Nick berdiri dari sofanya lalu tersenyum sedikit, "Aku akan mengambilkanmu minuman." Ia berjalan menuju dapur meninggalkanku sendirian. Kuhela nafasku sambil memejamkan kedua mataku. Aku sudah mempunyai jawabannya, aku hanya belum siap memberikan jawabanku. Kubenamkan wajahku di kedua tanganku sambil menghela nafas lagi.

Sesuatu yang dingin menyentuh punggung tanganku, membuatku mendongak. Nick berdiri di depanku salah satu tangannya terulur memegang segelas Wine putih, Ia sedikit menunduk menatapku dengan kedua mata biru tuanya yang mungkin terlihat seperti langit di luar malam ini. Selama dua detik aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya, lalu Ia kembali menyodorkan gelas yang dipegangnya padaku.

"Terimakasih." Gumamku sambil mengambil gelas dari tangannya membuat ujung jari-jari kami sedikit bersentuhan. Tapi Nick tidak kembali ke sofanya di seberangku, Ia hanya mundur selangkah lalu duduk di meja pendek yang berada di depanku. Karena jaraknya yang dekat Ia harus membuka lututnya lebih lebar agar menyisakan tempat untuk kakiku. Atau lebih tepatnya, aku terperangkap di antara kedua kakinya.

"Jadi..." Ia memulai lagi, suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Aku menatapnya tanpa berkedip, kedua tanganku masih menggenggam gelas Wine erat-erat.

Nick membungkuk sedikit ke arahku hingga wajah kami semakin dekat lalu terdiam menunggu jawabanku. Ia tidak menyentuhku sama sekali, tapi berada sedekat ini dengannya memiliki efek yang sama saat Ia menyentuhku... Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering, satu-satunya bagian yang dingin dariku hanya kedua telapak tanganku yang sedang memegang gelas Wine yang belum kuminum sedikitpun. Bau aftershave yang sangat samar bercampur dengan mint membuat otakku semakin berkabut tapi Nick masih menatapku dengan sabar.

Apa yang Ia tanyakan tadi? Oh, jawabanku.

"Nicholas..." suaraku terdengar sedikit serak saat berbicara, "Aku... aku ingin bersamamu." Kalimat terakhirku hampir terdengar seperti bisikan. Tapi Nick mendengarnya. Karena detik berikutnya Ia mengambil gelas Wine di tanganku lalu menaruhnya di meja, salah satu tangannya menarik pergelangan tanganku membuat tubuhku tertarik ke arahnya. Lalu tiba-tiba wajahku sudah berada beberapa senti di depan wajahnya, kedua mata birunya terlihat semakin gelap saat menatapku.

Lalu Ia menutup jarak di antara wajah kami, "Kalau begitu tidak ada jalan kembali bagimu." Bisiknya di bibirku dengan lembut sebelum Ia menciumku. Otakku kembali ke mode autopilot saat Nick menciumku, tangannya yang melingkari pergelangan tanganku bergerak hingga ke bahuku. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan saat ini hanya merasakan dan membalas ciumannya. Aku tidak bisa memikirkan hal lainnya. Ujung lidah Nick menyusuri bibirku yang sedikit terbuka lalu—

Suara ringtone handphone membuatku sedikit terlonjak di tempatku. Nick menarik kepalanya menjauh lalu menatapku dengan nafas yang sedikit memburu. Kedua matanya terlihat sedikit tersesat saat menatap wajahku, aku tidak bisa berkedip sama sekali saat membalas tatapannya. Aku ingin menyimpan ekspresi di wajahnya saat ini di dalam kepalaku selamanya.

Tapi suara ringtone sialan itu belum berhenti, Nick menarik handphonenya dari saku jasnya dengan sedikit kesal lalu menjawabnya.

"Eric." Gumamnya sambil berdiri. Nick tidak pernah mengucapkan halo. Ia berjalan menjauh dari ruang tengah tapi aku masih bisa mendengar suaranya, Ia tidak berbicara banyak, hanya hhm dan ya. Tipikal Nick. Satu menit kemudian Ia kembali, aku mendongak menatapnya memasukkan handphonenya kembali ke saku jasnya. "Eleanor, aku harus kembali ke Manhattan."

"Apa?" kukerutkan keningku sedikit, "Kau baru tiba siang ini."

"Aku harus kembali sekarang." Sedikit ekspresi marah terlihat di wajahnya, "Greg akan tinggal, aku akan kembali secepatnya."

Kutarik kedua sudut mulutku ke bawah, "Greg bisa pergi, dan kau tinggal disini. Paling tidak tunggu besok pagi, lagipula tidak ada jadwal penerbangan semalam ini."

Ia menarik salah satu sudut mulutnya sedikit, kedua matanya menghangat saat menatapku, "Aku harus pergi, Eleanor."

Aku berdiri lalu mengikutinya berjalan ke arah pintu apartemen. Secepat ini? Aku baru saja menjawab aku ingin bersamanya dan Ia pergi secepat ini? Wajahku menabrak punggungnya saat Ia berhenti tiba-tiba, kami berada di koridor pintu apartemen.

"Ouch." Kuusap hidungku dengan tangan kananku sambil mendongak menatapnya. Nick menangkup wajahku dengan salah satu tangannya lalu menunduk untuk menciumku, kali ini lebih lama dari yang sebelumnya. Ia menciumku sangat lama, seakan-akan Ia sudah menahan dirinya selama ini dan saat ini Ia membalas dendam.

Saat Ia menarik kepalanya menjauh aku sudah hampir kehabisan nafas. "Nick..."

"Kuharap ini akan cukup untuk beberapa hari. Aku akan kembali." Bisiknya lalu mengecup bibirku sekali lagi sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu. Hanya bau aftershavenya yang masih bertahan selama beberapa menit kemudian, menemaniku berdiri di sendirian di koridor apartemennya.

***

Sampai seminggu kemudian, Nick belum kembali. Ia hanya menghubungiku sekali tiga hari yang lalu melalui handphone milik Greg.

Greg.

Aku bertemu dengannya setiap pagi dan malam, aku harus melihatnya setiap kali aku melihat Lana. Ia selalu ada setiap aku keluar dari kamarku di pagi hari dan sebelum aku masuk ke kamarku di malam hari. Aku tidak mengerti mengapa Ia repot-repot menyewa apartemen di depan kami jika Ia selalu menginap di kamar Lana, Greg hanya kembali ke apartemennya saat membutuhkan baju ganti.

Seperti pagi ini. Kutarik kedua sudut mulutku ke bawah lalu melangkah keluar dari kamarku, suara Greg yang sedang berbicara terdengar dari dapur.

"Pagi, Ella." Sapanya sambil mengarahkan cangkir kopinya padaku, sebuah senyuman lebar menyebalkan menghiasi wajahnya. Dan seperti biasa aku membalasnya dengan wajah cemberutku. Greg berdiri menyandarkan pinggangnya di counter dapur, di sebelahnya Lana sedang memasak omelet. Akhir-akhir ini Lana semakin sering memasak, walaupun masakannya belum begitu enak tapi paling tidak masih bisa dimakan. Dan aku tidak pernah mendengar Greg memprotes hasil masakannya sekalipun.

Aku mengabaikan Greg lalu berjalan melewatinya untuk mengintip omelet Lana. "Um, Lana... kau belum memotong bawang putihnya?" dua siung bawang putih utuh terlihat jelas di antara gundukan omelet yang sedang dimasaknya.

Lana menoleh ke arahku dengan sangat cepat, wajahnya terlihat sedikit panik. "Oh bawang... aku lupa." Hanya Lana yang bisa melupakan bawang harus diiris lebih dulu sebelum dimasukkan ke dalam masakan.

"Yah, berikan bagian bawangnya pada Greg." Balasku sambil membuka pintu lemari es. "Kau menyukai bawang, kan, Greg?"

"Tidak." jawabnya dengan cepat.

"Bawang menjauhkanmu dari vampire, kau tahu." tambahku sambil memandang isi kulkas sebelum mengambil botol jus jeruk. Aku mendengar Greg tersedak lalu menoleh ke arahnya. Sebagian kopi yang sedang Ia minum membasahi kaos abu-abunya, dan Ia sedang memandangku dengan tatapan tidak percaya.

"Greg! Apa yang kaulakukan?" Lana menegurnya lalu mengambil cangkir kopi dari tangan Greg. Ini adalah salah satu alasan mengapa aku tidak menyukai Greg dekat dengan Lana. Ia tidak memberitahu Lana tentang dirinya. Aku mengambil gelas lalu menuangkan jus jeruk ke dalamnya sambil mendengarkan Lana yang sedang memarahi Greg.

Sebenarnya mereka bukan pasangan yang buruk, lagipula akhir-akhir ini Lana terlihat lebih bahagia. Tapi tetap saja, aku tidak ingin melihatnya sedih saat Greg meninggalkannya nanti.

"Ganti bajumu." Gerutu Lana sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke omeletnya. Tali celemeknya yang berwarna pink sedikit longgar di punggungnya, Ia membelinya lima hari yang lalu dengan Greg. Beberapa helai rambut pirangnya terlepas dari ikatan rambutnya. Aku mengalihkan pandanganku pada Greg yang masih berdiri di sebelahnya, Ia sedang tersenyum sambil memandang Lana. Senyumannya terlihat berbeda dari biasanya, senyuman ini hanya muncul saat Ia berada di dekat Lana. Sedikit rasa cemburu menyusupi hatiku, bukan pada Greg atau Lana, tapi pada hubungan mereka.

Aku berdiri dari tempat dudukku lalu menaruh gelas jusku ke tempat cucian, "Hey, aku harus berangkat duluan. Mr. LeBlanc mengadakan meeting pagi ini."

"Oh, okay. Apa kau akan makan malam di rumah hari ini?" tanya Lana.

Kuangkat bahuku, "Yeah... Kurasa."

"Kau ingin aku mengantarmu?" Greg mengantarku dan Lana hampir setiap pagi, karena Ia tidak berada di Manhattan jadi Ia bekerja melalui laptopnya di apartemen. Nick yang mengurus segalanya di Manhattan. Tsk.

"Tidak perlu." Balasku sambil berjalan ke kamarku.

***

Hari Jumat tidak pernah terasa selama ini. Kuhela nafasku sambil memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Saat ini aku hanya ingin kembali ke apartemen lalu tidur hingga besok pagi. Suasana hatiku akhir-akhir ini tidak begitu baik.

"Eleanor?" kepala Mr. LeBlanc muncul dari balik pintu kantor kecilku, Ia tersenyum lebar ke arahku. "Terimakasih untuk siang ini, ingatkan aku untuk mentraktirmu lain kali, okay?" Siang tadi Mr. LeBlanc memiliki jadwal meeting mendadak, Ia harus membatalkan acara makan siangnya bersama Elizabeth, pacarnya. Jadi Ia memintaku untuk menggantikannya.

Aku tidak merasa keberatan sedikitpun, Ellie orang yang menyenangkan. Beberapa orang menganggap kami saudara tadi siang karena warna rambut kami yang mirip.

Aku tertawa kecil mendengarnya, "Sebenarnya Ellie dan aku berjanji akan makan siang bersama lagi lain kali."

Senyuman di wajahnya semakin lebar, "Lain kali kita harus makan malam bersama, Elizabeth, aku, kau, dan pacarmu." Katanya sebelum menghilang dari pintu.

Nick makan malam dengan bosku? Ha. Ia bahkan tidak memiliki waktu untuk menghubungiku, pikirku dengan kesal sementara aku melanjutkan memasukkan barangku ke tas.

Hai, Volder & Caroline mau libur lebaran dulu sampai tgl 27 Mei. Mohon maaf lahir batin manteman! ?

ceciliaccmcreators' thoughts
Next chapter