1 Prolog

Hamparan tanah hijau terpampang memenuhi pelupuk mata. Sebuah tiang dikelilingi oleh gedung megah nan kokoh sebagai pusat dari kekosongan. Semilir angin membentangkan bendera yang tersemat di puncak tertinggi. Hingga bel berbunyi membuat beberapa orang yang mengenakan seragam mulai berlari terpencar ke segala arah.

Mendadak riuhnya suasana menjadi sunyi. Tarikan napas panjang disertai hembusan di detik berikutnya mengawali langkah perlahan mendekati tujuan. Tangan bergetar seiring jarak yang semakin terkikis. Keringat mulai membanjiri sudut wajah. Sesekali ia menyeka beberapa tetes bulir bening itu hingga tidak tersisa.

Salam ia ucapkan, seraya ketukan beberapa kali pada pintu. Mendengar sahutan dari dalam, jemarinya perlahan mulai menggerakkan knop. Kini mata mereka saling beradu. Dalam ruangan berukuran tidak lebih dari 16 x 16 meter, keduanya saling memberikan pertanyaan dan pernyataan dalam jeda waktu tak menentu. Pedingin udara telah dinyalakan, tetapi entah mengapa keringat tetap saja membanjiri pelipis.

Suara ketukan mengakhiri sesi tanya jawab di antara keduanya. Dengan seutas senyum simpul di wajah, ia berucap sopan mengajak wanita itu berkeliling melihat suasana terlebih dahulu. Perkenalan yang dilakukan secara spontan, membuat keduanya perlahan menjadi lebih dekat. Langkah terhenti ketika memasuki ruangan pengajar. Semua menyambut kedatangan rekan baru diiringi sapaan hangat.

Perlahan suasana menjadi lebih nyaman. Ruangan berangsur kosong seiring perputaran waktu. Berbekal beberapa buku di genggaman, mereka mulai mengisi kekosongan dengan berbagi ilmu. Beberapa kelas riuh dengan sorakan, ada pula yang hening seakan tak berpenghuni.

Kembali langkahnya terhenti ketika memasuki ruang kelas III-b. Semua mata tertuju pada sosok wanita muda yang berdiri menatap mereka dengan senyum. Setelah mendapatkan penjelasan, ketegangan di wajah perlahan mulai cair menjadi lebih rileks.

"Mungkin mereka menduga, Anda seorang dokter yang suka menyuntik. soalnya, pakaian ...." Pria itu tersenyum saat memperhatikan penampilannya.

Wanita itu mengangguk paham. Setelah mendapatkan waktu pribadi bersama para siswanya, ia mulai bergerak santai memperkanalkan diri secara lengkap. Kini waktu untuk ia berkenalan dengan mereka satu per satu. Tertawa, senda gurau sesekali menyelimuti aktivtas. Bersamaan dengan suara bel, menjadi akhir dari waktu saat semuanya terikat jadwal.

"Kau sangat pandai mengambil hati mereka." Seorang pria berpakaian coklat menghampirinya. Ketika tatapan mereka saling bertemu, kedua insan itu mulai saling bertukar cerita.

Wanita itu melotarkan berbagai pertanyaan di setiap sela penjelasan singkat sang pria. Gelak tawa kembali hadir, mengiringi langkah yang kian mendekati sebuah ruangan khusus untuk para guru. Semua mata tertuju pada mereka, membuat perasaan aneh seakan kembali menyebar di pembuluh darah.

Semut kecil berjalan kecil melalui urat nadi. Menghantarkan dingin menyelimuti telapak tangan. Keringat mulai memenuhi pori-pori, hingga berkhir dengan gemetar kecil tak kasat mata. Ya, begitulah dia. Nervous!

Wanita itu memejamkan mata beberapa detik, "Tadi kita belum sempat berkenalan dengan baik. Nama saya, Kiralisa. Guru baru yang ditugaskan untuk menjadi wali kelas III-b."

Hening, tidak ada reaksi sedikitpun. Hingga ruangan dipenuhi dentingan jam membuat keadaan semakin terasa canggung.

"Bukankah tadi pagi mereka terlihat santai dan menerimaku dengan baik?" ucapnya bergumam.

Pria itu tentu mendengarnya dengan sangat jelas. Namun, ia lebih memilih diam dan memberikan ruang untuk semua staf menjadi lebih akrab tanpa perlu diperintah.

Ada yang berbeda dengan suasana pagi tadi. Itu adalah kehadiran 'dia' yang dianggap sepuh oleh semuanya. Merasa tidak sopan jika berbicara sebelum beliau, hingga mereka memiliki bungkam seribu bahasa.

"Pemerintah sekarang pandai memilih tenaga kerja yang kompeten. Kau lulus di usia semuda ini. Keberuntungamu bagus, Nak! Jangan sia-siakan ilmu yang kau gapai," pesan guru sepuh itu.

Semua tidak menyangka, kalau Kiralisa akan mendapatkan dukungan begitu mudah dari wanita sepuh yang terkenal kritis dengan wajah baru.

"Baik! Saya akan berusaha sebaik mungkin," sahut Kiralisa mantap.

Perlahan senyum mulai menghiasi wajah jejeran wanita paru baya di sana. Hingga akhirnya kembali terulur pelukan hangat sebagai tanda menerima penuh sosok Kiralisa diantara mereka. Pertanyaan seputar tes yang ia lakukan mulai terlontar. Kisah pengalaman pertama mengajar juga tak luput dari bahan obrolan.

Perlahan saja, pikir Kiralisa.

avataravatar