16 BAB 16 - Intruksi Anna

"Buat Lo Radit, jangan terlalu berani seolah Lo nantangin mereka," kata Anna namun Radit tak menjawab. Tak apa, sudah biasa.

"Dan kamu, El. Aku tau kamu berusaha. Tapi tolong jangan terlalu memaksakan. Kita semua sama, sama-sama berusaha," tutur Anna.

El menatap Anna tajam, "Lo pikir gue baik-baik aja?"

"Magsud aku--

"Setelah lo mempertaruhkan nyawa Lo sendiri?" tukas El kembali melempar pertanyaan.

Seolah tak memberikannya celah untuk Anna berbicara, El kembali buka suara, "Gue cinta sama Lo, tapi gue benci ide gila Lo."

"Kita mulai sekarang," ucap Anna membuat El terkekeh sinis. Tak ada jalan lain selain melakukan ritual ini dengan cepat. Lebih cepat akan lebih baik, lagipula Anna tak ingin terus bertengkar dengan El.

"Kalian cuman perlu konsentrasi dan setelah kalian ngerasa ada angin, kalian buka mata kalian dan seperti yang tadi gue bilang," kata Anna sembari memposisikan dirinya sendiri.

Anna merapalkan beberapa mantra yang dirinya sempat pelajari dengan sempurna. Awalnya tak ada apapun dan tak ada hal aneh apapun. Namun semakin lama El, Radit, Reno, Risa dan juga Rachel merasakan hembusan angin yang begitu kencang. Sontak semuanya membuka mata mereka seperti intruksi Anna sebelumnya.

Arah pandang mereka terpaku pada sebuah cahaya yang Anna magsud. Mereka pula masih dapat melihat Anna yang tengah menutup matanya rapat-rapat sembari merapalkan mantra yang tidak mereka pahami.

Mereka saling memandang, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berjalan memasuki sebuah cahaya yang tak jauh dari mereka berada.

Saat mereka menembus cahaya yang ada, rasanya seperti dirasuki oleh sesuatu semacam ghaib. Tak ada yang tau, ini seperti mimpi.

"Pemakaman?" gumam Reno yang masih dapat mereka semua dengar. Ya, pemakaman dengan 5 jalur berbeda. Mereka memang ditugaskan untuk mengambil masing-masing satu jalur. El dan Radit tak menghiraukan pemakaman yang ada, keduanya dengan gontai mulai berjalan pada masing-masing jalur yang berbeda, mengingat kata Anna mereka tak dapat membuang-buang waktu disini.

Melihat El dan Radit yang mulai beraksi, semuanya ikut berjalan gontai sembari memilih jalur yang menurut mereka akan aman. Sudahlah, tak ada yang lebih baik disini.

Berawal dari El yang mengambil jalur pertama. Dimana semuanya gelap, hanya ada beberapa obor yang tampak menghiasi sepanjang jalan setapak. El terus berjalan hingga dirinya menemukan sebuah desa, disana terdapat banyak warga yang tengah melakukan aktivitas di tengah malam seperti ini.

El teringat pada ucapan Anna, tak ada yang dapat dirinya percaya. Maka dari itu El benar-benar tak boleh percaya pada siapapun disini. Akan sangat rumit jika itu terjadi. Dengan keberanian yang cukup besar, El berjalan gontai memasuki kawasan desa.

Seolah dirinya tak ada, semua orang tampak sibuk dengan aktivitas meteka masing-masing.

"Permisi," kata seorang pria tua sembari memandang El dengan tatapan penasarannya.

"Apa?" tanya El datar. El hanya tengah malas berbasa-basi perihal apapun, dan lagi dirinya tidak diperbolehkan untuk mempercayai siapapun disini. Tugasnya hanya mencari sebuah kunci yang Anna magsud itu.

El kembali menatap sekitarnya, mereka semua tetap fokus pada aktivitas mereka masing-masing tanpa peduli kehadiran El.

"Pasti kamu kecapean setelah menempuh perjalanan yang jauh, ayo istirahat dulu ditempat saya," ucapnya membuat El berdecih pelan, tentu saja dirinya tidak kelelahan. Mengingat dirinya berjalan dari titik awal pemakaman hingga sampai disini hanyalah beberapa langkah saja.

"Tidak," jawab El singkat dan pergi begitu saja kembali menyusuri setiap tempat.

***

Di jalur yang berbeda, Radit tampak berjalan tergesa. Ia pikir ini adalah hutan. Dapat dirinya lihat jika kanan kiri dan atas hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi ke atas. Tak ada alasan untuk dirinya menyerah, sekalipun di tempat seperti ini, dirinya hanya ingin tetap berjuang mencari keberadaan kunci itu.

"Permisi Den, lagi apa atuh? Disini teh bahaya. Banyak oray, binatang buas lainnya juga," ucap seorang kakek tua dengan logat sundanya. Radit tak menatap pria tua itu, mengingat apa yang Anna katakan jika dirinya tak dapat mempercayai siapapun disini.

"Ikut saya aja yu, disana Aden aman. Saya juga tinggal sama istri saya, kalo Aden gak keberatan saya bisa kasih Aden makan," tuturnya. Radit berjalan meninggalkan pria tua itu. Entah bagaimana ekspresinya yang jelas Radit tak ingin mendengarkan omong kosong itu. Yang dirinya ingin lakukan hanyalah fokus dan serius. Bagaimana cara dirinya mencari keberadaan kunci yang akan membawa dirinya dan teman-temannya kembali.

***

Pada jalur ketiga, tampak Reno seperti tengah kebingungan karena dirinya masuk ke sebuah pasar. Namun semua orang hanyalah diam tanpa bicara, tidak memberikan penawaran dan tidak memberikan harga. Yang mereka jual pun seperti bunga, ati ayam, ati sapi, berbagai daging dan hal-hal lainnya yang berbau amis.

Reno tak mengerti dan tak tau bagaimana cara dirinya menemukan sebuah kunci di tempat ramai seperti ini. Akan tetapi, dirinya tak ingin terus menerus berdiam diri, mengingat waktunya hanya tinggal sebentar saja. Reno melirik benda yang sengaja dirinya jadikan sebuah gantungan kalung. Reno melirik benda pipih itu yang sempat Anna berikan, masih tersisa banyak waktu sebelum jarum jam tersebut mengarah pada simbol x.

Bau amis tampak menusuk indera penciuman. Tampak lebih parah dari sebuah pasar yang sempat Reno datangi dulu pada saat dirinya menjalankan tugas sekolah. Tempat ini lebih mengerikan dari yang dirinya bayangkan, bahkan tak ada penjual pakaian, semuanya tampak menjual sesuatu yang sama.

Seluruh pandangan tampak menatap Reno dengan tatapan tajam, mereka semua tak mengatakan apapun, hanya menatap saja. Sungguh kali ini jantung Reno seperti ingin keluar dari tempatnya.

***

Pada jalur keempat Rachel tampak kebingungan karena sepanjang perjalanan yang dirinya lihat hanyalah pemakaman. Tentu dirinya takut, namun dirinya tetap harus merasa berani dan bertekad untuk terus maju. Tak ada salahnya bukan, mengingat dirinya sudah sangat merindukan rumah keluarganya. Rachel yakin dirinya dapat menemukan itu.

Dari kejauhan Rachel melihat seorang kakek tua yang tengah berdiri sembari menatap lurus ke depan. Rachel berfikir untuk meminta bantuan kakek tua itu. Akan tetapi mengingat Anna melarangnya untuk percaya pada siapapun membuat Rachel mengurungkan niatnya.

"Sedang apa?"

Sontak Rachel membalikan tubuhnya, dirinya benar-benar menegang kali ini, tubuhnya kaku seolah tak dapat digerakkan. Kakek tua yang tadi dirinya lihat tengah berdiri tak jauh darinya berada tiba-tiba ada di belakangnya. Ini seperti mimpi namun tentu saja ini nyata.

"Jangan gugup Rachel," bisik seseorang tepat disamping telinganya. Rachel tau itu Anna, namun hanya suaranya saja, tidak dengan raganya. Rachel mencoba menetralkan pikirannya.

"Maaf Ke, saya buru-buru," kata Rachel sopan sembari berjalan meninggalkan kakek tua itu.

"Tunggu!!!"

avataravatar
Next chapter