17 Ch. 17 Upenina

Hingga detik ini, Petra hanya mengetahui nama pengerannya itu sebagai Ken. Tidak kurang dan tidak lebih. Steven tidak pernah memberitahukan nama lengkap Ken kepada Petra. Dan, Petra pun terlalu malu untuk bertanya akan hal itu.

Pangeran Ken, saat itu menatap Petra dengan wajah penuh peluh dan kebingungan. Pangeran Ken, saat itu tengah berdiri di depan pintu rumah mereka di Finelan.

Ken dengan tubuh jangkung dan berkulit putih, terlalu putih untuk penduduk Finelan yang mayoritas petani. Ken yang kelelahan karena terus gagal mencari petunjuk jalan pulang menuju terminal bus. Ken yang tersesat hingga akhirnya sampai di perumahan petani distrik Finelan.

Ken yang kemudian melihat gadis kecil itu selayaknya dewi penolongnya, Petra. Ken yang tersenyum kepada Petra akan hal itu.

"Hai, gadis kecil...bisa tolong kakak?" sapa Ken kepada Petra sopan. Keringat Ken bercucuran membuat kaos putihnya basah hingga menempel dibadan.

"Ya...?" ucap Petra terlalu bingung melihat sosok asing didepannya. Ditangan kiri Petra memegang sebuah buku dongeng berjudul Pangeran Salju dan Gadis Sayur.

Masih belum hilang dari kepala Petra tentang khayalan akibat membaca buku dogeng itu. Tentang Pangeran Salju yang tersesat dari iringan rombongannya menuju istana akibat keganasan perampok hutan yang tidak kenal ampun menghabisi seluruh pengawal sang pangeran. Pangeran Salju lalu melarikan diri hingga pingsan didepan sebuah rumah petani sayur dilereng gunung cukup jauh dari lokasi kejadian. Pangeran Salju dengan pakaian serba putih bersimbah darah tergeletak tidak berdaya sampai pada akhirnya ditemukan oleh gadis petani sayur keesokan harinya.

"Kemana arah menuju terminal bus terdekat?" tanya Ken lagi, membuyarkan Petra kecil tersadar dari imajinasi.

"Itu...dari sini lurus hingga pertigaan ketiga lalu belok kiri. Lima puluh meter ada halte bus yang menuju terminal." jelas Petra terbata-bata.

"Berarti harus naik bus lagi ya...eh, kalau boleh kakak pinjam uangnya untuk naik bus? Tadi kakak kecopetan." kata Ken hati-hati, jelas Ken merasa tidak enak untuk meminta uang kepada orang yang tidak dikenal.

"Sebentar." ucap Petra, detik berikutnya menghilang dari balik pintu masuk kedalam rumah.

Tidak lama kemudian Petra kembali dengan menyodorkan sejumlah uang kepada Ken, orang asing itu.

"Terima kasih. Kamu baik sekali. Kakak janji akan menggantinya setelah sampai di rumah. Nah, ini sebagai gantinya tolong kakak minta nomor telepon rumah kamu supaya kita bisa bertemu lagi." ujar Ken gembira. Ken tidak menyangka kalau dirinya benar-benar bertemu dengan dewi penolong, Petra.

Sejak hari itu, baik Petra maupun Ken sering bertemu. Ken merasa harus membalas budi atas kebaikan hati Petra. Sedangkan Petra merasa sangat senang bisa sering bertemu dengan Pangeran Salju-nya. Mereka menjadi akrab. Seperti hubungan kakak dan adik. Hingga suatu hari sang adik kecil, Petra, merasa kalau kakak yang bukan kakak kandungnya itu selayaknya seorang pria. Dan, Petra bisa merasakan kalau dirinya benar-benar menyukai kakak, Pangeran Salju-nya, Ken dengan perasaan berdebar-debar setiap kali mereka bertemu.

Namun, jarak antara Finelan dan Upenina yang jauh membuat kisah cinta yang baru saja mulai terukir tidak berjalan seperti yang Petra harapkan. Ditambah lagi dengan Ken yang mulai sekolah asrama. Hingga pada akhirnya, mereka benar-benar tidak pernah bertemu lagi. Sampai dengan hari penerimaan siswa baru di SMA Metropol, Petra bertemu Stev sebagai kakak kelasnya di kelas Sosial, sahabat karib Ken.

-

"Sepertinya pekan depan kamu tidak bisa mengikuti jadwal kursus kan?" tanya Lyon, sibuk dengan laptop dihadapannya. Lyon duduk membelakangi Petra yang tengah mengerjakan PR.

Hari Jum'at adalah agenda Petra menemani Lyon berenang. Lokasinya berdekatan dengan gedung klub golf. Dan seperti kemarin, gerimis di musim hujan membuat Lyon malas untuk sekedar menggerakkan kakinya menuju tepian kolam renang. Lyon malahan menyibukkan diri dengan laptopnya sendiri. Mengabaikan himbauan pelatihnya untuk melakukan pemanasan.

"Hmmm...iya. Benar. Pekan depan kelas kami mengadakan lokakarya ke Upenina." jawab Petra malas.

"Kelihatan tidak semangat sekali?" usik Lyon tanpa memalingkan pandangan dari layar monitor.

"Upenina...kota yang bagaimana?" celetuk Petra enggan.

Bagi Petra, hanya dengan mendengar kata Upenina saja sudah mampu mengingatkan dirinya kepada Ken. Kisah cinta yang berakhir sebelum dimulai. Layu sebelum berkembang. Patah sebelum diasah.

"Hanya itu...penuh bukit dan perbukitan dan bukit buatan. Serba bercat putih. Ada pajak khusus bagi mereka yang mengecat rumah selain warna putih." jelas Lyon. Kali ini Lyon serius menatap Petra yang terlihat sama sekali tidak antusias dengan penjelas Lyon tentang distrik-distrik di wilayah kedaulatan Mestonia.

"Membosankan bukan. Semua sudah ditentukan." komentar Petra yang terus terpaku dengan buku dan pulpen dibelakang Lyon.

"Benar. Seperti diriku. Semuanya membosankan kecuali game." aku Lyon namun penasaran sekali dengan reaksi Petra yang sepertinya memiliki kisah tersendiri dengan Upenina. Tetapi, Lyon terlalu enggan untuk mencari tahu hal itu.

"Betul sekali. Jadi itulah alasan kenapa kamu menyeretku ke dalam permainan konyol ini kan?" sanggah Petra masih terus menulis.

"Mungkin." jawab Lyon agak tersinggung.

"Lalu...bukankah lebih baik kamu memilih salah satu dari mantan-mantan gadis hotelmu itu dari pada aku yang hina ini? Itu akan lebih tidak membosankan kan?" celetuk Petra tiba-tiba berhenti menulis, kali ini Petra menatap Lyon penuh arti. Lebih tepat kesal.

"Mereka? Apa kamu gila? Sudah berapa kali aku katakan kalau semua itu hanya pengalihan. Subjek ekspimenku adalah ponsel milik mereka saja. Yah...salah mereka sendiri menganggap apa yang aku lakukan terlalu serius." seloroh Lyon, terpancing oleh ucapan Petra lalu ikut merasa kesal sendiri.

Tentu saja Lyon kesal karena apa yang dikatakan Petra adalah benar. Dan fakta dirinya menyeret Petra, gadis asing dari dunia yang berbeda dengan Lyon adalah kesalahan yang tidak ia sengaja. Namun akibatnya berujung panjang lebar, membuat kepala Lyon pusing tujuh keliling. Tetapi, mengatakan apa yang Lyon katakan kepada Petra tentang yang sebenarnya sama saja bunuh diri.

Lyon tidak tahu apapun tentang Petra, kecuali nama keluarganya adalah Valeri yang misterius.

"Benar begitu? Bukankah itu berarti kalau sebenarnya dirimu lah yang bodoh?" tukas Petra mendesis pelan. Sengaja memelankan kata 'bodoh' hingga Lyon tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Terserah apa katamu. Satu hal yang pasti, aku sudah membayarmu. Dan kewajibanmu hanyalah menuruti apa perintahku. Mengerti?" bisik Lyon menatap tajam kearah Petra.

"Tentu saja. Tetapi, aku masih tidak terima dengan cara ucapanmu yang mengenalkan aku kepada orang tuamu kemarin. Kejadian mengerikan itu bukan salah satu kewajibanku, asal kamu tahu. Aku akan menuntutmu." balas Petra dengan berbisik pula.

"Jika itu masalahnya, aku akan menutup mulutmu dengan membeli rumah sewa itu untukmu. Apa lagi yang kamu mau?" kata Lyon yang entah sejak kapan sudah duduk di depan Petra.

Lyon menatap tajam kearah Petra, mengamati ekspresi Petra setelah mendengar apa yang baru saja Lyon katakan. Dan entah kenapa, ada sebagian kecil dihati Lyon merasa senang melihat bagaimana raut wajah Petra yang menatap dirinya dengan tatapan nanar.

-tbc-

avataravatar
Next chapter