11 Ch. 11 Levi

Selain sosiologi, Petra juga sangat suka membaca peta dunia atau bermain-main dengan globe di ruang praktikum sekolah. Hal itu Petra lakukan tidak lain dan tidak bukan karena ketertarikan Petra tentang dunia serta untuk menghafal nama-nama semua distrik yang ada di wilayah kedaulatan Mestonia serta negara-negara dibelahan dunia lainnya. Menurut Petra hal tersebut dapat membantu untuk lebih memahami pelajaran di kelas Sosial SMA Metropol.

Salah satu kota yang mengusik rasa penasaran Petra sejak dahulu, saat Petra masih duduk di bangku sekolah dasar, ialah sebuah kota distrik disalah satu sudut Mestonia bernama Seriz. Bagaimana tidak, Seriz merupakan satu-satunya kota di dunia yang diperuntukan hanya untuk mereka kaum jetset. Para trilyuner yang kehabisan ide dalam kegiatan menghabiskan uang. Seriz, kotanya para orang kaya dan borjuis. Dan sekarang Petra ada di kota tersebut berkat Lyon.

Dulu, saat Petra membayangkan kota Seriz ia bertanya-tanya dalam hati apakah seluruh bagian dan sudut kota tersebut terbuat dari emas serta berlian sehingga hanya orang kaya raya saja yang bisa tinggal disana. Namun, saat Petra mencoba melihat sekeliling jalanan dari dalam mobil demi memastikan argumennya itu, ternyata semua tampak sama saja seperti kota lain di Mestonia. Tidak ada yang spesial dari kota Seriz.

"Apa kamu kira Seriz dipenuhi dengan pahatan batu kristal atau semacamnya?" celetuk Lyon seolah bisa membaca isi pikiran Petra tentang rasa penasaran dirinya tentang kota Seriz.

"Mungkin." decit Petra singkat. Malu karena ketahuan tingkah kampungannya di depan Lyon.

"Seriz sebenarnya dibangun untuk tujuh keluarga pendiri Mestonia, jadi sekarang kamu tahu kan kenapa Seriz sangat tertutup untuk orang asing selain klan mereka sendiri." ungkap Lyon.

"Sungguh? Kenapa hal tersebut tidak dicantumkan dalam buku sejarah?" pikir Petra seolah bertanya kepada dirinya sendiri. Sekarang Petra sedikit paham kalau sekeras apapun dia mencoba mencari tahu tentang semua hal yang berkaitan dengan kota Seriz hanya berakhir dengan kenihilan. Terlalu banyak rahasia yang tersimpan di Seriz.

"Kamu bodoh atau naif? Hal memalukan seperti itu mana mungkin akan mereka ungkap kepada dunia. Hal itu hanya akan menunjukkan kalau tujuh klan tersebut sangat tamak dan egois." desah Lyon dengan nada bicara seperti menghina.

"Tetapi...kamu juga bagian dari salah satu tujuh keluarga tersebut kan? Tuan muda Levi?" pancing Petra sinis, yang tiba-tiba terpancing dengan kata 'egois' yang baru saja Lyon ucapkan.

Lyon hanya memalingkan wajah ke arah jendela mobil saat mendengar ucapan Petra yang jelas-jelas oleh gadis itu maksudkan sebagai sebuah sindiran dari pada sebuah pujian. Namun, Lyon tidak bisa menampikkannya. Lyon, dia juga merupakan bagian dari tujuh keluarga yang Petra maksud.

Lyon, lebih dari siapapun tahu betul perihal bagaimana rekam jejak keluarga Levi –keluarga besarnya- dari awal berdirinya negara persemakmuran Mestonia setelah perang dunia kelima yang terjadi lima puluh tahun yang lalu. Bagi Lyon, Mestonia tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah negara boneka dibawah kekuasaan Dewan Perdamaian Dunia (DPD). Mulai dari kebusukan hingga cara menutupinya yang keluarga besar Levi telah lakukan hingga saat ini. Mengingat hal seperti itu hanya akan membuat nafsu makan Lyon sirna dan enggan menjalani hidupnya sebagai Lyonardo Levi, keturunan generasi ketiga klan Levi.

"Sebaiknya jaga ucapanmu itu." sanggah Lyon merasa tidak senang.

Lyon biasanya tidak pernah terlalu ambil pusing dengan apa yang orang lain katakan terhadap dirinya, namun akan berbeda ceritanya jika sudah menyangkut nama besar keluarga Levi disebut-sebut. Entah itu karena sebuah pujian hingga sindiran sarkas. Lyon sangat membenci hal itu. Rasa bencinya sudah mendarah daging. Kebencian yang tercipta dengan sendirinya tanpa Lyon sadari. Kebencian yang terbentuk akibat perlakuan orang tuanya sendiri terhadap dirinya sedari kecil. Hingga membuat Lyon tidak bisa mendapatkan rasa kasih sayang orang tua selayaknya anak-anak diusianya dulu.

"Baik. Apa tujuan kita masih jauh?" jawab Petra mencoba mengalihkan pembicaraan. Petra sadar kalau perkataannya barusan sudah menyinggu perasaan Lyon. Petra bisa mengetahui dari gerak gerik Lyon yang terlihat jelas tidak tenang.

Mobil yang mereka tumpangi perlahan melambat. Mereka sekarang tengah memasuki sebuah gerbang besar berwarna abu-abu. Masuk lebih dalam, mereka disambut dengan pohon palem berjejer disamping kanan dan kiri sepanjang lima ratus meter. Kemudian pelan-pelan mobil tersebut berhenti di garasi mobil yang dekat dengan sebuah rumah berlantai tiga bercat putih yang sangat besar, lebih seperti sebuah istana bagi Petra.

Dalam hatinya, Petra memberi nama rumah itu dengan nama 'istana ceri'. Petra sangat menyukai dongeng. Dongeng yang selalu bibi Mia ceritakan kepadanya sebelum beranjak tidur. Dongeng-dongeng indah untuk anak-anak seperti dirinya, Petra yang yatim piatu. Dongeng tentang istana putih yang penuh dengan pohon sakura, dimana tinggal tujuh putri cantik bersaudara yang hidup bahagia sepanjang hidupnya. Kala itu, bagi Petra, cerita dongeng-dongeng tersebut merupakan penghiburan tersendiri atas kesedihan kehilangan orang tua yang tidak bisa Petra ingat lagi wajahnya. Bahkan foto-foto kedua orang tua Petra habis dilahap api tidak tersisa dalam tragedi kebakaran tersebut.

"Ini...rumah orang tuaku. Jadi, aku harap kamu bisa menjaga sikap dan ucapanmu. Kalau perlu jangan bicara apapun. Biar aku saja yang menjawab jika mereka bertanya kepadamu. Kita hanya akan mengambil laporan-laporan itu dan langsung pergi. Oke?" dikte Lyon saat mereka berjalan menuju teras rumah.

"Baik." jawab Petra singkat, hingga membuat Lyon langsung menghentikan langkah kakinya dan menatap Petra penuh curiga.

"Bagus. Aku harap itu benar-benar terjadi." ucap Lyon dengan penuh penekanan disetiap kata-katanya.

Dalam diam mereka memasuki rumah besar tersebut. Mereka disambut oleh dua pelayan laki-laki berdasi ungu, mengantar Lyon dan Petra memasuki ruang tamu disayap kanan bangunan dengan nuansa serba putih tersebut.

Suasananya begitu mencekam bagi Petra yang baru pertama kali datang ke rumah orang tua Lyon, rumah orang kaya raya sekaligus salah satu klan pilar pendiri Mestonia yang disembunyikan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, dalam benak Petra berimajinasi kalau dirinya sedang bermimpi berada di sebuah istana bulan putih yang ada disalah satu cerita dongeng yang pernah bibi Mia tuturkan kepada Mia saat kecil dahulu.

Pintu ruang tamu berdecit cukup keras ketika salah satu pelayan laki-laki didepan Petra mencoba membukanya lalu mempersilahkan mereka berdua masuk ke dalam ruangan. Dinding ruang tamu tersebut bukan lagi nuansa cat putih seperti lorong-lorong yang tadi Petra lewati, melainkan berwarna soft lavender yang menenangkan mata Petra yang lelah.

Pada salah satu sofa disudut ruang tamu duduklah dua orang wanita dan pria yang Petra yakini sebagai ayah ibu Lyon. Mereka tersenyum ramah kepada Petra. Mereka lalu mempersilahkan Petra duduk disalah satu sofa yang ada didepan ibu Lyon. Kemudian meminta kepada pelayan untuk membawa minuman dan beberapa camilan.

"Ayah, ibu...ada apa dengan kalian? Kenapa kalian repot-repot menyambut kedatanganku kali ini?" ungkit Lyon dengan nada bicara kurang suka.

"Ada apa? Jelas kamu pulang membawa teman kemari. Sudah sejak lama saat terakhir kali kamu pulang ke rumah dengan seorang teman, Lyon." ucap ibu Lyon dengan suara yang lembut. Suara seorang ibu yang penuh perhatian dan penuh rasa rindu kepada anak laki-lakinya.

"Dia Petra. Dia bukan temanku...tapi dia adalah calon istri masa depanku." celetuk Lyon yang sontak membuat Petra merasa ada sebuah kilat petir menyambar jantungnya.

Jika apa yang Petra dengar itu bukanlah sebuah mimpi, tentu saat ini Petra merasa seperti buah simalakama dijatuhkan kepada dirinya dengan sengaja.

-tbc-

avataravatar
Next chapter