10 Ch. 10 Seriz

Satu hal yang mengerikan dari seseorang bernama Lyon adalah ketika dia sedang kehabisan ide, tertekan masalah berat, atau merasa berada disebuah jalan buntu dan tidak ada jalan lain lagi maka pada saat itulah sebuah ide datang kepada Lyon dengan cara yang ajaib. Lyon tidak percaya dengan namanya keajaiban, namun Lyon merasa hidupnya di dunia saja boleh dibilang ajaib. Ajaib karena Lyon tidak pernah merasa meminta dilahirkan ke dunia, namun tetap saja Tuhan bersikeras melahirkan Lyon ke dunia yang ia benci dengan segenap jiwa raganya. Setidaknya Lyon membenci karena dirinya lahir disebuah keluarga yang penuh topeng.

Awalnya, Lyon hanya menginginkan Petra membantunya mengatasi masalah laporan keuangan CoMet yang setiap bulan membuat dirinya sakit kepala tujuh keliling. Itupun dengan susah payah dan penuh kalimat ancaman serta banyaknya persyaratan dari pihak Petra tanpa Lyon duga sebelumnya. Lyon mengira kalau Petra hanyalah gadis penggila uang, ternyata Petra lebih dari itu. Karena ternyata Petra juga gadis yang sangat cerdas memanfaatkan situasi. Mencari kesempatan dalam kesempitan dalam kasusnya sendiri.

Hal yang tidak terduga lainnya adalah ketika Petra meminta uang muka kepada Lyon. Bahkan jumlahnya tidak sedikit untuk sekedar membeli makan malam untuk gadis itu sendirian.

"Jangan salah sangka dulu. Uang muka ini aku gunakan untuk membayar sewa rumah bulan ini." jelas Petra, sesaat setelah Lyon memberikan setumpuk uang kertas dengan tatapan jengkel dan penuh dengan rasa tidak percaya kepada Petra. Ular berbisa, gerutu Lyon keras-keras dalam hati. Anehnya, rasa kesalnya kepada Petra sedikit mengobati rasa sakit hati akibat pengkhianatan teman-temannya.

"Jadi...kamu tinggal di rumah sewa?" selidik Lyon, masih tidak percaya dengan apa yang sedang dilihat oleh kedua mata kepalanya.

"Benar. Aku berasal dari Finelan, jadi tidak mungkin bolak balik ke sekolah dengan naik bus." jelas Petra singkat saja. Gadis itu tengah sibuk menghitung jumlah uang ditangannya. Tanpa rasa malu dihadapan Lyon yang tidak lepas menatapi dirinya lekat-lekat.

"Begitu?" kata Lyon sedikit melunak setelah menyaksikan Petra memasukkan uang yang diberikan itu kedalam tas sekolah dengan hati-hati. Seolah mereka merupakan harga yang sangat berharga. Dan, tanpa segan Petra akan mempertaruhkan nyawanya demi uang tersebut.

"Kenapa? Tidak percaya? Ayo lihat saja sendiri." Ujar Petra tanpa pikir panjang. Karena sesaat setelah Petra mengucapkan kata-kata tersebut ia menjadi sangat menyesal. Tidak seharusnya Petra mengajak pemuda tidak dikenal ke rumah. Tidak benar, setidaknya karena Petra sedang di rumah sendirian. Bibi Mia dan paman Jon sekarang masih di Finelan, butuh dua setengah bulan lagi untuk bisa mereka tinggal di Metropol menemani Petra.

"Dari pada ke rumahmu yang pasti kumuh itu, lebih baik kamu ikut aku. Ada tempat yang harus aku datangi. Dan akan aku bayar tiga kali lipat dari yang tadi." celetuk Lyon, setelah sebuah ide datang dengan tiba-tiba.

"Apa? Kamu sedang tidak memintaku melakukan hal yang tidak senonoh kan?" pekik Petra terkejut.

Walau pun gagasan tentang 'tiga kali lipat' itu terdengar sangat menggiurkan, menggoyahkan hati serta iman Petra, namun Petra yakin seyakin-yakinnya kalau apa yang Lyon maksud dengan pergi ke suatu tempat bukanlah sesuatu yang baik. Apalagi dengan didukung oleh senyum yang tersungging diwajah Lyon yang muncul tiba-tiba. Petra yakin betul kalau senyum tersebut bukanlah senyum manis melainkan senyum kelicikan dari malaikat pencabut nyawa.

Lyon tertawa nyaring mendengar pertanyaan Petra yang jelas khawatir dan ketakutan akan keselamatan dirinya sendiri. Tentu saja, dengan reputasi Lyon sebagai seorang playboy nomor satu di SMA Metropol yang selalu membawa gadisnya ke hotel terbaik ketika mereka pergi berkencan. Lyon yakin betul dengan apa yang sedang Petra pikirkan saat ini terhadap dirinya.

"Hahaha...tentu bukan. Aku sedang tidak berselera melakukan hal membosankan semacam itu. Asal kamu tahu saja, ini masih menyangkut soal pekerjaan yang harus kamu lakukan. Semua laporan ada ditempat itu... dan karena aku sudah membayarmu tadi, jadi bukankah wajar aku menginginkan kamu mulai bekerja hari ini juga." jelas Lyon masih belum bisa meredam tawanya sendiri.

Lyon harus memegang perut dengan dua tangannya karena gagal menahan tertawa yang anehnya enggan sirna sekalipun Lyon mati-matin menutup mulutnya sendiri.

"Lalu...kenapa kamu tertawa bahagia seperti itu." decit Petra masih tidak percaya dengan isi kepala Lyon yang tidak bisa ditebak.

"Wajahmu tadi lucu sekali. Kamu pikir...kamu tipe gadis yang akan aku ajak untuk pergi kencan?" celetuk Lyon setelah tawanya reda.

"Mana aku tahu." komentar Petra kesal sendiri.

Tentu saja, Petra takut jika apa yang ia khawatirkan benar terjadi. Sudah bukan rahasia umum lagi tentang bagaimana busuknya kelakuan Lyon di sekolah. Terutama dengan banyaknya mantan gadis satu malamnya itu, yang Petra sendiri tidak bisa menghitung berapa jumlah pastinya. Terlalu banyak, sampai papan tulis kelas pun tidak sanggup sebagai media untuk mencatat nama-nama gadis malang korban kebuasan Lyon.

"Ayo. Kita kehabisan waktu." ajak Lyon, dengan paksa menyeret Petra masuk ke dalam mobil. Lalu meminta sopir pribadinya untuk segera menuju ke lokasi yang Lyon maksud.

"Kemana kita?" tanya Petra untuk yang ke-seratus dua puluh tujuh kali namun gagal mendapatkan jawaban dari Lyon. Pemuda itu hanya duduk mematung dengan menyumbat dua telinganya dengan headset dan memejamkan mata.

Lyon sengaja mengabaikan Petra yang kalang kabut penuh rasa curiga, khawatir dan kesal kepadanya.

Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menembus ramainya jalan protokol kota Metropol ditengah gerimis malam yang tidak kunjung reda. Mobil terus melaju kencang hingga sampai di pinggir kota Metropol, terlihat jelas dengan banyaknya pohon akasia dikanan-kiri bahu jalan membuat jalur boulevard menjadi sedikit mencekam dalam balutan gerimis malam.

Metropol merupakan kota metropolitan paling sibuk di Mestonia, menjadikan pusat kota Metropol hanya dipenuhi oleh bangunan beton pencakar langit yang berjejer disepanjang jalan protokol hingga tidak terhingga jumlahnya. Terlalu banyak gedung tinggi beraneka fungsi menjejali Metropol hingga penuh sesak. Hanya ada pohon-pohon rindang berderet menyejukan mata yang bisa dilihat saat kendaraan hendak melewati wilayah perbatasan Metropol menuju kota distrik lain di kedaulatan Mestonia. Karena Petra hanya pernah tinggal di kota Finelan dan Metropol saja, maka Petra tidak punya gambaran hendak pergi kemana mereka di malam penuh gerimis.

Jalanan yang mereka lewati sekarang hanya terlihat penuh dengan pohon rindang. Di kejauhan, titik diantara pohon satu dengan pohon lainnya, bisa Petra lihat samar-samar kerlap kerlip lampu yang tidak begitu terang. Mungkin karena jarak yang cukup jauh menjadikan hal tersebut. Petra masih saja gelisah. Apalagi saat Petra menanyakan mereka akan kemana kepada sopir didepannya, orang tersebut tetap bungkam seribu bahasa.

"Selamat datang di kota Seriz, nona Petra." celetuk Lyon mengagetkan Petra yang tengah melamun. Mengutuki nasibnya sendiri sepanjang satu jam perjalanan dengan pemuda dari planet tidak bernama dari galaksi Andromeda tersebut.

avataravatar
Next chapter