webnovel

CHAPTER 1 - KIRANA

Terkadang kita lupa, ada banyak hal sederhana di sekitar kita yang bisa membuat kita bahagia. Tapi seringkali, kita justru terlalu fokus pada keinginan-keinginan yang tidak masuk akal. Seperti orang tuaku yang berusaha membentukku menjadi seperti yang mereka mau. Padahal aku bukan tanah liat. Aku manusia. Aku dibentuk oleh pengetahuan, pengalaman, dan lingkungan. Seharusnya mereka memberiku kebebasan bereksplorasi agar memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman. Agar aku mampu secara kritis dan logis mengambil keputusan di masa depan. Agar aku lebih berani menghadapi dunia yang semakin tidak karuan. Bukan malah mendikteku dan membuatku takut akan kegagalan. Sampai suatu ketika, tanpa sadar, perlahan tapi pasti, rasa takut dalam diriku mulai berkembang menjadi suatu ketakutan yang lebih besar.

Awalnya aku hanya takut gagal. Selanjutnya aku takut dengan penolakan. Kemudian aku takut diabaikan. Setelah itu, aku takut mencintai sesuatu karena takut kehilangan. Pada akhirnya, yang kulakukan adalah membangun benteng pertahanan. Semakin hari semakin tinggi. Sampai aku tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai.

Semua itu terjadi karena tuntutan dan harapan. Selama ini, Ibu dan Ayahku tidak pernah tahu bahwa aku tumbuh dewasa dengan perasaan was-was jika suatu hari nanti mereka tidak lagi memperdulikanku karena aku tidak bisa memenuhi harapan mereka. Aku takut mereka kecewa dengan capaian-capaianku yang tidak lebih baik dari saudara-saudaraku, sehingga mereka tidak bisa menyombongkanku di depan tetangga. Padahal kalau dipikir-pikir, aku tidak seburuk itu sampai-sampai membuat mereka malu untuk mengakui keberadaanku.

Aku selalu lulus sekolah tepat waktu. Nilaiku memang tidak sempurna, tapi tidak pernah di bawah rata-rata. Aku juga berhasil masuk di universitas negeri terbaik dengan masa studi yang tidak kurang dan tidak lebih. Empat tahun. Tapi kalau soal piagam dan piala, aku memang tidak punya karena aku jarang mengikuti lomba. Alasannya sederhana. Aku tidak suka kompetisi.

Sejak kecil, Ibu dan Ayahku selalu membandingkan aku dengan saudara-saudaraku. Aku yang pemalas, dan mereka yang rajin. Aku yang talkative dan mereka yang pendiam. Aku yang arogan, dan mereka yang obedient. Entah kenapa hal itu membuatku benci semua hal yang menyangkut kompetisi. Aku benci dibandingkan dengan orang lain. Baik ketika aku berada di posisi yang lebih unggul ataupun sebaliknya.

Aku tidak suka orang lain melihatku sebagai seseorang yang paling baik, hebat, kompeten, dan bisa diharapkan. Alasannya, aku tidak ingin mereka menaruh harapan padaku. Bagiku, harapan adalah beban. Seperti harapan Ibu dan Ayahku yang menjadikan cinta mereka bersyarat.

Di dalam sejarah hidupku, tidak ada yang namanya cinta tanpa syarat. Semua yang kudapatkan adalah hasil kerja keras. Seperti seorang anak yang mengemis cinta dari orang tuanya, aku rela menghabiskan 24 jam penuh untuk membaca buku agar mendapat nilai sempurna di ujianku. Aku ingin Ibu dan Ayah menatapku dengan cara yang sama seperti mereka menatap saudara-saudaraku. Meskipun itu hampir tidak pernah terjadi. Sungguh.

Ayah bahkan tidak memberiku pelukan saat aku lulus ujian masuk sekolah menengah karena itu bukan ujianku yang pertama. Ayah tidak peduli dengan apa yang kurasakan saat itu. Rasa bahagia dan lega karena akhirnya aku tetap bisa sekolah. Rasa bangga pada diri sendiri yang tetap bertahan dan memilih untuk terus berjuang. Bagi Ayah, aku tetaplah anak yang gagal. Terlebih karena sekolahku bukan sekolah unggulan. Hanya sekolah biasa-biasa saja yang tidak terkenal. Sekali lagi, aku tidak bisa dijadikan bahan obrolan dengan tetangga.

Sejak hari itu, yang kupikirkan hanya menghukum diri sendiri. Aku merasa tidak pantas menerima perhatian dan cinta dari orang tuaku. Aku tidak berhak didengarkan. Aku tidak berhak untuk mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan. Aku bahkan tidak meminta uang lebih untuk jajan dan nongkrong bersama teman-teman. Meskipun sebenarnya uang sakuku selalu kurang. Terkadang aku memilih untuk jalan kaki saat pulang karena aku butuh uang tambahan untuk membeli barang-barang yang aku inginkan. Buku, misalkan.

Karena aku gagal, maka aku harus mendapat hukuman. Dan hukuman itu adalah mengikuti semua yang orang tuaku katakan. I decided to be their puppet. Meskipun itu berarti aku berperang dengan diri sendiri dan keadaan.

"Kenapa kau terlihat sedih?" tanya seorang anak laki-laki yang kutemui di upacara masuk sekolah.

"Tidak. Aku tidak sedih." Jawabku datar.

"Apa kau..." anak laki-laki itu memicingkan kedua mata dan tidak melanjutkan kalimatnya. Aku pun tidak merasa penasaran dan mengabaikannya. Tapi, dia membuatku tidak nyaman karena terus menatapku lekat-lekat. Kulirik wajahnya sekilas, dan dia mengerjapkan mata beberapa kali.

"Ah, kurasa itu tidak penting." Serunya sambil menyunggingkan senyum ramah. "Apapun itu, kuharap kita bisa berteman." Katanya sambil mengulurkan tangan.

Asumsiku, barusan dia ingin menanyakan apakah aku adalah 'murid buangan'. Jika iya, wajar saja aku terlihat murung dan sedih. Padahal sungguh, aku tidak sedang merasa sedih.

"Senang bertemu denganmu." Katanya seolah memintaku segera menjabat tangannya. Tapi aku hanya diam bergeming menatap tangannya.

Sekolahku memang terkenal sebagai Sekolah Penampungan. Artinya, murid-murid yang mendaftar ke sekolah ini adalah murid yang gagal masuk ke sekolah favorit. Daripada harus melewatkan masa SMA dan mengambil ujian masuk sekolah lagi tahun depan, masih lebih baik masuk ke sekolah biasa-biasa saja meskipun itu artinya kau disebut sebagai 'anak buangan'. Setidaknya begitulah pemikiran kebanyakan orang. Meski begitu, tidak semua murid yang masuk ke sekolah ini adalah 'murid buangan'. Ada juga yang dengan sengaja mendaftar karena biaya masuknya yang murah atau lokasinya yang dekat dengan rumah. Jadi kau bisa menghemat ongkos perjalanan.

"Apa kau keberatan jika kita berteman?" tanya anak laki-laki itu dengan tangan yang masih terulur.

Aku menggeleng samar.

"Kalau begitu, biarkan aku menjabat tanganmu lebih dulu." Ujarnya sambil meraih tanganku yang keringetan. Aku terkesiap. Kaget dan heran dengan sikapnya yang blak-blakan.

"Aku Raihan." Katanya.

"Kirana." Jawabku pelan.

"Nama yang bagus." Katanya dengan seringai lebar di wajahnya. "It's okay. Aku juga sama denganmu."

Maksudnya, sama-sama 'anak buangan'.

"Tidak peduli orang akan memanggil kita apa nantinya, bagaimana mereka menilai kita, dan bagaimana mereka memperlakukan kita, kuharap kau tidak sedih karenanya. Aku yakin setiap murid di sekolah ini menyimpan kisah perjuangan mereka sendiri-sendiri. Jadi, jangan pernah merasa kecil hanya karena mereka berpikir kita bukan apa-apa." Ujarnya.

"Bukankah gagal adalah hal yang biasa dialami oleh seorang siswa...?" tanyanya tanpa perlu jawaban. "Bersikaplah seolah kita adalah pemenang yang sesungguhnya. Tidak peduli seburuk apa kita di mata mereka dan bagaimana mereka merendahkan kita, apapun yang terjadi di masa depan akan bergantung pada pilihan-pilihan kita. Bukan mereka. Bukan orang lain. Kita bukan 'anak buangan'. Kita adalah 'anak pilihan' yang secara langsung dilatih oleh kehidupan untuk menghadapi tantangan-tantangan. Supaya besok, ketika kita dewasa, kita bisa lebih bijak dalam mengambil tindakan."

Seolah mengerti dengan apa yang aku pikirkan dan aku rasakan, Raihan menceramahiku dengan kalimat-kalimat yang tepat sasaran. Sejak hari itu, kami pun menjadi teman. Aku yang sebelumnya berpikir bahwa tidak ada kebahagiaan bagi mereka yang gagal, akhirnya mencoba menerima bahwa semua adalah proses yang akan membuatku lebih dewasa dalam menjalani kehidupan. Semua ini tentang mencari pengalaman. Bagiku, Raihan adalah penyelamat hidupku yang pertama. Ketika usiaku 15 tahun dan aku hampir mati rasa —tidak bisa merasakan emosi apapun terutama cinta dan bahagia.

Sebagai orang yang disebut sebagai 'buangan', aku menjalani masa sekolahku dengan perasaan senang dan bahagia. Aku merasa diterima. Aku merasa dihargai tidak peduli berapapun nilai ujian yang kudapatkan dan seberapa sering aku gagal. Semua yang ada di sekolah ini, memberiku energi positif untuk melangkah ke depan. Menikmati proses, tapi tetap berusaha menjadi yang terbaik. Aku merasa telah menemukan tempat untuk berpijak, dimana tidak ada harapan berlebihan juga tidak ada tuntutan yang tidak masuk akal. Ibarat sebuah melodi, semua yang ada di sekolah ini mengalun dengan ritme yang enak didengar.

Aku yang sebelumnya pendiam, mulai lebih banyak bicara. Aku yang sebelumnya tidak tahu bagaimana caranya bercerita, mulai belajar mendeskripsikan apa yang aku rasakan dan aku pikirkan. Meskipun tidak banyak kosa kata yang kugunakan untuk menjelaskan, teman-temanku tidak pernah kesal saat mendengarkan. Padahal aku yakin mereka pasti tidak paham dengan apa yang kukatakan. Terutama Raihan. Hal yang paling sering dia lakukan saat kalimatku mulai berantakan adalah memasang wajah datar dan menatapku terus-terusan.

"Kau ini bicara apa...?" tanyanya. "Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kau katakan. Bisa tolong gunakan bahasa manusia saja...?" katanya dengan alis berkerut dalam.

Tentu saja aku akan meresponnya dengan decakan keras karena kesal. Saat itulah kemudian dia akan tertawa keras-keras sambil mengacak-acak rambutku bagian atas.

"Kau menyebalkan." Desahku kemudian.

"I know." Jawabnya.

Sejak hari pertama aku dan Raihan menjadi teman, dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Dia sering datang ke kelas untuk memberiku camilan karena dia tahu aku suka makan. Aku pun juga baru tahu bahwa ternyata aku suka makan. Karena dulu, sebelum bertemu Raihan, sepertinya tidak ada waktu buatku untuk sekedar pergi ke kantin dan menikmati makan siang. Karena setiap jam adalah waktu untuk belajar. Tapi sekarang, waktu bukan hanya sekedar untuk belajar. Tapi juga bersenang-senang dan menikmati kehidupan. Sampai suatu ketika, Raihan menjadi alasan aku takut kehilangan.

He was gone. He wasn't there anymore. Ketika harapannya padaku tidak bisa kupenuhi, dia menghilang. Dia menarik diri dan meninggalkanku sendirian. Tidak ada lagi kata teman. Tidak ada lagi kata bersenang-senang dan menikmati kehidupan. Sama seperti orang tuaku, dia menolak keberadaanku. Dia mengabaikanku bahkan ketika aku berdiri di depannya melambaikan tangan.

"Kenapa kau terus menghindariku?" tanyaku.

"Bukankah egois jika kau memintaku untuk tetap berada di dekatmu setelah tahu bagaimana perasaanku?"

"Itu perasaanmu, dan itu adalah hakmu. Aku tidak memaksamu untuk menghilangkan atau mengabaikannya. I'm fine with that feeling of you. We can still be friend."

"Hmph." Dengus Raihan. "Mudah bagimu mengatakannya. Kupikir kau hanya tidak tahu bagaimana cara mencintai dan rasanya dicintai. Ternyata kau juga tidak tahu betapa egoisnya dirimu saat ini."

"Maksudnya?"

""We can still be friend", you said...? Kau yakin memintaku untuk tetap menjadi temanmu meskipun itu artinya aku harus bergantung pada harapan kosong? Hanya memberimu cinta tapi tidak mendapatkan apapun sebagai gantinya. Tidakkah menurutmu itu menyedihkan...?"

Sejujurnya aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Raihan. Kenapa aku harus memberikan sesuatu sebagai imbalan dari cinta yang dia berikan padaku?

"I love you." Kataku. "As a friend. Like always. From the start 'till now."

Dan aku tidak membutuhkan balasan apapun darimu.

Raihan menggeleng-gelengkan kepalanya samar. Kemudian dia berdecak dan berkata, "It's different, Kirana. The love that you mean and the love that I mean are different." Dia memandangku sekilas kemudian berbisik, "I am sorry. I don't think we can be friend anymore."

Satu kecupan mendarat di kepalaku. Sebuah tanda perpisahan. Then he left me alone. Thinking. Wondering.

What's wrong...?

Kenapa cintaku berbeda dengan cinta Raihan? Kenapa harus ada balasan? Jika mencintai dan dicintai berarti menjual dan membeli, aku memilih tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Alasannya sederhana. Aku tidak ingin berhutang saat aku tidak bisa membayar.

"Kupikir bukan cinta kita yang berbeda." Gumamku lirih lebih pada diri sendiri. "Tapi hasrat."

Hasrat Raihan untuk memiliki lebih besar dari rasa cinta yang ingin dia berikan padaku. Dia memilih pergi ketika keinginannya tidak terpenuhi. Sama seperti sebelumnya, dia memilih pergi ke Sekolah Penampungan karena gagal mendapatkan tempat di sekolah yang dia inginkan. Sayangnya, aku pun sama egoisnya dengan memilih kebebasan. Bukan cinta. Tidak berarti perasaanku pada Raihan menghilang begitu saja meskipun aku kecewa dengan keputusannya. Aku masih menyimpan cinta untuknya. Sampai sekarang. Sampai saat aku harus kehilangan seseorang yang membuatku kembali ke titik awal.

Perasaan cinta, marah dan kecewa yang berkecamuk dalam diriku itu kemudian berubah menjadi satu rasa yang utuh. Aku tidak tahu apa namanya, dan untuk saat ini aku menyebutnya 'rasa itu'. Sebuah rasa takut akan kehilangan tapi tidak menolak untuk memberikan perhatian. Aku tetap memberikan cinta pada orang lain, tapi tidak ingin menerima cinta yang berlebihan. Aku tidak suka diperhatikan, tapi senang memberikan perhatian. Bagiku, tidak ada hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan, karena pada akhirnya semua orang sama saja. Mereka akan membuangmu seperti sampah ketika kau tidak bisa memenuhi harapan mereka. Jadi lebih baik menjaga jarak aman sebelum tenggelam di dalam perairan yang dalam. Relationship.

***

Next chapter