1 chapter 1

Chapter 1

Setelah orang tuanya meninggal, Emma terpaksa tinggal di rumah bibinya. Rumahnya telah habis terjual ketika kedua orang tuanya di rawat di rumah sakit. Mereka menjalani operasi berkali-kali. Namun pada akhirnya mereka tidak bisa diselamatkan.

Bibi Emma, Eleanor Roosevelt memiliki dua orang anak. Robert dan Isabelle, mereka hampir seumuran dengan Emma. Dan kebetulan, Isabelle adalah kakak tingkat Emma.

"Emma, Lo ngapain bengong kaya begitu. Ntar kesambet loh."

"Auk Ah, gue lagi pusing mikirin ujian udah deket. Tapi otak masih beku aja belum meleleh," sungut Emma membenahi buku-bukunya. Sedari tadi ia berusaha memahami penjelasan gurunya tapi nggak juga masuk di otak.

"Pulang bareng sapa Lo? Bareng John Lennon?" Tanya Linda. John Lindsay adalah pacar Emma sejak kelas sembilan, tapi Linda sering menyebutnya John Lennon.

"Tergantung sih, kalau dianya njemput ya gue oke, kalau enggak ya biarin aja deh. Nggak maksa kok," jawab Emma santai.

"Kayak gak niat banget sih Lo?"

"Gue lagi males Lin, hidup gue berasa gagal kalau ujian ini gue gagal. Kalau emang dia serius ya udah gue terima, tapi kalau enggak ya udah gue nggak sakit ati, gitu aja."

Linda menggelengkan kepala melihat Emma yang sangat tenang menghadapi dunia percintaannya. Tapi mungkin karena kejadian kedua orang tuanya, membuatnya tidak seperti dulu.

Dulu Emma adalah anak yang ceria dan banyak bersenang-senang. Namun sekarang ia sering murung dan selalu skeptis dalam menghadapi sesuatu.

"Ya udah ya Em, gue duluan."

"Oukhai say. Gue nyantai, paling jalan kaki." Rumah bibi Eleanor tidak terlalu jauh dari sekolah, sekitar sepuluh menit berjalan kaki.

"Bye." Linda meninggalkan Emma di dalam kelas sendirian.

"Bye." Sahut Emma.

*

Sampai di rumah, Emma mengganti pakaiannya, meletakkan pada paku yang menancap di dinding. Lalu ia ke dapur mencari makanan yang biasanya disiapkan Bibi Eleanor untuknya.

Rasa lapar sudah terasa melilit di ususnya, tapi makanan itu ternyata tidak tersedia untuknya. Tiba-tiba Isabelle masuk dengan piring kosong di tangannya.

"Kau sudah pulang Emma?" Ucapnya dengan gelagat sedikit aneh.

"Hem, apa kau makan punyaku lagi?" Isabelle tersenyum. Lalu menyodorkan sebungkus mie instan untuknya.

"Astaga!" Menyesal rasanya pulang belakangan, ya begini. Terpaksa Emma mengambil sebungkus mie instan untuk dimasak daripada perutnya semakin melilit. Ini sudah sering terjadi, tapi ia hanya menerima saja diperlakuan sepupunya itu.

Emma menuang mie Instan ke dalam mangkuk lalu mengaduknya dengan tenang. Menu terbaik adalah menikmati yang ada dengan bersyukur. Ia memulai mengunyah dan menikmatinya.

Robert datang dari arah dapur. "Hai Emma, apakah kau melihat mie Instan yang baru saja kubeli?" Robert bertanya dengan sopan kepadanya. Usia Robert memang tiga tahun dibawahnya.

"Apa maksudmu?"

"Darimana kau mengambil mie instan itu?"

"Hughh, jangan-jangan Isabelle memberikan mie instan milikmu kepadaku?" Emma jadi kesal. "Maukah engkau memakannya? Aku baru memakannya sedikit." Robert melihatnya dengan kecewa, tapi ia masih menerima mie instan tersebut dan pergi.

"Huh, si syetan belek udah ngerjain gue bener. Awas Lo ya!" gerutu Emma.

Berurusan dengan Isabelle sering membuat Emma jantungan, tapi bagaimana lagi? Sudah bagus Bibi Eleanor Roosevelt itu menampungnya,. memberinya tumpangan hidup. Emma harus bersabar menghadapi Isabelle yang sering mau menang sendiri.

Emma membersihkan bekas memasak mie instan lalu pergi ke kamarnya. Kamar kecil dengan ukuran 2×3 meter memang tak sebanding dengan kamarnya dulu dengan ukuran 4x6 meter persegi. Bahkan masih ditambah lagi balkon menghadap ke hutan kecil di dekat rumahnya.

Entahlah bagaimana rumah itu berpindah tangan kepada Tuan Ronaldo pengusaha barang antik itu. Bahkan rumah itu tak terurus lagi sekarang karena tidak pernah ditempati. Ada yang bilang tuan Ronaldo membeli rumah itu untuk seseorang yang masih dalam perawatan, entah bagaimana cerita selengkapnya Emma juga tak memahami.

Emma meminjam sebuah komik dari Linda beberapa hari yang lalu, tapi ia belum sempat membacanya. Tadinya ia berpikir akan membacanya setelah ujian, tapi kepalanya sudah seperti memori yang mau rusak karena lelah.

"Lebih baik aku baca komik dulu," katanya sambil membuka halaman pertama komik bertema Vampir buruk rupa itu.

Ia mengagumi karakter Dimitri, seorang vampir dengan wajah tampan. Biasanya tokoh vampir memang tampan dalam film layar lebar seperti Tom Cruise dan Robert Pattinson seperti karakter Dimitri ini, hanya saja Dimitri adalah sosok antagonis dan brutal. Disana terdapat juga Klark dengan wajah buruk rupa dan dikucilkan dari kalangan vampir.

_"Aku membenci hidup sebagai vampir, aku akan mencari wanita dari kalangan manusia yang baik hati dan hidup bersama wanita itu tanpa pengkhianatan!"_ Klark mencurahkan perasaannya kepada seorang temannya.

_"Apa kamu pikir manusia akan menerima orang sepertimu? Kau sangat jelek dan kau hanyalah vampir tak punya kedudukan!"_

_"Aku tidak perduli, wanita yang aku cintai ia akan menghargai kerja kerasku, aku tidak harus menjadi vampir selamanya,"_

Emma mengernyit, 'Ada juga vampir berminat jadi manusia, aku saja pengen jadi vampir biar bisa menggigit Isabelle yang selalu menghabiskan makananku,' gerutunya. Ia terus membalik kisah di dalam komik itu hingga datang rasa kantuk yang amat sangat. Komik itu menimpa wajahnya karena ia membacanya dengan posisi rebahan di kasurnya.

Tak lama kemudian, Emma telah berada diantara Klark dan temannya yang berwajah tampan, Dimitri.

Emma menatap ngeri pada wajah Klark yang menakutkan.

"Hah, gila! Jelek banget nih vampir. Mana bau jengkol lagi. Nih vampir entah habis keluyuran kemana kali ya, kok dapetnya manusia yang suka makan jengkol,' Emma mendekap tubuhnya sendiri. Merasakan hawa dingin yang menusuk kulit.

"Hallo! Kenapa kamu masuk kesini?!" Vampir berwajah jelek itu menatap Emma tidak suka, begitu juga temannya yang ikut menatapnya dengan mata tajam.

"Ih, mana kutahu. Aku juga gak mau ketemu vampir jelek kayak elo!"

Klark menyeringai. "Seharusnya kamu suka vampir yang jelek karena mereka yang paling jelek di dunia vampir, merekalah yang paling baik kepada manusia."

Emma menautkan alisnya. "Benarkah? Mana bisa gue percaya, vampir tetep vampir. Sebaik-baik vampir, elo pasti suka ngisep darah. Masih mending kalo cakep. Kalo jelek kayak elo pasti lebih menyakitkan sampe ke ati!" bantah Emma nggak terima.

Sementara vampir temennya yang lumayan cakep mendekati Emma dengan mata semerah saga.

"Kalau begitu aku punya peluang untuk menggigit lehermu, sayangnya kamu masih dalam mimpi. Tapi aku pasti akan mencarimu." Vampir itu semakin pucat wajahnya, mengeluarkan aura dingin dan senyum menakutkan.

Emma mencium aroma tidak sedap disekitarnya. Dan betapa terkejutnya dia saat tangan berkuku tajam sudah berada menyentuh lehernya. Dimitri mengintimidasi Emma dengan berada dibelakangnya, seolah tubuhnya adalah teritori yang akan ia kuasai.

"Eits! Ngapain elo ada di belakang gue. Pergi sono! Mana nggak pernah mandi!"

Dimitri tertawa menggema. Taringnya sangat jelas dihadapan Emma, ia mendekap tubuh Emma dan membuat Emma meronta ketakutan.

"Toloooong! Akhh! Toloong!" Emma terbangun. Tubuhnya terasa sesak. Tumpukan pakaian yang baru diangkat dari jemuran sudah menumpuk di tubuhnya.

"Hah, untunglah aku cuma bermimpi."

Emma menyingkirkan pakaian kering miliknya, dia yakin ini adalah perbuatan Isabelle yang mengangkat jemuran. Isabelle membebankan semua tugas mencuci dan menyeterika pakaian kepadanya. Padahal, bibi Eleanor telah mengatakan untuk Isabelle menyeterika pakaian, tapi dia tak perduli.

avataravatar
Next chapter