1 BAB 1

Lia berjalan memasuki area sekolahnya. Ia berjalan dalam diam tidak ada yang menyapa dan tidak ada yang disapa.

Gadis itu berjalan dalam diam karena sekolah yang masih lengang hanya ada beberapa siswa saja.

Lia membuka loker miliknya untuk meletakkan dan mengambil barang-barang miliknya.

"Pagi!" Seseorang mencoba mengagetkan Lia dengan menepuk punggungnya agak keras.

Lia tidak menunjukkan wajah terkejut membuat si pelaku merengut sebal karena rencananya gagal.

"Seharusnya kamu itu terkejut agar aku senang."

"Apa sih ca masih pagi ini. Tumben datang pagi-pagi?"

Yang ditanya malah senyum-senyum sendiri membuat Lia sedikit takut. Lia meletakkan punggung tangannya di dahi Uca.

Uca langsung menghindar dan menatap Lia. "Apaan sih Lia, kok di pegang-pegang?"

"Ya mungkin aja kamu kemasukan setan sekolah."

"Apa hubungannya kemasukan setan sama dipegang dahinya?"

Lia mengedikkan bahunya lalu membereskan pekerjaannya yang tertunda.

Saat sedang memilah isi lokernya, Lia menemukan sesuatu yang asing. Ada sebuah gulungan kertas yang diikat dengan pita berwarna merah jambu dan disampingnya ada sebuah susu kotak rasa stroberi.

Uca yang menyadarinya langsung mengambil kertas tersebut dari tangan Lia. Uca membolak-balik gulungan itu. "Sudah jelas ini surat cinta."

"Kau sedang dekat dengan seseorang?" tanya Uca. Lia menghela napas, "Kau tahu sendiri aku ini orangnya bagaimana. jika tidak diajak bicara, aku bisa seharian tidak bicara. Lalu bagaimana caranya aku bisa dekat dengan seseorang?" ujar Lia sembari sibuk dengan isi lokernya.

Uca menyandarkan punggungnya disalah satu loker sambil mengetuk-ngetuk gulungan itu di dagunya.

"Aku jadi penasaran siapa orang yang mengirim ini." Uca memiringkan tubuhnya ke kanan untuk berhadapan dengan Lia sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Ini sudah hari ketiga terhitung dari awal Februari lalu." Uca mendengus saat tiba-tiba suatu pikiran terlintas begitu saja di otaknya. "Aku yakin dia akan mengungkapkan perasaannya di hari valentine nanti."

Lia menghentikan kegiatannya sejenak. apa mungkin seperti itu? tapi siapa pengirimnya? seingatnya ia tidak sedang dekat dengan siapapun dan juga tidak ada yang sedang mendekatinya, pikir Lia.

"Sudahlah nanti saja kita bahas, ini masih pagi kamu sudah sarapan?" tanya Uca.

"Belum, lagi malas sarapan ." jawab Lia sekenanya. Lia membereskan lokernya setelah mengambil apa yang dia butuhkan dan memasukkannya kedalam tas.

Lia memakai tas miliknya dan Uca langsung menggandeng tangan Lia di lengannya. "Tidak ada yang namanya malas sarapan. Pokoknya kamu harus sarapan nanti kalau kamu sakit bagaimana?" omel Uca sambil terus berjalan menggandeng Lia menuju kantin sekolah.

Kantin masih sepi hanya ada beberapa siswa yang mampir untuk sarapan termasuk mereka berdua.

"Uca! Lia!" Seseorang memanggil mereka. Uca melambaikan tangannya membalas sapaan.

"Tella sendirian aja?" tanya Lia saat mereka berdua sampai di meja Stella.

"Tidak, aku sedang menunggu Jeni membeli roti bakar." jawab Stella atau yang biasa dipanggil Tella.

"Ada kalian? tahu begitu aku belikan untuk kalian juga tadi." Jeni datang sambil membawa dua bungkusan roti bakar.

"Tidak apa-apa aku akan beli sendiri. Tapi tolong jaga anak ini agar tidak kabur mengerti?" Uca menarik salah satu kursi lalu mendudukkan Lia disana sebelum ia pergi.

"Lia, kau sudah seperti anaknya Uca saja."

ujar Jeni sambil memakan roti bakarnya.

"Begitulah Uca." ucap Lia.

Tella mengambil botol mineral lalu membukanya, "Aku yakin jika ada pria yang mendekatimu Uca pasti akan maju pertama dan menyeleksinya seperti ibu-ibu yang menilai calon menantunya." setelah berujar Tella meminum airnya.

"Jika memang benar begitu aku akan langsung memanggilnya ibu." Ucap Lia yang disambut kekehan oleh dua lainnya.

Uca datang dengan dua bungkus roti bakar dan satu gelas teh hangat untuk Lia. "Satu saja?" tanya Lia sambil menunjuk gelas teh.

Uca mengangguk sambil menyerahkan satu bungkus roti bakar lalu gelas yang berisi teh untuk Lia. "Iya buat kamu biar rileks dan jadi fokus belajar."

"Terimakasih, tapi kamu minum apa?"

"Aku tidak biasa minum teh dan aku tidak perlu fokus belajar." jawab Uca dengan cengirannya. "Lagipula mereka juga pasti tidak bisa menghabiskan airnya." Uca berbicara sambil terus mengunyah makanannya.

"Oh iya! ini, tadi pagi Lia dapat lagi." Uca meletakkan gulungan kertas yang ditemukan di loker Lia lagi.

Tella mengambil gulungan tersebut sambil memakan roti bakarnya, ia membolak-balik gulungan itu sebelum membukanya.

Lia sendiri tampak tak peduli, menurutnya mungkin itu orang iseng atau salah kirim saja. Tidak mungkin kan seorang yang pendiam seperti dirinya ini ada yang suka.

Lagipula, tidak pernah tertera untuk siapa surat itu dan namanya pun tidak pernah disebutkan dalam surat itu.

"Aku tahu kau mungkin tidak peduli dengan datangnya surat ini.

Aku tahu mungkin isi surat yang sebelumnya kau mengira hanyalah sebuah bualan.

Tapi satu yang perlu kau tahu bahwa aku ini nyata adanya, orang yang selalu memujamu dan memperhatikanmu ini memang ada. Meliia, kuharap hari dimana aku dengan berani mengatakan bahwa aku memujamu akan segera datang.

Yang selalu memujamu, D. "

Lia terdiam karena Tella membacakan surat itu. ternyata surat itu memang benar ditujukan untuknya.

"Memangnya ini masih zamannya si deol, mengutarakan perasaan melalui surat." Jeni mendecih dan sedikit geli mendengar isi surat tersebut.

"Bilang saha jika kamu iri karena tak mendapat surat." Tella menggulung lagi surat itu dan mengikatnya dengan pita seperti semula.

"Lalu apa rencanamu setelah ini Lia?" tanya Tella. Lia mendongak menatap teman-temannya. "Rencana apa?"

"Untuk si pengirim surat, apa lagi?" jawab Tella gemas.

"Biarkan saja aku juga tidak terlalu memperdulikannya."

"Tapi aku penasaran siapa yang mengirim surat ini untukmu. Kita harus mencari tahu Lia, apakah dia adalah pria baik-baik atau tidak. Kalau memang dia pria yang baik untuk apa kamu tolak, ya walaupun sebelum itu dia harus berurusan dulu denganku."

Uca berceloteh panjang lebar dengan sifat protektifnya terhadap Lia.

"Mulai lagi, aku yakin ibu Lia pasti tidak sampai seperti itu juga." sahut Jeni.

"Memang siapa ibu Lia, ibunya Lia itu ya aku ini. benar kan Lia?" semuanya ikut terkekeh tak terkecuali Lia. Dia sungguh beruntung mempunyai sahabat seperti Uca.

Uca yang cantik dan supel populer di sekolahnya masih mau bersahabat dengannya.

Bahkan Uca mengenalkannya pada dua siswi populer lain yaitu Jeni dan Tella yang selalu dalam perkumpulannya.

Jika dia tidak bertetangga dari kecil dengan Uca, ia pasti tidak mempunyai teman-teman populer begini.

Lia tahu banyak sekali yang memandang iri dirinya bahkan membicarakan keberuntungannya. .

Awalnya Lia merasa tak nyaman dan agak menjauh dari Uca dan teman-temannya saat di sekolah.

Akan tetapi Uca menyadarinya dan mengatakan pada Lia bahwa ia tak peduli dengan perkataan orang.

Waktu itu mereka sampai bertengkar kecil. Lia mengatakan, memang benar Uca tak peduli tapi ia peduli. Lia tak bisa mengabaikan perkataan orang yang mencemoohnya.

Tanpa berkata apapun Uca menghampiri orang-orang yang sudah lama ia ketahui memang tidak suka dengan Lia dan menyuruhnya untuk menutup mulut sampah mereka sebelum mereka menilai diri mereka sendiri.

Sebenarnya peristiwa itu malah semakin membuat Lia tak nyaman. Tapi akhirnya Lia memilih diam dan mengikuti kemauan Uca dengan tak mempedulikan perkataan orang-orang.

Dari situ Lia jadi sering bermain dengan mereka, dan tanpa sadar Lia sendiri pun mulai bergantung dengan Uca.

Uca bukan hanya seorang sahabat untuk Lia, dia sudah seperti saudara. Selalu memperhatikannya, selalu melindunginya.

Lia benar-benar bersyukur ada seorang Uca dalam hidupnya.

avataravatar