5 02: Hesa's Ordinary Life (b)

Desta Aaron Mahesa atau yang kerap sekali dipanggil Hesa, terkenal sebagai orang yang 'sulit' di seantero jurusan. Dia sosok yang penting—terutama otak dan skill otak-atik programnya—tanpa dia, nilai anak angkatannya di prodi arus lemah, tak akan dikatakan 'terbaik sepanjang sejarah'. Meski di kelas Hesa sering tidur atau memainkan ponsel, nilai Hesa kagak pernah merosot ke area B. Dari tahun 2017, nilai pemuda berambut ikal ini tak pernah kurang dari B+.

Yang mana prestasinya itu, membuat banyak menyita perhatian Dosen. Apalagi mereka tahu, Hesa juga mengikuti workshop bahkan menjadi asisten laboratorium (aslab). Dia yang begini membuat rata-rata Dosen jika terjadi apa-apa, larinya ke Hesa, semua hal Hesa. Sering ketua kelas dianggap remahan rengginang kalau ada Hesa di sana. Parahnya, tidak hanya sekali, yang dihubungi dosen ketika ada pergantian jam atau semacamnya, ya si doi ini bukannya ketua kelas yang asli. Ha, kating—kakak tingkat—sampai teman-teman Hesa, menjuluki dia 'si anak emas'. Pokoknya sulit kalau Hesa dilawan.

Namun ada satu hal lagi yang membuat Hesa menyandang predikat 'sulit'. Dia sulit sekali ditundukkan. Dia punya jalan pikirannya sendiri dan memiliki batasan tertentu orang 'mendekati'nya. Kalau garis transparan yang dia buat ini diusik … Hesa tak akan tinggal diam.

Manusia berkemeja jeans trendy dengan lengan ditekuk hingga siku yang tengah berdiri di depan Hesa sekarang ini telah melewati batas toleransi yang Hesa bangun. Siapa yang tak kesel sih, ada orang datang nggak diundang, eh terus tiba-tiba bossy banget dengan, "lu bisa ikut gua?" Gils. Dia pikir ini kampus ebes emes-nye kali ye (emak bapaknya kali ya).

Makanya, Hesa membalas santai dan sengaja dilambat-lambatkan, "nggak lihat saya lagi makan, mas?" sekalian mengatakan sindiran tersirat 'sopan santunmu loh nol, mas' lewat wajah yang dibuat sedemikian rupa sengak dan dua alis yang terangkat.

Orang-orang di sekeliling tahu apa makna Hesa berbuat demikian, tak hanya mereka, si pemilik kontur muka kebule-bulean ini juga paham. Wajah tegas di sana sedikit mengekspresikan ketidak terimaan atas sikap Hesa, tapi Hesanya bodoh amat. Dia kembali dengan ketoprak di depannya.

Lima detik kemudian tawa menggelegar di teras himpunan. Meski jarak himpunan Hesa dengan jalan utama terbentang 100 meter lebih dan di sepanjang jalan kecil itu ditumbuhi pohon-pohon rindang, gelak tawa orang itu bisa mencapai jalanan sana. Ada embak-embak yang berhenti karena terkejut bukan main saat orang itu mulai terbahak tadi, entah berapa desibel intensitas suaranya itu.

"Menarik. Gua suka lu," kata si pendatang itu sambil memposisikan diri di depan Hesa, duduk manis di sana.

"Aku ora e. Piye jal? Minggiro kono (sayangnya aku enggak. Gimana dong? Minggir sana)," jawab Hesa enteng sekali sambil membuka botol dan menenggak isinya. Balasan yang membuat lelaki bertahi lalat di dagu ini terdiam. Manik gelapnya menelisik Hesa lekat-lekat. Dia seperti sedang berpikir keras.

Otak Hesa otomatis membuat setting eksposur maksimal, kecerahan maksimal, kontras minimal, saturasi minimal, ketajaman maksimal untuk area sekitar makhluk yang tiba-tiba datang dan ikut nimbrung padahal tak diundang itu. Aliasnya, dia menghilangkan keberadaannya dan menganggap orang ini tak ada. Well, kalau pejabat Eksekutif Mahasiswa sampai turun sendiri ke lapangan, bau-baunya bakal ada sesuatu yang membagongkan. Fix, Hesa akan pura-pura tak melihat di—

Okay. Setidaknya sampai sebuah kartu debit berwarna hitam dikeluarkan di depan muka Hesa, semua pikiran Hesa untuk menganggap keberadaan manusia di depannya sebagai roh halus, menguap puuuf!

"Gua cuma minta waktu lu bentar, Mahesa." Setting wajah manusia di depan Hesa dengan cepat berubah, auto mengembalikan semua ke setelan pabrik. Muka yang hilang dari pandangan si hitam itu dengan cepat kembali. Bahkan kini lebih fokus dan mendetail.

Namun bukan rahang kokoh, dagu indah dan muka tampan manusia itu yang Hesa perhatikan dari tadi. Heh, sejak kartu di keluarkan, kelereng Hesa sudah zoom in zoom out benda itu. Dia bisa tahu dengan pasti kartu ini memiliki logo v dan adalah 'gold' meski warnanya hitam di bank yang bersangkutan. Hesa bahkan bisa melihat nama di kartu yang sedari tadi dimainkan sang empunya itu: H. Wijaya A.

"Tbh, keperluan gua gpt sih (jujur, nggak penting sih). Jujur-jujuran nih, gua cuma pen denger detail kejadian demo di Jakarta kemarin gimana." Masih sambil memainkan kartu, pemilik rema coklat terang itu mengatakan keinginannya. Well, di telinga Hesa berbeda sih, dia juga paham yang dimaksud si Wijaya ini bukan sebatas 'keinginan' melainkan suatu 'kondisi'.

Hesa memandang tajam kelereng gelap di depannya. Kepalanya diangkat dan dia memberikan pandangan sedemikian rupa yang mengindikasikan tantangan. Haris tersenyum melihat hal ini, "heh," katanya menahan tawa atas perubahan reaksi Hesa. "Jadi lu mau nggak, cuma berbagi kisah ke gua, Mahesa?" lanjut pemuda itu sembil menggerakkan kartu, menebaskan dia di udara dan membuat kartu berhenti dalam posisi menunjuk Hesa.

Dua insan ini terdiam beberapa saat. Mereka saling adu pandang. Makin lama mereka bertukar tatap, makin besar seringai sang Wijaya.

"Ha. Dasar rubah," rutuk Hesa tepat di depan muka lawan bicaranya. Yang disebut rubah bukannya mengamuk justru makin melebarkan senyum. Hesa menghela napas panjang melihat hal ini. Cepat, ia raup kertas minyak di atas piring pinjaman dan merematnya. Tanpa melihat ke arah tong sampah di sisi pintu masuk himpunan, dia melempar bungkus itu dan slup! masuk. Berbarengan dengan kertas minyak bersarang di tong, Hesa berdiri.

"DEEL seri Neff-1123. Deal?" Hesa menjulurkan tangan ke arah lelaki di hadapannya. Wijaya tertawa mendengar ini sebelum dia ikut berdiri dan membalas jabatan tersebut. "Deal."

Ah. Hesa dapat laptop baru.

***

Hesa memasuki rumahnya dengan wajah murung, langkahnya gontai dan dia menghela napas kasar tak hanya sekali dalam 20 langkah kaki. Meski mukanya datar dan pandangannya seperti biasa—tanpa ekspresi—jelas sekali terlihat dari perangainya jika dia tengah memikirkan sesuatu.

Yah, sejak siang tadi ada secuil hal yang menggerogoti hatinya. Sesuatu yang menjijikkan dan berusaha ia tepis. Sayangnya … rasa salty itu gimana ya, sulit banget untuk dihilangkan. 'Haaa …' lagi Hesa mendengus. Dia mengacak rambutnya sebelum menaikkan tangan dan menjentikkan jari sekeras yang ia bisa.

Tanpa menghiraukan sistem keamanan rumahnya yang otomatis mati dan lampu di kediamannya nyala secara serempak, pemuda berambut ikal itu merebahkan diri di lantai berbalut keramik yang levelnya lebih tinggi dari keramik di depan pintu. Dia memandang plafon rumahnya, tangannya terjulur ke arah lampu kecil filamen 'love' yang menggantung di atasnya. Lalu cepat, pikirannya melayang.

Semua berada dalam kontrol Hesa awalnya. Sang Ketua EM super kaya itu mendengarkan dengan detail apa yang terjadi selama demo di Jakarta selama perjalanan menuju mall khusus elektronik di kota Em.

Mereka lumayan bisa berkomunikasi di sini, meski yah, ada lah satu dua hal yang membuat mereka saling lirik tajam karena berbeda opini. Namun keseluruhan, kedua orang ini bisa mengontrol emosi.

Saat memilih laptop sebagai bayaran informasi yang dia berikan, manusia yang kerap dipanggil Jay itu tak banyak berkomentar. Hesa hanya bisa ber-'heh' ria dalam hati melihat betapa pejabat tinggi di kalangan mahasiswa ini enteng sekali mengeluarkan cuan buat orang yang tak dia kenal. Dia kenal banyak sekali manusia seperti ini. Tipikal makhluk beruang, kumpulan borjuis tak berhati yang menyelesaikan masalah dengan uang. Biasanya orang-orang begini menomor satukan 'image' mereka di mata orang lain.

"Kamu biasa melakukan hal seperti ini, Wijaya?" Hesa bertanya saat mereka berjalan bersisian, membelah keramaian mall. Suaranya tidak keras, tapi dia yakin yang diajak bicara menangkap dan paham.

Betul saja, si Wijaya terkekeh. "Kalau maksud lu nyogok orang, yea, gua ahlinya," sambil mengedikkan bahu, pemuda keturunan bule itu menjawab. Dia tak malu-malu mengakui trik liciknya. "Uang gua unlimited dan belajar dari pengalaman, manusia demen banget mulutnya disumpal pake cuan."

"Heh, nyindir aku, mas?" ajukan pertanyaan bernada sarkas, Hesa menimpali.

"Lah, lu ngerasa? Gua ngomongin manusia secara umum btw," pasang muka watados sosok yang dari atas sampai ujung kaki pakai barang bermerk ini mengelak.

"No comment."

Mereka berdua tertawa di titik ini. Meski singkat-singkat percakapan mereka, tapi mereka selalu to the point. Di sini Hesa mengakui Jay sedikit berbeda lah, dia mau mengakui bagaimana dia 'bekerja'. Hanya saja, komentar tambahan Jay membuat Hesa terdiam.

"Tapi dari pengalaman juga, gua tahu nggak semua hal bisa dibeli pakai uang."

Di sini Hesa memberi pandangan tak percaya. Mimik mukanya seperti mengatakan jika Wijaya baru mengatakan hal yang tak masuk akal. Dan lawan bicara Hesa, menangkap ekspresi itu dengan sangat jelas. Dia bahkan sampai terbahak melihat reaksi tak percaya pemuda yang lebih pendek darinya itu.

"Serius, cinta yang tulus, nggak bisa dibeli pakai uang."

Hesa berdecak mengingat kejadian beberapa jam lalu. Mukanya mengeras, tangannya terkepal di udara. "Cinta tak bisa dibeli pakai uang?" Hesa bertanya dalam keheningan rumahnya. Die tersenyum miring kemudian. "Heh. Wijaya … dolanmu kurang adoh (mainmu kurang jauh)."

[]

avataravatar
Next chapter