1 #1

Untuk cinta

Untuk kamu yang pertama hadir

Untuk kamu yang pertama kali membius rasa

Untuk kamu... Seseorang yang mungkin hanya ada satu

Seseorang yang ingin sekali saja kudekap walau sesaat

Datangmu adalah kesejukan

Datangmu adalah hujan yang terus dinanti ketika gersang

Datangmu... Entahlah..

Aku tak mungkin menuangkan kata yang tak pernah ada di bumi

Mungkin kamu itu itu bidadari

Tapi tidak, kamu pastinya lebih cantik dari itu

Atau mungkin kamu pemandangan

Tapi tak ada pemandangan seindah kamu di bumi

Lalu apa?

Tapi bukan tentang itu...

Aku hanya ingin kamu

Ingin kamu mencoba membalas rasa ini

Katakan saja...

Tangan ini, mata ini, hati ini..

Tidak, semua yang ada dalam tubuh ini

Akan aku lakukan apapun demi cinta itu

Aku tak perduli soal nyawa

Bahkan jika cinta harus kutukar dengan nyawa

Apapun itu, katakanlah... Untuk kamu

Cinta

"Kriinggg!!!!" Alarm berbunyi, saking bisingnya, membuat orang yang dididekatnya tersentak kaget gelagapan.

"Dasar bocah kampret" Pekik lelaki itu seperti tengah memaki seseorang.

Ia pun mematikan jam weker itu lalu beranjak keluar dari kamar kostnya.

"Woy punya sapa nih!! Apa mau gua banting?!! " Teriaknya kemudian saat tepat berada diambang pintu kamar kostnya.

Sambil mengucek matanya, iapun mulai memulihkan kesadarannya. Ia mengingat kembali setiap orang yang tinggal di kostan itu, dan mencoba mengingat siapa yang biasa menggunakan jam weker disana.

"Punya gua dim.. " Dengan suara yang gugup ketakutan, pria berpenampilan rapih berkaca mata itu mendekatinya.

"Elu... Jaman canggih begini masih aja pake ginian" Ejeknya yang langsung mengembalikan jam weker itu kepada pemiliknya. Pria itupun sambil ragu-ragu meraih jam weker miliknya.

Setelah sedikit berbasa basi, lelaki pemarah tadi langsung kembali kedalam kamar kostnya untuk bersiap-siap memulai segala aktivitas dan rutinitas untuk hari ini.

Dia adalah dimas, seorang mahasiswa semester 4 jurusan ekonomi di salah satu universitas di kota Bandar lampung.

Seorang lelaki yang memiliki paras cukup tampan dengan perawakannya yang gagah dan tegap.

Dia dikenal sebagai anak yang mudah bergaul, itu sebabnya dia banyak memiliki kenalan meskipun tidak satu tingkatan bahkan bukan satu fakultas dengannya.

Meskipun dia bukanlah seorang yang humoris dan bahkan lebih terlihat pendiam, namun ada satu hal tersendiri yang membuat orang lain ingin berteman dengannya.

Meski begitu, dia adalah seorang pria yang loyal. Ia tak pernah memilah-milah dengan siapa dia harus berteman.

Asalkan mereka bersikap baik kepadanya, maka ia juga akan membalas dengan sikap yang baik pula.

"Ketemu juga lu, dasar kampret!!" Umpat dimas saat menemukan teman sekamarnya tengah menyantap makanannya di sebuah kantin.

"Udah untung gua bangunin" Sahutnya seperti tak menghiraukan dan terus menyantap makanannya.

"Bangunin sih bangunin, kira kira dong.. Pengen nih kuping gua.." Cerocos dimas mencoba protes kepada sahabatnya itu.

Namun justru dia hanya menatap dimas sekilas kemudian melanjutkan lagi makannya.

"Gua kemaren ketemu putri" Ucap lelaki itu.

Dimas yang mendengarnya pun mengerutkan dahinya.

"Terus kenapa?" Dimas mencoba tidak perduli dengan perkataan sahabatnya itu.

Melihat dimas yang seperti itu, iapun tak melanjutkan kata-katanya dan hanya terus menikmati sisa makanannya sampai habis.

Terlihat dimas seperti tengah merenungi sesuatu, seperti ada hal yang menyambar dirinya atau setidaknya ada daya kejut di jantungnya sehingga ia terlihat merunduk.

"Gua mau balik, abis ini gua gak ada kelas" Ucap lelaki tadi lalu berdiri kearah kasir.

Setelah membayar makanan tadi, pria itu menjadi tidak tega melihat sahabatnya yang tampak murung. Iapun kembali duduk di sebelah dimas kemudian menepuk pundaknya untuk mencoba menenangkannya.

"Gua ketemu dia bukan disini kali, jadi gak usah takut bakal ketemu dia" Ucapnya mencoba menenangkan sahabatnya itu.

"Gua masih ngerasa bersalah sama dia jun" Sahut dimas masih dalam posisi tertunduk nya.

Mendengar hal itu, juna pun akhirnya dibuat ikut memikirkan apa yang tengah dipikirkan oleh dimas.

Bagaikan kata pepatah "berat sama dipikul, ringan sama di jinjing". Antara takut salah bicara dan merasa tidak enak juga. Mau tidak mau juna ikut memikirkan solusi, setidaknya untuk mengurangi agar dimas tak terlalu mencemaskan masalah ini.

Perlu di ketahui, putri adalah seorang gadis yang pernah ada di masa lalu dimas, dimana mereka berdua pernah menjalin hubungan asmara namun akhirnya harus terpisah karena suatu alasan. Mungkin alasan itulah yang membuat dimas masih merasa bersalah terhadap gadis itu.

"Emang lu gak pernah belajar yang namanya move on tah?" Juna mencoba membujuk sahabatnya itu.

Memang benar, setelah berpisah dari putri, tak pernah terlihat jika dimas dekat dengan wanita lain selain sebatas pertemanan biasa.

Mungkin ada semacam perasaan trauma di dalam hatinya, atau mungkin ada sesuatu yang belum sempat ia selesaikan hingga iapun masih mengingatnya sampai saat ini.

"Udahlah dim, gak perlu lu sampe segitunya, hidup itu udah ada yang atur.. Lu cuma tinggal ngejalaninnya aja.. " Belum sempat juna menyelesaikan perkataannya, dimas menyela dengan datar.

"Gua tau.. Udahlah gua ada perlu" Ucap dimas memotong pembicaraan. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Meski merasa khawatir, namun juna tetap percaya bahwa sahabatnya itu tak akan mungkin melakukan hal yang macam-macam.

Junapun akhirnya ikut berlalu meninggalkan kantin dan kampusnya menuju kost tempatnya tinggal.

Sementara itu, dimas tengah mengendarai motornya namun seperti tak tahu arah tujuan, seperti ada yang tengah ia pikirkan. Mungkin seperti ada sebuah batu besar yang tengah mengganjal pikiran dan hatinya, atau bahkan lebih dari itu.

Hingga tanpa ia sadari, ia telah memarkirkan motornya di sebuah coffecoffee, sebuah tempat yang begitu familiar untuknya. Tempat diamana dia sering menghabiskan waktu saat tengah merasa bosan atau sekedar untuk menenangkan fikirannya.

Dimaspun menatap kearah bangunan coffee itu. Dengan tetap duduk diatas jok motor miliknya, dimas menatap dan memperhatikan setiap inci dari bangunan itu.

Entah apa yang tengah merasuki pikirannya saat ini, yang jelas dimas terlihat tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Dengan sedikit keraguan, iapun akhirnya turun dari motornya dan perlahan memasuki bangunan coffee itu.

Memperhatikan sekeliling dan perlahan namun pasti melangkah kearah meja dekat kaca yang menghadap kearah taman.

Dimaspun duduk disana, dan tak lama kemudian datang seorang waitress cantik yang menghampirinya.

"Mau pesen apa kak?" Ucap sang waitress menanyakan pesanan kepada dimas.

"Eh yulia.. Kamu yulia kan? Kok disini sih?" Dimas terkejut karena melihat teman sekelasnya waktu SMA ternyata bekerja di coffee langganannya.

"Yaa gini deh.. Jadi mau pesen gak nih?" Tanya waitress itu kembali.

Setelah menulis pesanan dari dimas, sang waitress pun berlalu meninggalkan dimas.

Kembali dimas merenung, duduk dan memperhatikan setiap sudut yang dapat dilihatnya. Ia seperti tengah menjelajahi sesuatu, namun hanya ia sendirilah yang tahu.

Terdengar suara seseorang yang memberi salam kepada semua pengunjung lalu meminta izin untuk menyanyikan sebuah lagu.

Mereka pun mulai menyanyikan lagunya. Sebuah lagu dengan nuansa romantis yang pastinya menghibur siapapun pendengarnya.

Sementara itu, dimas terlihat begitu menghayati lagu itu, seperti ada sesuatu yang menerpa dirinya. Hingga membuatnya kalut dan pandangannya terlihat kosong.

"Nostalgia ya..." Ucap waitress tadi yang tentunya membuat dimas terkejut dan bangun dari lamunannya.

"Ehh.. Ngagetin aja" Protes dimas akibat terkejut.

"Maaf dim.. Abis kayaknya asik banget" Sahut yulia sambil senyum cengengesan.

"Kamu nungguin siapa kok pesen minumnya dua?" Tanya yulia yang heran karena sedari tadi dimas hanya sendirian.

"Kamu mau gx nemenin aku, ada yang mau aku omongin" Pinta dimas kepadanya. Sontak yulia terkejut mendengar perkataan dimas itu.

"Aduuh.. Gimana yaa.." Yulia menjawabnya dengan ragu-ragu.

"Kamu tenang aja, menegernya temen aku kok" Ucap dimas meyakinkan yulia.

Yulia pun pasrah dan mengangguk, lalu ia pun duduk di sebelah dimas.

bersambung...

avataravatar
Next chapter