webnovel

Di Balik Seorang Pemimpin

Setelah memenuhi permintaan atasannya, gadis bertubuh kecil dengan rambut lurus yang ia ikat kuda melangkahkan kaki dengan sepatu wedges1  cokelatnya  ke ruangan kerja sang atasan.

Gadis itu bernama Seraphina Jill. Seorang sekretaris yang sangat bersemangat dalam pekerjaannya dan menjadi penasihat terbaik bagi seluruh keputusan dan kebimbangan James Andreanson, atasannya. Dengan selalu mengukir senyum di wajahnya, ia dapat membuat siapa pun nyaman untuk berbagi cerita tanpa mempertimbangkan kondisi hati gadis itu yang sebenarnya.

Gadis yang dipanggil Phina oleh atasannya pun mengetuk dan membuka pintu ruangan James. Phina langsung melangkah masuk begitu menyadari raut wajah James yang berbeda sejak tiga puluh menit dirinya keluar.

Seraphina berdiri di hadapan meja kerja atasannya. "Permisi, Pak, saya sudah melakukannya."

"Batalkan."

Seraphina melebarkan sedikit kelopak matanya. "Maksud Bapak?"

"Kita undur saja acara itu. Saya masih ada urusan," tegas James lesu, lalu kembali merebahkan kepala belakangnya di senderan kursi. Berbagai pertanyaan terkait sikap bosnya saat ini berputar-putar di kepala Seraphina. Ia sangat ingin menanyakannya seperti bisa, tetapi tindakan James kali ini membuatnya ragu.

Seraphina melebarkan senyumnya, ia mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Pak..."

"Phina, kamu urus laporan-laporan yang lain dulu. Nanti saya akan panggil kamu jika saya butuh," sela James tanpa menatapnya, tidak seperti biasanya.

Seraphina sedikit terkejut atas respons James yang sangat berbeda dari biasanya. Tanpa sadar, ini membuat jantungnya berdegup kencang dan mengalirkan sedikit rasa sesak untuk pertama kalinya. Seraphina langsung menghela napas pelan untuk mengusir rasa sesak tersebut jauh-jauh. Untuk apa ia merasa sesak karena hal sepele ini saja?

Gadis itu langsung menyunggingkan senyum termanisnya lagi dan pamit untuk keluar dari ruangan. 

"Phina," panggil James pelan yang membuat Seraphina berhenti melangkah. Ia memutar badannya dan menghampiri bosnya lagi.

"Apa yang bisa saya bantu Pak?"

"Sebentar saja, kamu duduk di sofa situ." James mengarahkan jari telunjuknya ke arah sofa yang berada di pinggir ruangan, sejajar dengan meja kerjanya.

Seraphina pun memutuskan untuk kembali mengumpulkan keberaniannya bertanya pada James. Ia menuruti James, sambil memperhatikan raut wajahnya yang sudah sedikit membaik.

"Ada yang mungkin bisa saya bantu jika Bapak bercerita pada saya?" tanya Seraphina memecahkan keheningan ruangan yang bersuhu 18 derajat Celcius itu.

"Mengapa Bapak tiba-tiba saja memutuskan seperti itu? Untungnya saya belum menghubungi hotel untuk reservasi karena menunggu konfirmasi dari Bapak," tambah Phina sambil memandang James.

James menoleh ke arahnya dan memasang senyum. Ia sebenarnya sangat ingin memberitahu sekretarisnya atas apa yang sedang ia hadapi ini, tetapi ini adalah kasus yang pribadi dan sungguh merepotkan jika Seraphina harus kembali memikirkan hal yang bukan masalahnya.

"Daripada Bapak menyimpannya sendiri, lebih baik diceritakan, Pak. Takutnya ini akan mengganggu pikiran Bapak untuk rapat sore nanti," ucap Phina lagi, meyakinkan atasannya untuk bercerita.

James pun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Seraphina. Seperti biasa, mereka memang lebih suka untuk berbincang sambil memandang mata satu sama lain dari jarak dekat. Tidak terlalu dekat juga.

"Ya, ada apa, Pak?" Seraphina melebarkan senyumnya agar James nyaman bercerita seperti biasa. 

"Saya sebenarnya hanya ingin bertanya pendapat kamu."

"Iya, Pak."

James mengalihkan pandangannya sebentar. Seraphina menyadari bahwa kali ini James tidak menceritakan apa yang ia rasakan sebenarnya. Tentu saja sekretarisnya itu sangat menghormati apa pun keputusan bosnya dan akan menyimpan semua ini dalam hatinya.

Sejak satu tahun lalu, James terbuka akan semua masalah kantor terhadap sekretarisnya. Mulai dari masalah keuangan, operasional, dan pribadi yang mengganggu kinerjanya. Seraphina selalu membuka telinga dan memasang kedua matanya untuk mengetahui apa yang bosnya rasakan dan solusi untuk mengatasinya. Seluruh permasalahan perusahaan pun dapat terselesaikan dengan baik.

Inilah yang mendorong Seraphina mendesak James untuk mencurahkan isi hatinya. Seraphina sudah mengenal bosnya itu: jika ada hal yang mengacaukan pikiran James, artinya pekerjaan tidak akan selesai dengan semestinya.

"Jika kamu disuruh memilih di antara dua hal yang paling bagus untukmu, apa yang akan kau pilih?"

Seraphina langsung menjawab, "Tergantung. Kalau berdasarkan bisnis, tentu harus dilihat SWOTnya dan disesuaikan dengan keadaan kita saat ini. Namun, untuk permasalahan hidup, kalau bisa dua-duanya kenapa harus satu?"

"Astaga, Phina. Maksud saya, jika kamu harus benar-benar memilih di antaranya," sahut James sebal.

"Ya, tergantung situasi, Pak. Misalnya, Bapak suruh saya untuk memilih mau makan Burger atau Pizza saat saya kenyang, ya saya tidak akan memilihnya."

James mendengus pelan, diiringi dengan tawa kecil Phina. Lama-kelamaan, James juga terpancing mengeluarkan tawanya.

"Sebaiknya diceritakan masalahnya seperti kemarin, lalu kita dapat solusinya. Lebih enak begitu kan, Pak?" bujuk Phina.

James yang masih tertawa itu pun menjawab, "Oke, oke. Baik, saya cerita." James berusaha menghentikan tawanya dan menatap manik kecil Phina lekat-lekat agar gadis itu tidak lagi mencurigai kebohongannya.

Seraphina menunggu James membuka mulutnya sambil menaikkan sebelah alisnya. James menghela napas, menyiapkan diri untuk bercerita. Hal tersebut menyadarkan Seraphina bahwa bosnya akan kembali berkelit. 

"Jika dua orang yang harusnya berpisah kembali dipertemukan oleh sebuah kesempatan, apa artinya?" tanya James yakin. Manik James yang terasa hangat bagi Seraphina seketika berubah menjadi penuh kebimbangan.

Tanpa sadar, James mengungkapkan pertanyaan yang berkelut di kepalanya. Ia tidak bisa mengelak tatapan Seraphina yang meminta mulutnya untuk menyampaikan sejujurnya.

Seraphina mulai merasa gugup. Pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh si waktu harus dijawabnya sekarang. Gadis itu mencoba membuka mulutnya untuk melafalkan kata demi kata dengan yakin. "Menurut saya, yang pertama, artinya mungkin waktu mencoba menyuruh Bapak untuk menyelesaikan sesuatu dengan orang tersebut. Yang kedua, artinya, mungkin inilah jawaban atas pertanyaan yang pernah Bapak lontarkan melalui doa-doa atau gumaman saat mandi, mungkin."

James terbahak tiba-tiba mendengar guyonan sekretarisnya ini.

Phina pun menambahkan lagi, "Saya tidak bisa menjawab dengan pasti karena jawaban sebenarnya akan Bapak dapatkan setelah berangsurnya waktu. Yang penting saat ini adalah Bapak coba telusuri bagian hati Bapak yang terdalam, apa yang Bapak inginkan. Lakukan atau mundur. Berlari atau diam. Semua ada dalam kemudi Bapak karena ini hidup Bapak." Gadis itu mengembangkan senyum di akhir perkataannya.

James bergeming, mencoba mencerna ucapan sekretarisnya sambil mengaplikasikannya. Ia membuat sebuah pertanyaan dalam pikirannya. Apakah ia harus melanggar janji itu?

"Bagaimana, Pak, apakah ada sanggahan? Bapak boleh menyanggah karena ini bukan sesi wawancara seperti awal Bapak mewawancara saya," ujar Phina mencairkan suasana.

James tergelak tawa lagi, lalu menggeleng. "Ucapan Seraphina Riana sudah cukup memotivasi diri saya. Terima kasih banyak."

Seraphina tertawa malu karena sebutan "Riana" di akhir namanya. Seperti Merry Riana, perempuan motivator terkenal di Indonesia. James terbahak makin kencang dan terus menerus, membuat semburat merah di kedua pipi kurus Seraphina muncul.

"Jika Bapak senang, saya juga turut merasakan hal yang sama karena artinya ada tambahan gaji," goda Phina yang dibalas pudarnya kekehan James. Karena itu, Seraphina langsung terdiam dan membungkukkan badannya lesu, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah lain.

James langsung berdiri, kemudian kembali ke kursi empuk kebesarannya dengan Seraphina yang kembali memperhatikannya. Pria yang sudah berhasil mencari cara untuk mengusir kegundahannya pun menoleh pada sekretarisnya.

James melebarkan senyumnya. "Jangan langsung diam begitu, dong. Baiklah, saya akan memberikan tambahan gaji kalau kamu bisa memberikan saya satu jawaban lagi." 

Tantangan dari atasannya membuat Seraphina kembali duduk tegap dan memasang senyumnya. "Apa, Pak?"

"Berikan saya saran, bagaimana caranya untuk tidak canggung dengan teman lama yang sudah lama tidak bertemu?"

Seraphina terkesiap. Ia membesarkan matanya sedikit, menyadarkan James bahwa pertanyaan kali ini sulit. Direktur utama Alphaeu Corporation itu kembali tergelak tawa melihat sekretarisnya mengedarkan pandangannya mencari jawaban untuk pertanyaannya.

Sekretarisnya langsung menatapnya. "Berapa kali kesempatan, Pak?"

James meletakkan ibu jari dan telunjuknya di bawah dagu sambil memainkannya, lalu berdeham agak lama. "Berapa kali, ya?"

"Dua kali!"

"Terlalu banyak."

"Tiga kali!"

"Sangat terlalu amat banyak. Satu kali aja, ya?"

Seraphina mendengus pelan, tetapi James masih bisa mendengarnya. "Kenapa Bapak nanya kalau begitu. Ya sudah. Beri saya waktu lima belas menit."

James menggeleng dan memberi raut wajah serius. "Terlalu lama."

"Itu tidak lama, Pak." Seraphina berbicara ngotot.

"Namun lima belas menit sangat lama bagi saya. Kamu tahu kita harus menyiapkan bahan rapat nanti sore, kan?"

Seraphina memutar bola matanya malas. Ia menyerah dengan atasannya yang sekarang sedikit menyunggingkan senyum licik. Sebenarnya, Seraphina tidak mempermasalahkan kesulitan dari pertanyaan tersebut, melainkan mencari jawaban yang tepat untuk atasannya. 

Atasannya yang seperti kanebo kering. Super kaku. Walaupun ia murah senyum dan tangan.

Jadi, sebagus apa pun jawaban yang diberikan Seraphina, belum tentu mempan untuk seorang kaku seperti James.

James sengaja melontarkan pertanyaan itu padanya karena tahu Seraphina akan melahap waktu lama untuk menjawabnya. Tentunya, memastikan bahwa uangnya tidak benar-benar diperas sekretarisnya hari ini.

Setelah tiga menit kedua insan itu tenggelam dalam hening, James membuka mulutnya, "Waktu habis."

Kedua kaki yang dibalut wedges cokelat itu langsung menopang badannya untuk berdiri tegap, kemudian mengentakkan kakinya sambil berjalan mendekati atasannya. James mengernyitkan dahinya, lalu terbahak.

"Jadi apa jawabannya?"

Seraphina menghela napas, lalu mengerucutkan bibirnya sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. "Satu menit lagi, Pak."

"Tidak ada kompensasi, Phina."

Seraphina pun berjalan mundur untuk kembali duduk, menjaga jarak dari atasannya. Seraphina kembali serius dan menyiapkan ancang-ancang untuk mempersembahkan jawaban terbaik.

"Sebelum Bapak bertemu dengan dirinya, pastikan kalau Bapak sudah mengingat masa lalu dengannya, bagaimana dirinya saat itu,  apa kesukaannya, dan apa yang terjadi dengan Bapak dan dirinya."

James bergeming mendengar jawaban sekretarisnya. Pikirannya langsung melayang pada kejadian itu. Berbagai macam rasa bercampur aduk, membuat dadanya terasa sesak. Suara Seraphina terdengar samar-samar. Seketika, tubuhnya mati rasa dan hanya terngiang satu pertanyaan ini sejak tadi.

Apakah James sanggup melakukannya?

***

"Kalau sudah mengingat hal itu, Bapak pasti akan mengetahui perbedaan darinya dan tentunya akan menimbulkan rasa penasaran dalam diri Bapak akan keadaan dia, bisa jadi topik untuk pembicaraan supaya tidak canggung," penggalan ucapan Phina yang tidak tersampaikan ke telinga James.

Halo semuanya!

Terima kasih atas dukungan teman-teman untuk cerita ini. Bagaimana chapter ini? Apakah kalian bisa melihat kelucuan Phina dan James?

Pastinya, dong!

Jangan lupa comment, PSnya, dan simpan ke collections kalian ya!

bwetrizexcreators' thoughts