1 Bukan CEO Impian

Sepatu pantofel cokelat merk Crocodile membawa seorang pria bidang dan lumayan kekar yang memiliki tinggi 180 cm ke ruangan kerjanya yang berada di lantai tiga gedung berlantai lima belas itu. Langkah santai dengan kepala yang sedikit mendongak ke atas, hendak menunjukkan keangkuhannya menimbulkan kontroversi di balik wajah para karyawan yang memandangnya dari kejauhan. Tidak ada yang ikut berjalan di sampingnya atau menyapanya. Pria berwajah oriental dengan mata mono eyelid yang memiliki sorot mata tajam bak harimau mengejar mangsanya mampu menghipnotis orang di sekitarnya.

Bukan karena ketampanannya, melainkan rasa takut yang menyelinap dan membuat mereka tersenyum manis walau sangat ogah untuk melakukannya.

Ya, itulah William Nathaniell, CEO Corelaux Corporation, sebuah perusahaan manufaktur perabotan rumah tangga yang sudah terkenal di Asia Tenggara selama sepuluh tahun belakangan. Memiliki banyak investor dan telah bekerja sama dengan banyak perusahaan terkenal nasional mau pun Internasional. Seluruh karyawan di sana sangat patuh dan jarang dipecat, kecuali jika ia berkhianat atau pensiun. Perusahaan yang dibangun selama sepuluh tahun dengan kasih sayang dan penuh strategi, serta perjuangan untuk bangkit dari jatuh yang menyakitkan.

Sayangnya, masa kejayaan itu hampir lenyap ketika sang pendiri, Darriel Nathaniell yaitu ayah William, memutuskan untuk mengangkat William Nathaniell menjadi CEO perusahaan ini. Masa itu hanya berlangsung sementara karena ternyata kinerja William Nathaniell melejit dan membuat para investor, klien, bahkan karyawan melongo lebar-lebar.

Selama titel CEO dipasangkan pada William, ia tidak pernah menunjukkan sedikit pun sikap ramah seperti yang ayahnya tebarkan pada seluruh penghuni kantor. Setiap senyum atau sapaan yang dilayangkan padanya tidak ia hiraukan. Oleh karena itulah, para karyawan memberikan ekspresi sinis, malas, bahkan memutar bola matanya, atau mendecakkan lidah ketika William melewatinya, sebelum mereka melayangkan senyum manis ketika William menoleh.

Suara bisik-bisik serta decakan lidah dari kejauhan mewarnai gendang telinga William.

"Ya ampun, udah jadi direktur utama kok datangnya jam segini?"

"Hadoh, lihat wajahnya pagi-pagi bikin males kerja gak,  sih?"

"Ya udahlah. Toh dia anaknya Pak Darriel dan bisa kerja kok, udah, yuk balik kerja aja."

"Bikin gak semenggah kerjanya, asli."

Untuk menanggapinya, direktur utama Corelaux tersebut hanya berdeham keras dan memandang sekelilingnya dengan sorot matanya yang tajam. Para karyawan yang menyadarinya langsung meneguk ludah mereka dan tersenyum kikuk.

"Selamat pagi, Pak," sapa para karyawan perempuan yang berada di samping kiri dan kanan dari kejauhan.

William menghela napas, lalu mempercepat langkah serampangannya menuju lift yang berada di ujung ruang lantai bawah.

Perlu diketahui bahwa Ia bukanlah CEO yang hobi memecat atau memarahi karyawan. Justru sebaliknya, William adalah CEO yang tidak memedulikan apa pendapat mereka. Sedikitpun. Namun, jika salah satu dari mereka memiliki masalah dengannya, ia tidak akan segan mengeluarkan kata pemecatan dari mulutnya, bahkan membuat seseorang itu menyesal telah membuat masalah dengannya. Tentunya, masalah pekerjaan yang dicampuradukkan dengan hinaan karyawan tersebut untuknya.

"Saya pecat kamu," ucap William dingin sambil memandang salah satu karyawan wanita yang menunduk bahkan badannya bergetar hebat.

"Pak, saya menyesal karena tidak bekerja dengan baik. Maafkan saya, Pak."

Tangan kanannya langsung menepuk meja dengan keras dan wajahnya dicondongkan mendekati wajah wanita itu. 

"Pergi!"

Badan wanita itu seperti disetrum tenaga listrik bertegangan tinggi. Makin bergetar hebat. Namun, ia tidak juga beranjak dari hadapan William.

"Saya sudah peringatkan berkali-kali bahwa proyek ini penting! Mengapa kamu tidak mengerti, hah?!  Mengapa laporan seperti ini yang bisa Anda berikan padahal mulut Anda paling bacot di antara seluruh karyawan?!"

"Saya tidak bermaksud seperti itu Pa--"

"Tidak ada penjelasan karena saya tidak terima mulut busuk seperti Anda. Keluar."

"Tapi, Pak--"

"Keluar!" teriak William dengan kasar dan kencang di hadapan wanita yang air matanya sudah mengalir deras. Beberapa pria berseragam putih dengan celana biru donker yang bertugas menjaga keamanan mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan untuk membawa wanita tersebut keluar dari ruangan secara paksa. 

Pria berumur setengah abad itu langsung menghela napas lega dan melemparkan tubuhnya ke atas kursi empuk itu. Memijit kedua ujung manik tipis itu perlahan. Merebahkan kepalanya pada senderan kursi yang juga empuk itu sambil menutup matanya.

Seluruh anggota tubuhnya terasa begitu lemas. Ya, ia lelah dengan seluruh pekerjaan ini. Memeriksa laporan, mengatur rapat dengan klien besar, memikirkan langkah terbaik yang bisa diambil setelahnya, ditambah dengan karyawan yang membuat laporan saja tidak teliti. Bahkan, sekretaris demi sekretaris yang bekerja dengannya mengajukan surat pengunduran diri tepat setelah satu bulan bekerja karena atasannya selalu datang tidak tepat waktu ke kantor, bahkan saat mengadakan rapat.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa bekerja dengan orang seperti Anda.  Saya tidak tahan dengan semua cacian Bapak terkait kinerja saya, padahal Bapak pun tidak menunjukkan kedisiplinan sebagai pimpinan teratas perusahaan ini!" geram wanita itu sambil meletakkan amplop putih panjang dengan kasar di atas meja William.

"Saya mengundurkan diri dari pekerjaan ini. Terima kasih atas bimbingannya, Pak," ucap mantan sekretaris selanjutnya tanpa memberikan penjelasan dan langsung berjalan keluar ruangan begitu saja.

Bahkan, ada yang tidak bekerja selama hampir dua bulan tanpa memberikan kabar. Membuat kepala William terlepas dan melayang karena beban pekerjaan yang berputar-putar di dalamnya. 

Pria kasar itu menyerah dan memutuskan melepas gengsinya demi menelepon gadis sialan itu.

"Halo. Saya William. Kamu ke mana aja? Kenapa tidak masuk?" ucap William ke gadis di seberang sana dengan menahan amarahnya.

"Oh, Pak William. Halo, Pak. Maaf sebelumnya, tetapi saya sudah tidak bisa bekerja lagi di tempat Bapak karena saya sudah diterima bekerja di tempat lain. Terima kasih, Pak." 

Plup!  Telepon langsung diputuskan dari seberang sana. Rahang tajam William mengeras seketika seiring dengan tangannya yang hendak meremas ponsel itu hingga hancur. 

"Kurang ajar!" umpatnya dengan berteriak gusar.

Sejak kejadian yang berlangsung beberapa bulan lalu itu, William memutuskan untuk tidak lagi merekrut sekretaris dengan berat hati. Ia tidak mau menyianyiakan waktunya dan memberikan harapan pada wanita-wanita sembarangan itu. 

Baginya, memang tidak ada wanita yang benar. Bahkan, seorang ibu...

Dengusan napas keluar dengan keras seketika ia mendengar sapaan "ibu" di kepalanya. William memiringkan sudut bibirnya sambil mengeluarkan hembusan yang meniup anak-anak rambut di dahinya. Berharap hembusan napasnya dapat menghapus seluruh hal menyakitkan dalam kepalanya.

Setelah beberapa menit menunggu agar seluruh rasa itu menghilang, ternyata penantiannya menghasilkan angka nol. William meraung dengan keras sambil mengacak rambut undercut  hitam  tebalnya frustasi. Pria bermata harimau itu pun menyerah dan menghentikan tindakannya.

Termasuk menghentikan pekerjaannya.

•*•*•*•

Langkah gusarnya di lorong lantai dasar kantor Corelaux membuat para karyawan meringis dan saling berbisik membicarakan keadaan atasannya tersebut. 

"Pak!"

Pria oriental itu menghentikan langkahnya di seberang meja resepsionis. Kepalanya menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Seorang wanita yang bertingkah kikuk di belakang meja panjang kayu tersebut mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.

"Ada apa Anda memanggil saya?" tanya CEO Corelaux lantang dari kejauhan.

"Mohon maaf sebelumnya, Pak, tetapi lima belas menit lagi, Bapak akan kedatangan klien yang sudah diundur bebe--"

"Serahkan pada Pak Troy, direktur kedua. Ia akan menggantikan saya."

"Tapi, klien tersebut sangat ingin bertemu Bapak. Jika tidak, mereka tidak ingin--"

"Tinggal undur rapatnya dan bilang bahwa saya tidak ada di kantor. Masa begitu saja tidak bisa?!" ucap pria itu dengan ketus diiringi mata tajam yang dapat membisukan bibir wanita pegawai resepsionis itu. Bahkan semua karyawan yang melihat kejadian itu.

William dengan santainya mendengus kesal dan kembali melangkah keluar kantor lewat pintu kaca otomatis utama. 

Jika ia benar-benar berkata demikian, maka itulah yang terjadi. Meninggalkan pekerjaannya tanpa syarat. Menyerahkan seluruh pekerjaannya pada penanggung jawab lain. Tanpa rasa bersalah.

Sikap atasannya ini menimbulkan beribu pertanyaan dan spekulasi di kepala setiap karyawannya. Begitu banyak misteri yang tersimpan dalam seorang William yang tidak dapat dipecahkan siapa pun. 

•*•*•*•*•

"Kira-kira, siapa yang bisa kasih julukan untuk CEO kita?" tanya seorang wanita dengan lantang sambil berkutat dengan komputernya kepada seluruh akuntan yang berada di ruangan kerja berisi lima puluh orang tersebut.

"Penting banget gak,  sih?"

"Balik kerja, yok, ah, revisi gue masih banyak."

"Ngapain ngurusin atasan gak bertanggung jawab  kayak  dia, sih?"

"Ganteng ganteng kok Serigala?"

"CEO kok EO1  ?"

"Astaga, bener tuh! Ganteng-ganteng kok serigala?"

"Hahaha! Ganteng-ganteng kok seringilang?!"

"Hahaha! Hahaha!"

"Hahahahaha!"

Karyawan yang tadinya tidak ingin ikut menimbrung langsung tertawa dan membalas ucapan rekan kerjanya sambil mengurus rentetan angka di layar komputer atau laptopnya. Suasana ruangan pun menjadi riuh seketika. 

avataravatar
Next chapter