2 2. Hallo Michael

"5 jahitan dan kaki terkilir. Setidaknya lukanya tidak infeksi." Dokter dari klinik itu bicara sambil menyesap kopi kaleng, setelah membereskan segala peralatan kedokterannya. Terutama benang jahit dan sebuah jarum kecil tipis melengkung yang membuatku ngilu.

Aku tidak heran dengan sikap dan penampilan dokter bertato ini, terutama di daerah seperti ini. Daerah pinggiran yang jumlah kriminalitasnya cukup tinggi. Mataku berkeliling menyusuri ruangan klinik yang bisa aku katakan cukup rapih dan bersih, untuk ruangan seorang dokter yang merokok. Pandanganku terhenti pada sebuah bungkus rokok berwarna merah putih dan sebuah pemantik api diatasnya.

Mataku bertemu dengan sang dokter ketika ia meraih bungkus rokoknya, ia tersenyum padaku lalu kembali menoleh pada pemuda pirang di sampingku, "Bagaimana kau bisa mendapatkan luka seperti ini Mika?" dokter itu bicara lagi, menyalakan puntung rokoknya lalu menyesapnya dengan nikmat.

Mika?! rupanya dokter bertato ini mengenal si pemuda pirang?

"Aku melompat dari atas rumah paman Sam. saat sedang mengecat atapnya," pandanganku langsung beralih pada pemuda pirang yang sedang cengengesan saat ini.

"Dasar! pembayarannya di depan ya dan jangan lupa tebus obatnya. Ada pereda nyeri dan antibiotik," Lanjut dokter itu lagi, "Satu lagi mika. jangan melompat dari atap lagi!"

"baik, terimakasih banyak, akan aku ingat!" Pemuda pirang bangkit setelah mengucapkan terimakasih, jalannya sudah tidak pincang lagi, dokter tadi telah membenarkan letak tulang yang terkilir. Saat ritual pembenaran letak tulang itu, aku bisa melihat hal bagus. Pemuda gagah juga bisa menjerit dan menangis.

Aku menyusul pergi dan mendahului pemuda pirang itu menuju loket obat, membayar dengan uang yang aku sembunyikan di dalam kantong rahasia jaketku. Pemuda pirang tadi menatapku sembari duduk menunggu. Jujur saja aku tak nyaman, dia seakan sedang menelisik dan mempelajari diriku sejak tadi.

"Terimakasih banyak telah merawatku." Katanya sambil tersenyum saat aku mendekat dan menyerahkan bungkusan plastik berisi obat-obatan, mengangguk untuk menjawab lalu duduk di sisinya.

"Pastikan perbannya diganti setiap hari ya." Aku melirik pada kakinya. Memang tak terlihat karena tertutup celana jeans yang sudah tak jelas lagi warnanya. Tapi aku bersyukur dia sudah tak pincang lagi. Setidaknya ia bisa melakukan aktivitas seperti biasa, setidaknya ia terhindar dari tetanus, lalu setidaknya rasa bersalahku bisa teratasi.

"Oiya! Namaku Michael." Dia tak menggubris omonganku tadi. Lanjut memperkenalkan diri. oh! itu sebabnya dokter tadi memanggilnya Mika? apakah Mika adalah nama kecilnya?

Aku mengulurkan tangan, meski ia tak melakukannya. Sudah menjadi kebiasaanku dan orang-orang di lingkunganku untuk menjabat tangan saat memperkenalkan diri.

"Aku Maria." Dia menyadari uluran tanganku, tapi dengan ragu menyambutnya. Wajah senyumnya berubah kikuk. Seakan ada yang tak benar dengan apa yang aku lakukan padanya.

"Jadi Maria, apa yang kau lakukan di tempat tadi? Pelajar hampir tak pernah kesana. lingkungan rumah paman Sam memang rawan. ada kelompok bersenjata juga kalau tidak salah." ia memegangi dagu, terlihat berpikir dan memastikan apa yang baru saja ia katakan.

Oh Tuhan, kelompok bersenjata katanya tadi. maksudnya mafia?!

"Aku tersesat," agak malu mengakuinya, tapi memang aku tersesat.

"Oh.. jadi sebenarnya kau mau kemana?" ia jadi terlihat makin penasaran.

"Sebenarnya, aku ingin mencari toko buku di sekitaran daerah itu atas rekomendasi temanku. Karena saat aku mencari buku itu di toko buku dan perpustakaan kota, tidak bisa aku temukan."

"Tugas sekolah ya?"

"Benar.. guruku meminta kami mencari sebuah buku sebagai bahan referensi. Sayangnya, yang ia tugaskan untukku adalah buku yang cukup sulit dicari di internet."

"Aku akan mengantarmu," Michael bangkit lalu melirik padaku sambil tersenyum, "bisa berbahaya jika kau bertemu mereka lagi tanpa pengawalan.." ia terlihat berpikir sejenak lalu kembali melirik padaku.

Apa yang dikatakannya memang benar. Aku bahkan tak berani keluar dari klinik ini sendirian. Mungkin saja preman-preman tadi sudah sadar dan jadi dendam padaku, lalu mencariku untuk membalaskan dendam. Membayangkannya saja aku sudah bergidik.

"Terimakasih banyak, Michael."

"Sebelum itu, bisakah kita mampir ke tempat kerjaku. Aku akan membawa motorku, agar kita bisa berkeliling mencarinya."

"Motor?!" Ya Tuhan .. aku tak pernah naik benda itu sebelumnya.

***

Aku melongo saat kami harus berdiri di depan sebuah bar. Tempat yang selama ini hanya bisa aku lihat di televisi.

Karena saat ini sudah sore, lampu listnya telah menyala. Ada beberapa wanita dengan pakaian super ketat dan terbuka yang mondar-mandir di dalamnya. Beberapa dari mereka melirikku dengan tatapan tajam. Apa karena aku bersama dengan Michael? mungkin saja Michael adalah pangerannya di sini?

Lalu kenapa Michael bekerja di bar? Sebagai apa? Apa dia orang yang suka minum-minuman keras? Pertanyaan-pertanyaan tidak sopan muncul di kepalaku. Yang tentu saja tak akan pernah aku tanyakan padanya.

"Ayo Maria, naik!" Michael menoleh padaku yang masih ragu berdiri di samping motornya. Sedangkan ia sendiri sudah siap dan menyalakan mesinnya. Masalahnya aku tak tahu cara naik ke atas benda ini dan kenapa juga tempat duduk penumpangnya tinggi sekali?!

"Tidak usah takut, aku sudah punya SIM dan terbiasa mengendarai dengan aman." Katanya lagi setengah merayu.

"Bukan itu.. sejujurnya, aku tidak pernah naik motor sebelumnya jadi aku tak tahu bagaimana cara naik ini."

Setelah mendengar pengakuanku, Michael menyembur dan tertawa keras sekali. Rasanya kesal mendengar tawanya tapi saat melihat wajahnya yang sedikit memerah ada perasaan aneh yang aku rasakan.

"Yang benar saja, kau tak pernah naik motor?" Ia menyeka air matanya akibat tertawa.

"Ya!" Rasa sebal yang tadi lenyap kini kembali.

"Baiklah kalau begitu." Ia turun dari motornya, menurunkan standar ganda pada motornya agar motor berdiri dengan stabil. "Sini tanganmu." Ia meraih tanganku, lalu menunjuk sebuah besi yang ia sebut footstep di dekat rantai. "Naik dengan memijak ini." Katanya lagi.

Aku menurutinya, masih memegang erat tangannya yang terasa kasar. Memang agak canggung karena aku menggunakan rok sekolah. "Tutupi dengan ini," ia menyerahkan jaketnya yang beberapa saat lalu aku kembalikan.

"Untuk apa?" Sungguh, aku jadi kikuk dan lambat dalam berpikir saat berhadapan dengannya.

"Untuk ini," Michael melintangkan jaket di bagian belakangku lalu mengikat lengan jaketnya di sekitar pinggangku. "anginnya akan sedikit kencang nanti." Ia tersenyum manis padaku sebelum menaiki motornya kembali, membelakangiku dan mulai menyalakan mesinnya.

Lalu aku harus berpegangan pada apa?

Sebelum pertanyaan itu aku lontarkan, Michael menarik kedua tanganku dan melingkarkan pada perutnya.

"Nanti jatuh!" Katanya samar.

Degup jantungku seketika berpacu, bukankah ini sama saja dengan aku memeluknya dari belakang? Aku harap dia tak merasakan jantungku yang berdenyut-denyut bagai ingin meledak.

***

avataravatar
Next chapter