1 1. Pertemuan

"Dengar ya Maria, seorang kriminal adalah mereka yang melakukan kejahatan dan menikmatinya. Sedangkan pelaku hanyalah seseorang yang terpaksa karena keadaan. Tapi mereka sama sama harus dihukum atas tindakan mereka."

"Kalau kita bertemu kriminal, apa yang harus kita lakukan pa?"

Pertanyaanku saat usiaku 8 tahun.. tiba tiba terngiang di kepalaku saat ini.

Seharusnya aku mendengarkan dengan baik jawaban ayahku saat itu, tapi aku tak bisa mengingatnya sekarang.

Kenapa aku harus mengingat jawaban itu sekarang?

Karena aku sedang berhadapan dengan sekumpulan kriminal.

***

"Lihat, bukankah itu seragam sekolah swasta yang terkenal elit itu?" Salah satu preman yang menghadangku bicara sambil menyibak jaket yang aku gunakan. Tentu saja aku menepis tangannya dan menjauh.

Aku terjebak diantara para preman ini. Saat seharusnya aku berada di sebuah toko buku yang aku cari.

"Wah wah! Nona muda satu ini sedang apa di daerah kumuh begini?!" Pemuda dengan kupluk hitam, meraih pundakku dari belakang. membuatku bergidik takut, pergerakanku jadi terbatas, aku tak bisa lari. Dan aku tak bisa melawan. Bagaimana mungkin aku melawan 5 preman sekaligus? Sedangkan ilmu beladiri saja aku tak pernah mempelajarinya.

"Apa yang kalian inginkan?!" Ayahku bilang aku harus terlihat berani. Meski sebenarnya aku takut setengah mati. Tubuh preman-preman ini tinggi dan besar.. aku merasa begitu kerdil dihadapan mereka.

"whoah! Nona muda ini punya suara yang manis!" Mereka tertawa. Sungguh, tak ada yang lucu!

"Pertanyaan bagus. Kami ingin uang jajanmu, ponselmu, semua benda berharga yang ada di dalam ranselmu." Pemuda berkulit gelap berdiri dihadapanku, dan menarik pergelangan tanganku. Aku menebak dia adalah pimpinannya.

"Aku tak punya banyak uang!" Masih berusaha terlihat berani, aku menjawab lantang.

Mereka merebut tasku, mengacak-acak isinya, lalu melemparkannya ke sisi gang.

"Hanya ini yang kau punya?!" Pemuda dengan kupluk menunjukan barang-barang berhargaku, dengan wajah mengejek.

"Kan aku sudah bilang!!" Pekikku, "biarkan aku pergi!"

"Hanya segitu yang kami dapat, kalau begitu biarkan kami bersenang-senang denganmu sebagai gantinya!"

Setelah mengatakan hal itu, mereka menarikku ke sebuah gang. Aku panik dan meronta-ronta, berteriak sekuat yang aku bisa. Namun sekuat apa pun aku mencoba lari, tenaga 5 pemuda besar itu dengan mudah menarikku, melemparku ke atas permukaan aspal yang basah dan gelap.

Rasa sakit, takut hingga gemetar membuatku tak kuasa bangkit. Aku hanya bisa meneriaki mereka untuk mundur.

Mereka tersenyum sambil terus mendekat.

Ah.. Habis sudah.

Salah satu dari mereka mencengkeram tanganku, menariknya kebelakang, dua lagi memegangi masing-masing kakiku. Aku menjejak sekuat tenaga, meronta, berusaha agar mereka tak menyentuhku lebih intens lagi.

Lalu si pemimpin itu menindih perutku, dan mulai membuka satu persatu kancing seragamku.

"LEPASKAN AKUU!! LEPASKAAAAN!!" aku berteriak sampai tenggorokanku terasa perih.

Menjijikan! Takut!!

BRAK!

Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke belakang, tepat saat suara mengagetkan itu terdengar. Aku bisa Melihat salah satu teman mereka sudah tergeletak bersisian dengan sebuah kaleng cat yang berceceran isinya.

Si pemimpin preman bangkit dan mendekat, saat itulah sosok seseorang yang besar jatuh dari atas dan menerjang tubuh kekar preman itu. Dari ketinggian yang aku perkiraan kurang dari 3 meter.

Sosok yang jatuh itu bangkit dan menyibakkan rambut pirangnya. Para preman yang tadi menyekap tubuhku berlari bersamaan menyerang sosok itu. Aku bangkit dan mundur menjauh, mencengkram kuat-kuat pakaianku.

Perkelahian terjadi, begitu cepat. Sosok berambut pirang itu dengan mudah menghindari setiap serangan dari 3 preman yang terlihat terbiasa berkelahi. Tendangan telak mengenai salah satu dari preman dan membuatnya terpental membentur dinding gang.

Dua lainnya makin getol melayangkan tinju pada si pirang. Tak ada satu pun yang mengenainya, ia berhasil menangkap kepalan tinju salah satunya dan menyerang wajah si preman dengan siku. Hanya selang 5 detik tendangan susulan tepat mengenai dagu preman yang satu lagi.

Mereka semua tumbang dalam perkelahian yang aku perkirakan tak sampai 15 menit.

Sosok berambut pirang itu kembali menyibakkan rambut gondrong sebahunya lalu berbalik melihatku. Mata hijau saphire yang berkilauan bagai menyala dalam gelapnya gang ini. Menatapku.

Sepersekian detik aku seakan terhisap ke dalam mata itu. Tak bisa berkedip, hanya bisa merasakan degup jantungku yang terdengar sangat keras. Entah kenapa.. bagiku saat ini, sosoknya serupa dengan lukisan malaikat yang sering aku lihat di dinding Gereja.

Rambut pirang keputihan yang bergelombang, mata hijaunya yang menenangkan, kulit putih pucat yang terkesan membeku..

Malaikat yang datang untuk menolong gadis payah ini.

"kau tak apa-apa?" Pemuda berambut pirang itu mendekat, melepaskan jaketnya dan menutupi tubuhku. Lamunanku buyar seketika, tubuhku yang lemas sudah kembali bertenaga. Aku buru-buru mengancingkan kembali bajuku yang sudah terbuka tadi, Membenarkannya dan bangkit.

"Terimakasih banyak, sungguh Terimakasih!" Hanya itu yang bisa aku ucapkan padanya. Tenggorokanku masih terasa perih untuk bicara. Padahal banyak sekali yang ingin aku ucapkan padanya. Dia penyelamatku, pahlawanku, malaikatku..

"Syukurlah kalau kau tak apa apa," Dia tersenyum padaku, lalu kembali mencari sesuatu di permukaan aspal, "Ah itu dia! Ponselku jatuh!" Dia berjalan pincang menuju ponselnya yang tergeletak 2 meter di depan kami.

Aku melihat bercak darah dari balik celana jeans baggienya. Dia terluka?!

"Darah! Kau baik-baik saja?!"

Dia kembali mendekat padaku, lalu menepuk-nepuk pelan pundakku. "Aku tak apa, kau mau kemana? Kenapa pelajar sepertimu ada di tempat seperti ini?"

Pertanyaan-pertanyaan pemuda itu tidak aku hiraukan, aku berjongkok dan menyibak kain jeans Kumal yang menyelubungi kaki kanan pemuda itu. Bercak darah tadi semakin terlihat membesar.. aku yakin darah segar mengalir keluar dari sana. Pasti ada luka yang terbuka!

Benar saja! Sebuah luka gores yang dalam sepanjang telunjukku menganga dari tulang kering hingga betisnya.

"Hei! Bukankah tidak sopan membuka celana seorang pria asing?!" Dia menarik tanganku hingga aku berdiri dan sejajar dengannya. "Kau ini agresif sekali ya?"

Tidak.. tinggi kami jelas tidak bisa dikatakan sejajar. Dia jauh lebih tinggi dariku, aku bahkan harus mendongakkan kepala agar bisa melihat wajahnya. Wajahnya yang tampan..

"Kau terluka!" Aku menarik tanganku darinya.

"Tidak apa-apa. Nanti juga sembuh." Dia kembali membenarkan celananya yang aku singkap tadi, lalu tersenyum padaku.

"Izinkan aku berterimakasih, dan merawat lukamu," Luka itu dalam, aku yakin harus segera dijahit. "Ayo kita ke klinik, beritahu jalan menuju klinik!"

Dia menatap wajahku lalu mendesah pelan. "baiklah. Ayo sini.." sambil berjalan mendahuluiku dengan langkahnya yang pincang, ia sempat menoleh ke kanan dan kiri.

Aku bisa menebak bahwa selain luka gores itu, kakinya juga pasti terkilir. Hanya manusia super yang tidak apa-apa setelah melompat dari ketinggian 3 meter, sambil menerjang seseorang.

Aku menyusulnya dan bersikeras memapah pemuda bongsor itu, ia tertawa. "kau manis sekali. Apa kau tak takut padaku setelah kejadian tadi?"

Jelas aku takut, dia bisa jadi siapa saja, bahkan mungkin saja dia sebenarnya adalah salah satu kriminal yg lebih jahat disini. Tapi aku tidak boleh membiarkan seseorang yang telah menolongku kan?

Aku menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaannya. Karena dia terus menatapku, menunggu jawaban.

Aku bersumpah pada diriku sendiri. Setelah menolongnya dan pulang. Aku tak akan pernah ke tempat ini lagi.

Daerah pinggiran dengan kriminalitas tinggi ini.

***

avataravatar
Next chapter