2 BAB 1

"Abang, siniin ga!"

Gue berusaha menggapai toples berukuran sedang yang di angkat tinggi-tinggi oleh Bang Intang, tubuhnya sudah cukup tinggi bahkan sangat tinggi jika di bandingkan dengan tubuh mungil gue ini. Ya jelas lah, gue cuma 60 inci sedangkan Bang Intang 68 inci. Jauh kemana-mana, Ya Rabbi.

"Abang, ish!" protes gue semakin jadi, karena Bang Intang mengangkat toples di tangan nya semakin tinggi dan sambil jinjit. Ya, gue makin nggak nyampe lah meski udah loncat berkali-kali.

"Bang! Angi, bilangin Ayah ya." Ancam gue, sumpah Bang Intang nyebelin banget.

"Kamu tuh nggak tumbuh apa gimana si, segitu-gitu aja."

gue mendengus sebal, dengar Bang Intang ngomong gitu. Di pikir gue mau apa, punya badan mungil kayak gini, yang waktu kemarin tes di kampus gue bahkan di bilang anak SMP nyasar sama salah satu satpam. Sial!

"Jahat banget sih, Bang. Angi juga mau nya punya badan tinggi semampai." Gue kembali duduk di kursi tapi dengan gerakan rusuh, hentak-hentakin kaki ke lantai. Abis Bang Intang ngejailin gue melulu kalau ke rumah. Sebel kan, jadi nya.

"Yee, marah nih."

gue bersedakap, menatap sebal ke arah televisi yang berisik banget sama komentator sepak bola. Makin bikin bete aja, kan.

"Nih, deh." Bang Intang nyodorin toples yang tadi dia ambil ke gue.

gue menggeleng, sambil ngusap cairan bening yang meluncur ke pipi. Kenapa nangis sih, gue cengeng banget.

"Eh, kok nangis. Maaf deh," Bang Intang merangkul bahu gue.

"Nggak mau, udah ah sana." Usir gue, gue langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Bang kenapa sih, Angi nya ko nangis." Suara ibu dari arah dapur. Beliau menghampiri gue dan Bang Intang di ruang tamu, terus duduk di samping gue.

"Kebiasaan deh, Bang. Udah tau adik nya cengeng, di jailin terus." Omel ibu, gue cukup merasa di bela, tapi tetap tidak suka ya di bilang cengeng.

"Angi nggak cengeng, Bu." Protes gue.

"Terus apa? Gampang nangis?" Timpal Bang Intang.

"Huaaa, Abang. Pulang sana, Angi maless ketemu abang." Kesal gue, mencubit lengan Bang Intang cukup kencang. Membuat Bang Intang meringis, mengusap bagian lengan bekas cubitan gue.

"Sakit! Masih aja si, suka nyubit gitu."

"Sayang, nggak boleh gitu." Ucap ibu, aku balas dengan sebuah dengusan pelan.

"kuliah kamu gimana?" Tanya Bang Intang.

"Ibu ke dapur lagi, ya. Mau ada tamu soal nya, jadi ibu mau masak banyak dan kamu Bang," Ibu menatap Bang Intang, "Angi juga, jangan sampai ruang tamu nya berantakan." Tambah ibu, menatap gue.

"Siap, Bu Bos." kata gue, dengan gerakan hormat.

"Apa tadi, Bang?" Tanya gue.

"Kuliah kamu gimana?"

"Besok ospek, hari pertama." Jawab gue singkat.

"Mau ikut organisasi?"

Gue menggeleng, bukan berarti nggak mau ikutan ya. Cuma masih bingung aja. Ikut organisasi kan ada benefit dan disadvantage nya juga, jadi gue pikirin dulu deh.

"Abang dulu ikut organisasi?"

"Iya, soalnya benefit nya cukup. Abang juga butuh banyak relasi." Jelas Bang Intang. Gue mengangguk.

"Kalau kamu merasa nggak capek dan cukup waktu, Abang saranin ikut aja sih. Tapi menyesuaikan kamu aja, enaknya gimana."

"Iya, Bang. Makasih ya, saran nya." kata gue, sedikit berkurang soal rasa kesal tadi.

Ceklek...

Suara pintu kamar Bang Intang terbuka, Gue sama bang Intang refleks menolehkan pandangan ke arah kamar dan disana bayi gembul lucu sedang merangkak ke arah sofa sambil di pantau perempuan cantik di belakangnya.

Gue turun dari sofa, lekas meletakkan kedua tangan di ketiak si bayi dan menggendongnya.

"Utuu, tayaaaang." Gue mencium gemas pipi gembul nya yang lebih cocok disebut bakpau itu.

"Kata Ibu kamu nangis, Ngi. kenapa?" tanya Kak Gita.

Gue melayangkan tatapan tajam ke arah Bang Intang yang malah cengangas-cengenges nggak jelas.

"Tuh, kak. Bang Intang jahilin Angi terus. Bete banget." Adu gue.

"Maaf ya, Ngi. Intang emang gitu, cubit aja." gemas Kak Gita, sambil memelototi Bang Intang juga. Haha, kena kan lo Bang. Di pelototin istri sendiri, mang enaaak.

Gue tertawa puas, "Udah kok Kak, udah Angi cubit tadi.

Gue kembali memerhatikan bayi lucu dalam gendongan gue, namanya Bita Istari. Anak pertama dari kakak gue yang akrab gue sebut Abang dengan nama lengkap Bintang Haryatma. Abang gue ini menikah 2,5 tahun yang lalu dengan Kak Gita, nama anak nya 'Bita' di ambil dari nama mereka berdua (Bi)ntang dan Gi(ta). Lucu banget khaan.

"Wah, pada kumpul nih." ucap perempuan yang sedang menuruni anak tangga, dengan pakaian yang sudah cukup rapi. Mau kemana sih dia?

"Mau kemana, Kak?" Tanya gue, penasaran.

"Kongkow lah, teman gue baru pulang dari aussie. Dia ngajak ketemu." Jelas Kak Ulan.

Gue mendelik kesal, udah tahu lagi pada kumpul dia malah pergi. "Ngapain sih, di rumah aja. Kata Ibu mau ada tamu."

"Pasti lo kesepian kan gue tinggal, baik-baik ya bocil." Ejek Kak Ulan sambil mengusap kepala gue layak nya bocah. Sial.

"Bang, Kak, Ulan pergi dulu ya." Pamit Kak Ulan.

Setelah kepergian Kak Ulan, kami langsung sarapan. Berkumpul satu keluarga di meja makan, kecuali Kak Ulan yang baru aja pergi. Gue anak paling bontot dari tiga bersaudara, nyokap gue namanya Mentari suka dipanggil Bu Tari atau Bu Guru Cantik oleh murid nya. Nyokap gue mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri, Bokap gue namanya Fajar Haryatma dan beliau pemilik beberapa perusahaan multinasional. Tiga bersaudara itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Bintang Haryatma- yang gue sebut Bang Intang, Bulan Haryatma- yang gue sebut Kak Ulan, dan gue sendiri Pelangi Haryatma- keluarga gue semuanya menyebut gue 'Angi' sebagai panggilan sayang.

"Bu, tamu nya kok belum datang sih? Angi udah lapar banget nih." Rengek gue, ini beneran ya perut gue udah berkoar minta diisi. Mana menu nya enak semua lagi.

"Sabar, bocil." Celetuk Bang Intang, membuat gue lagi-lagi mendengus sebal.

"Iya, gantar. Diem deh, nggak usah mulai ngebocil-bocilin Angi." Rutuk gue, iss kesal banget.

Akhirnya, gue mainin ponsel aja deh daripada gabut banget nggak ada kerjaan kan. Ayah juga lagi ngobrol sama Bang Intang soal perusahaan yang tidak gue mengerti sedikit pun dan Ibu lagi ngobrol sama Kak Gita. Gue? iya dikacangin. Jadi mending main ponsel aja, main piano tiles sampai mahkota tiga kan mayan tuh.

"Cup, sayang. Kenapa sih, mau susu, iya?"

Gue menoleh kearah Kak Gita yang lagi ribet banget sama Bita yang nangis, merengek terus begitu. Akhirnya gue letakin ponsel di meja lalu berjalan kearah Kak Gita.

"Sini Kak sama Angi aja," Tawar gue.

Gue membawa Bita ke dalam dekapan gue, lalu menggendong dengan gerakan mengayun. "Cup yaaa,"

"Angi bawa ke atas aja ya, biar main sama Angi."

"Tadi katanya kamu laper, makan aja deh dulu." Titah Kak Gita.

"Tamu nya belum datang, nggak enak kalau Angi duluin. Ya udah Angi ke atas yaaa."

Gue menaiki anak tangga dengan Bita si bayi lucu ini dalam gendongan gue. Masih merengek tidak nyaman, rungsing gitu tapi nggak separah tadi waktu di meja makan.

"Disini ya, Bita sayang. Kak Angi ambil mainan kamu dulu." Kata gue pada Bita yang berguling di kasur king size.

Gue sedikit melompat ke arah kasur setelah menemukan mainan kecrek Bita di dalam lemari bawah, soal nya Bita mulai merangkak ke bagian pinggir. Gue takut banget dia jatuh.

Bita mulai diam, dia sudah nggak rewel dan fokus sama mainan yang berbunyi di tangan nya.

Gue betah memerhatikan setiap gerak-gerik Bita, mulai dari caranya menggertakan gigi yang baru tumbuh tiga- dua di atas dan satu di bawah, gimana dia senyum atau ketawa pelan saking gemas sama mainan di tangan nya sendiri dan setiap air liur nya menetes polos ke dagu dan dada nya langsung aja gue lap pakai tisu. Dari dulu gue pengin banget punya adik, Eh, malah gue yang jadi anak paling bontot. Gue suka banget anak kecil, yang bayi-bayi begini karena mereka lucu bukan main.

Gue sering memaksa menginap di rumah nya Bang Intang, cuma karena ingin ketemu dan main sama Bita. Tapi dasar Bang Intang nya aja yang pelit, kadang gue nggak di bolehin sama sekali padahal Kak Gita nya welcome aja. Kata nya, lebih baik gue bawa Bita ke rumah aja dari pada gue yang ke rumah Bang Intang. Soal nya gue di bilang menganggu keromantisan nya Bang Intang. Halah, lo Bang! Bilang aja lo mau mesum ama Kak Gita tapi nggak mau ketauan gue. Lagian juga gue nggak mau ganggu kalian lagii, gue cuma mau ketemu Bita.

"Ciluuukk, Bha.. ututu Bitaa sayaaanng." Gue mencium gemas pipi Bita, menggigit nya pelan karena nggak tahan, dia soalnya gemesin banget.

Bita mulai menguap, mata nya juga sudah mengerjap berat. Kayak nya dia ngantuk deh, gue ambil ASI perah yang di sediakan Kak Gita lalu memberikan nya pada Bita. Bayi itu pun langsung menyedot empeng nya dengan lahap. Tidak butuh lama, mata nya terpejam rapat dan kenyutan nya pada empeng mulai melemah dan perlahan terlepas. Gue mengusap pipi Bita pelan dan mencium dahi nya.

"Ngi, tamu nya udah datang. Ayo." Ucap Ibu dari balik pintu yang terbuka.

Gue refleks menempelkan jari telunjuk ke bibir, memberi isyarat supaya ibu tidak bicara terlalu keras karena Bita baru saja tertidur. Gue menaruh beberapa bantal dan guling di pinggir tubuh kecil Bita yang tertidur lelap itu, takut-takut dia terjatuh. Setelah itu turun untuk menemui tamu Ibu dan Ayah, lalu yang gue nanti-nanti adalah waktu makan bersama. Karena kini perut gua sudah tidak bisa di ajak toleransi.

avataravatar
Next chapter