1 Prolog

Masa remaja adalah saat dalam hidup yang dilewati seluruh umat manusia. Dan bukankah masa itu adalah masa terbaik? Dimana segala kebaikan fisik akan tampak maksimal pada diri setiap orang. Saat kecantikan terlihat begitu mempesona, ketampanan tampak luar biasa menawan dan kekayaan terasa sangat menggiurkan. Sama sekali tak ada derita yang terasa menyakitkan kecuali rasa sakit karena kisah cinta yang tak terwujudkan, atau cerita cinta yang kandas ditengah jalan. Semua jalan cerita hanyalah dipenuhi dengan mimpi mimpi tentang cinta indah dengan pangeran tampan dan putri yang cantik jelita.

Namun saat masa itu perlahan merangkak pergi, melaju kegaris perbatasan akhir usia remaja dan saat kedewasaan. Masa kejayaan itu seolah habis tak tersisa. Karena realita ternyata bukan hanya mimpi indah. Tak sekedar kecantikan dan ketampanan fisik. Tak sebatas kekayaan yang sempat menyilaukan. Realita ternyata lebih dari sekedar cerita remaja tentang cinta yang manis membara atau perih saat patah hati.

Aku tak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya aku berfikir bahwa kehidupan ada kalanya tak menyenangkan. Tak pernah sama sekali mengira bahwa nasib ada kalanya tak berpihak padaku. Dan sama sekali tak pernah terlintas dibenakku bahwa suatu saat aku akan berharap segera mati ataupun ingin mengakhiri hidupku sendiri. Sampai kenyataan itu aku alami, di penghujung masa mudaku. Aku sebelumnya tak pernah tahu bahwa ada penderitaan yang lebih menyakitkan yang membuatku merasa tak mampu bertahan dikehidupan selain penderitaan karena cinta yang bertahun tahun tak terbalaskan juga tak tergantikan.

Kuingat masa dimana seringkali aku duduk diam hingga berjam jam. Diteras depan sebuah mesjid kecil di seberang sebuah rumah mewah yang kuhapal baik selama bertahun tahun. Dan kukenal juga pemilik rumah di depanku itu. Dan alasanku duduk disini pun adalah menunggu salah satu penghuni rumah itu keluar dari rumahnya. Bukan untuk bertamu atau menemuinya, karena meski pun aku mengenalnya aku bahkan tak pernah menyapanya, aku hanya ingin melihat wajahnya sebelum kutinggalkan rumah itu dan kembali melakukan hal yang sudah menjadi pola ini bila rindu kurasakan.

Sejak berusia empat belas tahun aku jatuh cinta padanya. Tapi sampai sekarang dia tak lantas jatuh cinta padaku. Aku bahkan ditampiknya. Dan cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Tak cukup sampai sana, aku harus menderita bertahun tahun karena siapapun yang kupacari tak pernah bisa menggantikannya dihatiku.

Aku tetap meyerahkan seluruh hatiku padanya, berharap akan memiliki pernikahan yang nyata bahagia dengannya, meski dia tak pernah menyerahkan hatinya padaku atau siapa pun. Aku tak lantas il-fell padanya bahkan saat aku tahu dia tak pacaran dengan gadis manapun, kecuali yang sejenisnya. Lalu masa remajaku terlewatkan begitu saja dengan kekecawaan. Dan impian pernikahanku, hilang ditelan kenyataan.

Meski pada sang Tuhan aku tak berhenti meminta, agar diberi sedikit kebahagiaan.

avataravatar
Next chapter