3 Chapter 2 - Pembalasan

Ketika kedua kelopak mataku terbuka, hari berubah malam.

Apa yang kusaksikan saat ini adalah angkasa gelap yang langitnya ditaburi hiasan bintang-bintang berpijar. Butiran debu hitam bagai menghiasi langit, berjatuhan dan perlahan menimbun diriku yang terbaring.

Aku mencoba beranjak bangun, dan duduk sejenak seraya

memerhatikan Sekeliling. Sekitar sini tampak gelap, tak menggambarkan apapun selain kekosongan dan kabut hitam yang menghalangi pandangan.

Setelah mengalami sedikit sensasi aneh dalam tubuhku, aku berhasil berdiri dan mengambil langkah pelan ke depan. Kakiku yang telanjang menyentuh permukaan; mungkin sedikit terasa aneh karena tanahnya terasa lembut, tak pernah kurasakan tekstur tanah seperti ini di manapun, seperti menginjak tumpukan kapuk berbentuk butiran pasir.

Aneh sekali.

Sebenarnya ... di mana aku?

Aku bahkan tidak ingat mengapa aku bisa sampai ke tempat ini.

Ingatan terakhir yang kumiliki ... ah!

Seketika saja kepalaku merasakan dengungan kuat dengan rasa pusing luar biasa. Kemudian informasi berisi ingatanku menyusul masuk secara bersamaan— membuat isi kepalaku seperti ingin meledak.

Ahh ... jadi begitu.

Sekarang aku mengerti situasinya.

Singkatnya adalah, sepertinya aku mungkin sudah mati.

Sebelumnya, orang yang tidak kukenal membawaku ke suatu tempat, di sana seseorang telah menusuk jantungku hingga aku merasa seperti akan mati.

Apakah ini yang namanya alam baka? Tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Sialan, apa yang ingin kuharapkan dari alam kematian?

Fhuuuh ....

Tempat ini benar-benar gelap karena ada kabut hitam yang mengelilingiku. Aku bahkan kesulitan melihat apa yang berada melebihi dari dua kali jarak panjang tanganku.

Tak ada suara apapun. Terlalu hening dan kosong. Tak ada objek apapun selain diriku.

Aku mencoba berjalan lebih jauh, menuju ke arah depan sana demi mencari tahu seperti apa tempat ini, ataupun jalan keluarnya.

Debu-debu hitam seperti jelaga terus berjatuhan dari langit, bagai salju di musim dingin. Entah apa sumbernya, jelaga itu menyusup ke dalam mataku— terasa perih ketika terkena, anehnya aku masih bisa merasakan rasa sakit.

Bukankah seharusnya orang mati tidak bisa merasakan apapun? Apa mungkin sebenarnya aku belum ... mati?

Saat memikirkan itu, aku mengangkat tangan kananku ke atas kelopak mata demi menghalau setiap debu masuk kembali.

Semakin jauh aku berjalan, aku menyadari sesuatu. Kabut yang mengelilingiku terus saja menjauh seolah-olah memberi jarak. Ini seperti aku menjadi pusat perhatian. Atau malah seperti berjalan di tempat saja sedari tadi.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Aku merasa seperti terkena efek ilusi.

Sejenak, aku berhenti dan melihat ke angkasa. Langit di atas sana pun terlihat tidak biasa.

Apa-apaan? Aku merasa seperti dipermainkan sesuatu, seolah aku sengaja dijebak dalam ruang lingkup di mana semuanya hanya terbatas pada diriku sendiri.

Apakah mungkin ini—

Seketika terdengar suara mengerikan yang memecah keheningan. Membuatku bergeming dan merinding saat mendengarnya. Suaranya yang merendahkan dan menertawakanku dengan nada bengis— bergema seperti gemuruh petir di tengah badai.

"Lihatlah siapa yang datang kemari!?"

Aku mendengar suaranya yang mengerikan sekali lagi.

Siapa di sana!?

"Manusia!? Dasar makhluk hina menjijikan!"

Suara dengan nada merendahkan kembali muncul dan bergema. Telingaku mungkin mendengarnya, namun tidak bisa memastikan dari mana asal suara itu, padahal tak ada seorangpun yang bersamaku di sini, tapi suaranya terdengar cukup dekat.

Apakah dia bersembunyi di dalam kabut? Kurasa itu mungkin.

"S-siapa!? Apa maksudmu barusan!? Tunjukkan dirimu! Jangan hanya bisa bersembunyi dan menertawaiku, dasar sialan!"

Aku meninggikan nada suaraku, dan teriakanku barusan menggema jauh dan masuk ke dalam keheningan. Suaranya tak lagi terdengar untuk sesaat—

"Kau menantangku ...!?"

Ketika suaranya terdengar, kabut di sekitarku seketika melebar dan memberi jarak. Suara penuh tekanan dengan nada rendah muncul di belakangku. Sangat dekat. Terlalu dekat. Tubuhku seperti membeku karena rasa takut yang luar biasa.

Apakah dia sedang ada— di belakangku!?

Ketika itu aku berpaling sembari memundurkan tubuhku menjauhinya— aku terdiam dan tak bisa bergerak. Mataku membelalak karena melihat sesuatu yang sulit kupahami.

Kumelihat sepasang kobaran merah membentuk bola mata— berwarna kuning dengan garis hitam mengitari pupilnya yang merah menyala. Sorot matanya menunjukkan intimidasi kuat. Itu adalah aura kemarahan penuh tekanan.

Wujudnya terlihat tidak sempurna, seperti gumpalan asap dan berkobar-kobar layaknya bayangan api. Dirinya mengambang dalam kekosongan— menyatu bersama kabut di sekitarnya.

"Ada apa? Kenapa kau malah terdiam dan mematung di sana!? Kudengar kau barusan menantangku?" Suara dengan nada rendah darinya berhasil membuatku ketakutan.

Udara dingin seakan-akan berhembus dan membuatku menggigil kedinginan. Jari-jemariku gemetaran. Dan aku tidak bisa bergerak.

Siapa makhluk mengerikan di sana!? Apakah mungkin dia adalah— sosok Iblis yang selama ini memberikan manusia darah terkutuk!?

Apakah memang benar begitu!?

Akan tetapi, apa-apaan wujud itu!? Apakah semua Iblis memang memiliki wujud yang semengerikan itu!?

Tiba-tiba saja makhluk di sana seperti menekuk kedua sudut mulutnya, menunjukkan senyuman yang terbentuk dari kobaran api merah gelap.

"Pasang telingamu baik-baik, manusia rendahan!" Dia berkata sekeras mungkin.

"Yang berbicara denganmu sekarang adalah— seorang Iblis. Ras terkutuk yang jatuh dari langit. Penghuni dunia bawah. Kekuatan mengerikan yang mendominasi kegelapan. Dan aku datang kepadamu untuk mengajukan sebuah penawaran."

— Penawaran? Apa maksudnya?

"Jika kau mampu mengalahkanku dengan cara apapun, maka kau akan kembali ke waktu semula— dan hidup kembali dengan menjadi seorang Unhuman. Ini adalah bentuk dari kontrak terkutuk yang telah kau terima setelah menyerap darahnya. Akan tetapi, kalau kau tidak bisa mengalahkanku— maka sebagai gantinya aku akan mengambil alih tubuhmu dan akan memulai kerusakan di hadapan manusia. Apa kau mengerti!?"

Semua perkataannya benar-benar tidak masuk akal. Penawaran konyol apa yang sedang dia bicarakan!?

Tunggu— kenapa aku malah melupakannya?

Bukankah ini adalah bentuk proses menentukan kelayakanku di hadapan Iblis yang akan menjalin kontraknya denganku?

Jika aku berhasil mengalahkannya, maka aku akan kembali hidup. Namun, jika gagal, maka sudah bisa dipastikan aku akan berakhir seperti anak-anak itu.

Bagaimanapun juga, memikirkan semua ini tidak akan membantu. Pilihanku di sini hanya ada dua— mengalahkannya dan menjadi Unhuman dengan mempertahankan kesadaranku— atau menjadi Unhuman liar dengan kendali Iblis itu.

"Jangan bercanda! Sialan! Aku tak menginginkan keduanya!"

Meski berpikir begitu, akal sehatku ternyata masih menolaknya.

Keduanya tetap pilihan buruk!

"Sayang sekali, tubuhmu saat ini sudah sekarat. Dirimu yang sekarang sedang berada dalam proses pemisahan jiwa antara kehidupan dan kematian. Pilihanmu hanyalah hidup kembali sebagai Unhuman, atau mati dan terjatuh dalam jurang kehampaan menuju alam kematian. Bagaimana? Pilihlah dengan bijak."

Bagaimanapun juga, kedua pilihan itu akan berujung dengan akhir yang buruk.

Namun, emosi apa yang muncul dalam diriku ini— bergejolak dan merasa amat marah. Sesuatu yang terpendam dalam benakku tiba-tiba muncul dan menguasai pikiranku.

'Kenapa kau tidak mencoba melawannya!?'

Sesuatu dalam diriku seperti menyuruhku bertarung dengan Iblis itu.

"Jangan menjadi naif di hadapanku, manusia menjijikan! Cepat putuskan sekarang! Dasar makhluk hina!" Setiap kalimatnya terdengar haus dengan nafsu membunuh.

Membuatku yang mendengarnya— merasa jika suatu dinding yang selama ini membendung emosiku telah runtuh seketika.

Aku mengeratkan rahangku serapat mungkin. Emosi yang tiba-tiba mengambil alih ketenanganku— berbalik mengendalikanku.

Segera, gerakan bertarung kuambil dengan membentuk kuda-kuda. Menekuk sedikit kaki kiriku, dan menggenggam kedua kepalan tangan hingga pembuluh darahku menebal ke permukaan kulit.

Tanpa memikirkan strategi dan rencana matang, aku segera berlari maju— menuju Iblis itu yang kini tampak menyeringai menungguku.

Bwooshh ...!

Setelah melejit dengan cepat, dan pukulan pertamaku menghantam pusat tubuhnya— tanganku menembus begitu saja melewati tubuhnya seolah-olah memukul udara hampa— dan gumpalan asap menyebar dari titik pukulan.

— Apa-apaan!?

Apakah wujudnya itu hanyalah ilusi!?

Tunggu! Sedari awal tubuhnya memanglah gumpalan asap hitam, kenapa aku terlambat menyadarinya?

Sekarang ... bagaimana bisa aku— mengalahkan makhluk sepertinya!?

"Apa hanya itu kemampuanmu, dasar serangga rendahan!?"

Sialan!

Setiap hinaan darinya selalu berhasil memancing emosiku. Semakin lama, secara perlahan-lahan, aku tak mampu menguasai diriku lagi, pikiranku kemudian terlelap dalam emosi yang bercampur aduk.

"Jangan hanya berdiri saja di sana, serangga hina! Atau aku akan mengubah tubuhmu menjadi cacing berbulu!"

Aku dipermainkannya dalam hinaan kata-kata yang terus memancing emosiku. Dan kurasa itu berhasil. Diriku kali ini benar-benar merasa marah! Kebencianku yang mengingat para manusia seperti iblis di tempat itu, aku ingin membalas mereka semua!

"Kubunuh!" Mengatakannya dengan nafsu membunuh, aku menatap tajam saat merapatkan rahangku.

Rasanya tubuhku seperti ingin meledak dalam rasa amarah ini. Kebencian ini meluap-luap dan mengendalikanku.

Segera, aku bergerak lagi mengejarnya. Kali ini akan kulakukan serangan habis-habisan.

Pukulan demi pukulan kulancarkan, mengincar sekujur tubuhnya. Walau disebut pertarungan, dia sama sekali tidak membalasku. Aku menggerakkan seluruh anggota tubuhku untuk bertarung.

Seranganku benar-benar tidak beraturan, layaknya berandalan jalanan yang berkelahi karena tersulut emosi. Aku melancarkan pukulan secara membabi buta tanpa tahu arah, meski begitu aku tak berhenti dan terus berulang kali menyerangnya secara beruntun.

Iblis itu terlihat menikmati tarianku. Membuatku seperti berdansa dalam pertarungan sepihak ini. Dia sesekali bergerak hanya untuk menghindar, agar ketika aku mengejarnya, dia melontarkan cacian buruk— benar-benar memuakkan!

"Sepertinya tenagamu sudah mulai habis? Ah, ternyata benar!"

Aku kemudian tertunduk jatuh dengan kedua lututku masih bertahan di atas tanah.

Setelah berbagai percobaan kulakukan untuk menyerangnya, tanpa kusadari tenagaku mulai terkuras habis dan hampir mencapai ambang batas dari kekuatanku. Aku tersadar apa yang kulakukan sedari tadi hanya sia-sia. Dia bahkan masih berdiri dengan wajah sombongnya tanpa menunjukkan arti seranganku.

Apa yang sebenarnya sudah kulakukan!?

Mengapa aku tidak bisa menang darinya!?

Apa kesalahanku!? Apakah aku memang tidak memiliki kesempatan sama sekali!?

Selemah itukah— aku!? Apakah hanya sebatas ini saja kemampuanku!? Inikah batasan seorang manusia!?

Sialan! Mengapa ... mengapa diriku sangat lemah sekali!?

Mengapa semuanya malah berakhir menjadi seperti ini!?

Saat memikirkan semua itu, aku memandangi pasir hitam di bawahku— kedua tanganku menapak tanah dan menggenggam erat pasir hitam bersama kekesalan dalam hatiku.

Perasaan aneh dalam benakku tiba-tiba kembali muncul. Apakah ini adalah rasa putus asa?

Ini aneh— perasaan ini terasa tidak asing, seolah-olah dulu sekali aku pernah merasakan hal serupa.

Bukankah ini—

Seketika terlintas kilasan ingatan dari masa lalu.

Di suatu waktu, aku pernah tertunduk di pesisir pantai seraya memandangi birunya air laut. Aku menggenggam erat pasir kuning di bawahku dan berteriak meluapkan semua kesedihan dan kekesalan dalam hatiku dengan teriakan tanpa kata-kata.

Itu adalah momen yang menyedihkan, karena setelah berkali-kali melakukannya, selalu saja aku gagal dan tidak bisa menguasainya.

Mendengar teriakanku barusan, figur seseorang yang wajahnya seperti tersensor kabut— datang menghampiriku.

Dia terlihat cukup tinggi. Dan lekukan tubuhnya tampak gagah, namun juga feminim. Dia mengenakan semacam jubah, dengan model seperti pakaian militer.

Dia kemudian mengulurkan tangannya kepadaku dan menarikku agar mau kembali bangkit sekali lagi. Dia lantas menyeka sisa pasir dari telapak tanganku, kemudian menggenggamnya dengan sangat lembut.

"Kau tidak perlu khawatir. Kau tidak harus bisa menguasainya sekarang. Hanya saja, teknik inilah yang bisa kuajarkan kepadamu agar kau kelak bisa melindungi dirimu sendiri. Mari kita ulangi kembali, sampai kau bisa melakukannya."

Dia mengarahkan jari-jemariku dengan membentuk suatu pola.

— Aku mengingatnya. Ini adalah bentuk [Teknik Jari] dalam mengukir formasi sihir atau penyegelan.

"Setelah kau membentuk jari-jemarimu seperti ini, selanjutnya adalah ucapkan mantranya, Hasta de Cadena la Vida."

Ingatan itu berakhir setelah dia menyebut mantranya.

Tubuhku bergerak begitu saja dan langsung meniru apa yang telah dilakukannya.

Aku merapatkan tiga jemari di tengah dan saling menyentuh di ujungnya. Kemudian, jari lainnya menekuk ke dalam dan saling menyentuh. Sesuai dengan posisi dari arahannya, kuarahkan polanya mengarah ke Iblis di sana.

Sekarang, tinggal menyebutkan mantranya.

"Gerakan jari itu— jangan-jangan—"

"Hasta de Cadena la Vida!"

Seketika saja gejolak merah meluap keluar dari dalam tubuhku. Terasa aliran energi yang bergerak dari sekujur tubuhku menuju jari-jemariku, terasa seperti berkumpulnya aliran darah.

Sedetik kemudian, benih energi mulai terlihat di udara dan berkumpul di depan tanganku— segera semuanya memancarkan pendar cahaya merah tua, berubah menjadi formasi sihir dengan mengeluarkan beberapa bentuk rantai hitam dan bergerak hidup mengincar Iblis itu— melilit sekujur tubuhnya dalam sekejap mata.

"Mu-mustahil! Ke-kenapa— teknik itu— kau bisa menggunakannya!? Tidak mungkin! Manusia sepertimu bisa melakukannya!"

Hebat!

Bagaimana bisa— tidak! Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya!?

Teknik macam apa sebenarnya yang barusan kugunakan!?

"Manusia sialan! Kau—"

Ketika Iblis itu ingin berontak, dirinya ditekan oleh rentetan rantai sihir dariku hingga membuat bentuk wujudnya seakan-akan menyusut.

Huuh! Dia benar-benar terlihat menyedihkan sekarang.

"Sepertinya keadaan sudah berbalik ... bukan?" Aku berkata dengan nada merendahkan.

Ah, rasanya aku sedikit lega sekarang.

"Ini sangat mengejutkan sekali! Kau berhasil membuatku tertarik denganmu, dasar sialan! Ini pertama kalinya aku melihat teknik mereka yang telah hilang— pengikat Iblis."

Dia kembali menambahkan, "Sebelumnya, tuanku telah mengirimkan salamnya kepadamu, manusia sialan! Kau pasti begitu menarik hingga tuanku begitu memerhatikanmu. Isi pesannya adalah— suatu saat, kehancuran akan tiba. Dan dia akan menemuimu sebagai perwakilannya dalam hari penghakiman. Sepertinya dia benar, bahwa kau akan tetap menang sekalipun aku dalam wujud Iblisku."

"Hah? Barusan kau ngomong apa?"

Aku tidak tertarik sama sekali dengan semua ucapannya.

Selagi dia berbicara atau ngomel sendiri tadi, aku memikirkan penjelasan masuk akal akan teknik barusan yang kugunakan. Aku juga bingung menyebut nama teknik tadi. Apakah namanya adalah, teknik pengikat?

Yah, mungkin akan kupikirkan lagi nanti ke depannya.

"Kontrak baru saja terbentuk. Penyelarasan jiwa sudah seimbang. Mulai sekarang, kita akan berbagi takdir dengan satu jiwa ini, manusia! Jika kau membutuhkan kekuatan dariku, kau bisa memanggil namaku, namaku adalah ... Asmofhet."

... ... ...

Setelah mendengarnya menyebut nama 'Asmofhet', kedua kelopak mataku terbuka begitu saja dan menatap dengan tajam menghadap butiran pasir putih yang menutupi setengah wajahku.

Mata kiriku melihat pria yang menusukku tadi tengah berjalan menuju kembali ke tendanya.

Jadi begitu, selama kejadian di alam aneh tadi berlangsung, waktu di sini hanya berjalan beberapa detik setelah aku kehilangan kesadaran. Walau yang kualami tadi tidaklah sesingkat itu, sepertinya— itu adalah distorsi waktu.

Segera,

aku beranjak bangun dengan perasaan berbeda. Yang terbenam dalam benakku— merasakan kemarahan dan kebencian begitu besar. Aku merasa seperti menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Sensasi ini terasa aneh, seperti sesuatu dalam diriku mendadak berubah. Apakah ini ada hubungannya dengan Iblis itu?

Setelah setengah berdiri, kumelihat kedua lengan serta sekujur tubuhku kini diselimuti aura hitam yang berkobar-kobar— seperti selimut bayangan yang meluapkan jumlah energi mengerikan— sangat mirip dengan perwujudan Iblis itu, seolah-olah dia kini menyatu bersama ragaku.

Ahhh ... jadi begini, kah?

Inikah kekuatan dari mereka yang menjadi, Unhuman?

Aku sedikit mendongakkan kepala dan melihat ke depan— kedua sudut mulutku tiba-tiba terangkat tanpa kusadari, menarik perhatian seluruh orang yang menyadari perilaku anehku.

Apa-apaan yang— tubuhku terasa begitu berat sekali, membuatku kehilangan keseimbangan.

Gawat ...!

Rasanya mengantuk sekali— kesadaranku terasa terbagi.

Krataak ...!

Suara pelatuk yang menggema masuk ke dalam gendang telingaku— bersamaan dengan ujung selongsong senapannya yang menyentuh punggungku.

Dia mencoba mengincar jantungku, kah?

"Jangan bergerak! Atau kau akan—"

"Kutembak?"

Aku melanjutkan kalimatnya yang kusela dengan nada yang terdengar sedingin mungkin.

Baiklah, kekuatan seperti apa yang bisa kugunakan dari sang Iblis?

Lantas kupejamkan mata seraya merasakan seluruh aliran energi yang tersebar dalam tubuhku. Dengan konsentrasi yang intens, aku seakan-akan menemukan jawabannya. Bentuk kekuatan ini terasa samar, seperti menyuruhku melakukan apapun.

"Limitless ... kah?"

Detik itu retakan dimensi membelah ruang realitas di sekitarku— dari belakang prajurit di belakangku, gerbang dimensi terbuka— membawa pesan kematian kepadanya. Dari dalam dinding gerbang yang hampa, keluar kumpulan jari-jemari, saling menghubungkan hingga memanjang, dengan kukunya yang tajam, mencengkeram seutuhnya kepala si prajurit— meremukkannya dalam sekali genggaman, hingga darahnya muncrat ke sana-sini dan menggenangi tanah.

Aroma darah terasa begitu menggoda. Membuat kedua sudut mulutku terangkat begitu saja, membentuk seringai ringan dengan sisa darah yang melumuri kulit wajahku.

Sekalipun aku telah membunuh seseorang, hatiku tak sedikitpun tergerak maupun merasa menyesal.

Ini bukanlah salahku.

Tidak perlu memikirkan apapun lagi. Ini memang bukan tindakan yang manusiawi, namun aku tidak memedulikannya.

Karena sekarang saatnya adalah, pembalasan.

Melihat salah seorang dari mereka mati, detik itu juga aku dihujani peluru dari segala penjuru arah.

Kukepalkan kedua tanganku sekuat tenaga, dan kedua kakiku mengambil ancang-ancang bersiap berlari. Setelah kaki kiriku melepaskan pijakan, tanpa sadar langkah yang kubuat membuatku melompat dan melejit cepat seperti gelombang udara.

Aku menyusul seorang pria sebelumnya, dan berhenti di hadapannya seraya melayangkan tangan kananku yang sudah terlapisi penuh oleh energi hitam berkobar.

Musuhku tak tinggal diam, gerakanku dengan mudah terbaca olehnya, bahkan ia dengan santainya menghindar selagi mendorong pijakannya dengan melompat ke belakang.

Jarak di antara kami terbuka lebar, seluruh prajurit dari atas benteng tiba-tiba berhenti menembak ketika orang itu mengangkat tangan kanannya sebagai bentuk tanda perintah.

"Ternyata kau berhasil kembali ... sudah kuduga kalau kau—"

"Ahh, kau berisik sekali, sialan!"

Tanpa memedulikannya, aku menyela dengan nada suara yang terdengar sedingin mungkin.

Seluruh tempat ini telah masuk ke dalam batas pengawasanku, lebih tepatnya ruang teritorial teknik Iblis-ku. Teknik ini aktif secara sendirinya ketika aku menggunakan kekuatannya tadi, karena itu aku dapat memanipulasi ruang antara dimensi Iblis miliknya ke sekitarku.

Aku masih belum mengerti secara keseluruhannya dengan teknik Iblis ini. Tetapi, sejauh yang kulihat sekarang, aku dapat memanipulasi ruang di sekitarku dengan dimensi Iblis miliknya. Aku dapat mewujudkan bentuk dari imajinasiku menjadi wujud fisik, walau dalam bentuk bayangan hitam berkobar, namun syaratnya adalah aku harus membuka ruang antar dimensi miliknya ke ruang di sekitarku.

Ini cukup bagiku untuk bisa melawan mereka.

Segera, aku melompat ke arahnya, kepalan tangan kananku kupersiapkan dengan lapisan energi hitam yang membentuk kobaran energi, pergerakanku cukup cepat hingga ia tak melihatnya.

Kali ini ia menerima seranganku, namun dalam bentuk tangkisan dari kedua lengannya yang ia rapatkan ke depan dada. Ia terdorong beberapa jarak, dari ekspresi wajahnya ia seperti kesakitan, setelah kulihat kulit lengannya meninggalkan bekas luka memerah.

"Kuat sekali! Kecepatannya bergerak seperti hembusan angin, hampir saja aku lengah!"

"Hah? Tapi, menurutku kau benar-benar lengah, lho."

Aku menunjuk ke arah bawahnya, tepat di mana bayangan yang terpantul dari dirinya tergambar di tanah.

Aku cukup membayangkannya. Segera, rentetan bilah hitam seperti jeruji besi muncul dari balik bayangan orang itu, satu persatu bilah itu menembus sekujur tubuhnya hingga ia tak lagi bisa bergerak.

"Kau! Akhhh!—"

Orang itu memuntahkan darahnya dari mulut, bersamaan darah lainnya bercucuran dari lubang luka pada tubuhnya.

"Matilah dengan tenang."

Sambil mengucapkan itu, tangan kananku kuangkat naik selagi membuka seluruh jemari, setelahnya kututup kembali seluruh jemariku seolah meremas sesuatu.

"Tu-tunggu!—"

Dari ketiadaan ruang, akar hitam terbentuk dan muncul menyerang tubuh orang itu hingga meremukkannya tanpa menyisakan bentuk apapun.

Aku berbalik, memerhatikan mereka yang berada di atas dinding tembok, raut wajah mereka berubah ketakutan memandangiku. Sepertinya mereka berpikir jika kali ini adalah giliran mereka.

"Sial, semuanya tembak dia!" teriak salah seorang prajurit dari atas sana.

Suara tembakan beruntun memecah keheningan, senapan mesiu laras panjang memuntahkan bola peluru timah panas dan langsung menargetkanku dari segala penjuru arah.

Tak peduli serangan apapun yang dihasilkan oleh mereka, aku tak bisa berekspresi sama sekali, bahkan dua orang yang baru saja kuhabisi tak memunculkan perasaan bersalah untuk bisa menyentuh hatiku.

Aku memejamkan mataku sembari merentangkan kedua tanganku, waktu terasa melambat dan aku bisa merasakan setiap butir peluru yang datang ke arahku.

Detik itu juga keretakan dimensi terbuka kembali, memberi celah antara diriku dengan ruang sekitarku, peluru yang ditembakkan dalam sekejap ditepis oleh akar bayangan yang muncul dari celah lubang dan membentuk kubah hitam.

Aku mengintip dari sela akar hitam dan memerhatikan mereka, para prajurit itu tampak terkejut, namun tidak untuk waktu lama, mereka kembali mengisi peluru senjata mereka dan berniat menembak lagi.

Pada saat itu aku melepaskan kubah ini, dan kali ini aku yang turun tangan ke sana menyerang dengan kekuatan bela diri seadanya, menurutku cara ini akan lebih menarik dan akan memompa adrenalinku.

Aku segera melompat dari tempatku dan terbang ke atas tembok sana, melihat kedatanganku mereka semua terkaget dan kehilangan fokus, satu persatu prajurit di depanku kuhajar hingga remuk, aku berlari mengelilingi jalur atas tembok mengitari benteng ini sambil menyerang siapapun yang kutemui sampai mereka semua rata.

Sepersekian menit kemudian, keheningan telah menggantikan tempat ini. Sekujur tubuhku bermandikan darah dari para prajurit itu.

Aku mendongakkan dagu seraya menatap langit untuk sejenak, menghirup udara segar setelah rasa letihku muncul.

Ternyata ... aku benar-benar tidak merasakan apapun, bahkan setelah menghabisi mereka semua.

Perlahan energi hitam yang menyelimutiku menguap pudar. Aku mengelap wajahku dari sisa darah, lalu berjalan pergi meninggalkan tempat ini, menuju ke arah beberapa kuda yang terparkir di dekat pintu gerbang.

"Ini ...!"

Seketika saja Atmosfer berubah menjadi penuh tekanan. Aura samar yang diselubungi energi kuat kurasakan! Energi besar melimpah dalam wujud bentuk manusia.

Langkahku langsung terhenti. Jemariku gemetaran ketika menatap ke arah sosok hitam dengan pakaian serba hitam, lengkap sebuah tudung yang menutupi wajahnya.

Orang itu mengambil langkah maju dengan aura penuh tekanan.

Kematian.

Kata ini berkelebat dalam pikiranku.

Aku secara naluriah mengangkat kedua tanganku ke depan, selagi memfokuskan seluruh energi dalam diriku.

Aku berniat melepaskan seluruh kekuatanku di sini!

Sekarang!

Ketika aku baru saja ingin memfokuskan energiku, tubuhku kehilangan keseimbangan dan kedua kakiku terasa lemas, aku terhuyung-huyung lalu berakhir jatuh.

Apa-apaan ... apa yang terjadi padaku, Asmofhet?

"Aku lupa mengatakannya ... sebenarnya, setiap kau menggunakan kekuatan Iblis-ku, darahmu akan terkuras sebagai bentuk sumber energinya. Jadi, jika kau terlalu banyak memakai kekuatanku secara sembarangan seperti tadi, maka kau bisa berakhir mati kehabisan darah. Ini merupakan bentuk konsekuensi dari syarat yang diterapkan seorang, Unhuman."

Asmofhet baru menjelaskannya sekarang, padahal jika ia mengatakan ini lebih awal aku mungkin akan lebih berhati-hati.

Sial ...!

Rasanya tubuhku begitu berat sekali, aku tak bisa bergerak. Ini semua salahmu, Asmofhet! Kalau saja kau memberitahukanku lebih awal maka aku—

"Setelah kau bangun saja kau bahkan tak dapat mengendalikan dirimu sendiri, kau langsung menggila dengan membantai habis mereka, bukan?"

Itu benar ... tapi, aku tidak ingin berakhir di sini! Asmofhet, berikan aku kekuatan yang tersisa!

Aku ... akan menghabisi semuanya!

"Menarik! Baiklah! Untuk kali ini aku akan membiarkanmu memakainya tanpa syarat ... tapi, sedikit saja!"

Tidak masalah! Berikan padaku!

Seketika itu aku bangkit kembali, energi itu mengalir kembali dan merayap masuk ke sekujur tubuhku, memberiku kekuatan untuk bergerak.

Kakiku kembali mengambil ancang-ancang sama, diriku berlari ke sana berniat menyerangnya dengan kepalan tangan kananku yang mengeras.

Aku melancarkan serangan pertamaku dengan memukul lurus, lalu melayangkan kaki kiriku yang menendang secara melintang.

Kedua serangan tadi tak menyentuhnya, ia menghindar dengan kecepatan yang melebihiku.

Kali ini aku memperkuat serangan tangan kananku, aku masih memukul lurus mengincar wajahnya, ia memiringkan badan dan sedikit memutar arah kepala, di mana tangan kananku yang melayang melintas di depan wajahnya.

Habis itu, ia melompat mundur dan muncul di atas tembok, sembari mengatakan,

"Dengar, Nak! Aku datang ke sini bukan untuk melawanmu, tapi aku ingin mengajakmu untuk ikut dengan—"

Mendengarkannya hanya membuang waktu, aku kembali menyusulnya ke sana dengan melompat dan bersiap memukulnya dengan kedua tanganku.

Energi kali ini sedikit terbatas, tapi aku merasa ini cukup bisa menyainginya.

Tiba-tiba saja aku melihat energi orang itu melimpah keluar dari dalam jiwanya, lalu menyelimuti sekujur tubuhnya, tatapan matanya memancarkan warna biru terang.

Selagi melayang dan terpaku akan hal itu, fokusku tergoyahkan, ia mengambil kesempatan itu untuk menendang pusat tubuhku hingga aku terpental jatuh dan menghantam permukaan tanah, meninggalkan bekas retakan berlubang dari sisa punggungku yang setengah tenggelam.

"Kalau kau tidak ingin mendengarkanku, maka aku tidak punya pilihan selain membawamu secara paksa. Tolong jangan dendam setelah ini padaku," ucapnya dengan nada tenang, suaranya terdengar tak asing.

Siapa sebenarnya dia ini? Aneh ... perasaan apa yang muncul ini!?

Kemarahan ini kembali menguasaiku dan menghalangi pikiranku untuk berpikir jernih, aku kembali bangkit dan berdiri.

Orang itu tiba-tiba memasang kuda-kuda, kedua kakinya terbuka memberi sedikit jarak, selagi kedua tangannya sedang merapatkan jemari dan membentuk suatu pola teknik jari.

"Gerbang pertama, bentuk pelepasan energi tingkat ketiga."

Seketika aura hijau itu menyelimuti sekujur tubuhnya, membentuk zirah armor tak kasat mata.

Aku tak tinggal diam, detik itu aku berlari maju ke arahnya, ujung kepalanku kuperkuat dengan energi hitam.

Orang itu tampak lengah, dia masih berdiam diri dengan kuda-kudanya. Kepalan tangan kananku meluncur lurus, tepat mengincar dadanya.

Ini akan berakhir!

"A-apa yang—"

— Apa yang selanjutnya terjadi sangat di luar dugaan. Ini terjadi dalam sekejap mata, bahkan aku tak sempat menyadari atau merasakan adanya suatu gerakan. Aku yakin jika sudah memukulnya namun, ketika ujung kepalan tanganku menyentuh energi yang menyelimutinya— seluruh bagian tanganku terasa menjadi ringan, disusul dengan cipratan darah yang menyebar seolah meledak.

Melihat ke arah tangan kananku— seluruh otot dan tulangku tak tersisa— dari bahuku yang buntung, darah merembes keluar dengan derasnya. Lantas, aku menutup lukanya dengan tanganku yang lain.

Apa yang sebenarnya— terjadi!?

Aku terkejut saat mencoba menoleh ke belakang— melihat sebelah kakinya yang sudah melayang dan menendang bagian tubuhku dengan begitu kerasnya.

Tubuhku dengan ringannya terhempas jauh, sampai punggung menghantam suatu tembok dan terbenam di dalam dinding yang penuh batu bata.

Sialan, sakit sekali!

Aku tidak bisa bergerak. Seluruh tulang rusukku sepertinya baru saja patah secara bersamaan. Aku kehilangan kendali tubuhku.

"Seharusnya kau mau mendengarkan orang yang telah mau membantumu, Nak. Ah, jadinya malah berakhir buruk seperti ini. Aku sebisa mungkin ingin menghindari pertarungan namun, kau tidak memberiku pilihan."

Kepalaku terasa berat dan pusing sekali. Samar-samar aku mendengarnya mengoceh dan mengatakan sesuatu.

Ah, buruk sekali. Apa yang sudah ... kulakukan?

Kesadaranku perlahan-lahan mulai kabur, aku tidak bisa mempertahankannya lagi, terlalu sakit dan mengantuk sekali.

Kemudian, kesadaranku terputus.

avataravatar
Next chapter