2 Chapter 1 - Tragedi

[Masa kini, abad ke-14]

Byuuuurrrrr!!!

Air. Barusan gendang telingaku berdengung untuk sesaat, sampai aku bisa mendengar suara genangan air yang masuk ke telingaku. Waktu yang sama ketika air menabrak setengah bagian tubuhku. Rasanya, aku seperti sedang terbaring di atas tumpukan pasir. Indera perabaku dapat merasakan serpihan kasar dari batuan yang terpecah menempeli kulitku.

Aku mencoba bangun dari kegelapan ini. Hal pertama yang kurasakan adalah mataku berkunang-kunang. Cahaya memenuhi pandanganku, dan aku menyipitkan mata karena ketidaknyamanan ini.

Setelah mataku sedikit terbiasa dengan cahaya terang ini, aku melihat birunya langit yang terhampar di angkasa. Sinar mentari begitu menyilaukan, tidak ada satupun objek selain warna biru dari langit luas tanpa adanya awan yang menyaring panas ini.

Apa ini—

Saat aku berpikir seperti itu, entah mengapa air laut menerjang sekujur tubuhku.

Guhuuk! Aku terbatuk, sedikit air masuk ke tenggorokanku. Asin! Dan, tubuhku kini benar-benar basah seutuhnya.

Tubuhku terangkat begitu saja karena refleks. Aku terduduk, dengan rasa terkejut yang mengukir ekspresiku. Pandanganku terpaku akan lautan biru yang terhampar di hadapanku, lautan lepas dan luas, membentang sejauh mataku memandangnya.

Ini .... Aku tidak bisa berkata-kata akan fenomena ini. Rasa pusing masih membekas di dalam kepalaku. Meninggalkan rasa sakit yang berdenyut.

Mataku menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Aku mencoba mencari tahu keberedaanku. Namun, yang kutemukan di sini hanyalah kosongnya hamparan pasir kuning.

Tunggu. Di mana ini sebenarnya?

Permukaan bibirku terasa kering, dan pecah terkelupas. Aku merasa bingung, di saat yang sama aku tidak bisa menjelaskan apapun mengenai situasiku sekarang.

Ini aneh. Aku ... tidak bisa mengingat apapun. Mengapa, alasan kenapa aku bisa berada di tempat asing seperti ini?

Tunggu. Sebenarnya ... siapa ... aku?—

Tanganku menyangga kepalaku yang terasa berat, hampir tak ada apapun informasi yang mengenai diriku bisa kuingat sekarang. Seluruh data hidupku, kenangan, maupun keberadaan yang bisa menjelaskan asal dan keluargaku, menghilang dari ingatanku.

Aku masih mengingat cara bertahan hidup dan bahasa yang kupelajari, setidaknya sebagian ingatan yang tak berkaitan dengan informasi diriku masih bisa kupakai.

Aku melihat ke arah diriku, pakaian yang kukenakan sekarang merupakan kemeja putih berkerah, serta selapis rompi kulit berwarna coklat pada luarnya, celana hitam panjang yang sedikit sobek karena tergores benda tajam.

Setelan yang kupakai kurasa sedikit tidak biasa, karena ini biasanya hanya dipakai oleh para angkatan laut militer atau bajak laut. Apa mungkin aku salah satu dari dua kemungkinan itu? Atau aku hanya kebetulan saja memakainya sebelum tiba di sini?

Aku mungkin dapat berasumsi dari apa yang kulihat sekarang, pertama aku seseorang yang jatuh dari kapal dan terdampar ke tempat ini, kedua aku orang yang dibuang karena alasan tertentu.

Tapi, aku tidak bisa memastikan apapun. Sekujur tubuhku saja terasa lemah. Aku lapar ... dan haus sekali. Sebagian tubuhku terasa dingin karena pakaianku yang basah.

Aku juga tak bisa melepasnya karena cuaca panas, aku tak punya pilihan. Aku harus pergi dari sini sebelum hari mulai gelap.

Percobaan pertamaku untuk mencoba berdiri malah berakhir dengan kondisi tersungkur, kedua kakiku yang tak kuat bertahan memaksaku jatuh, tenagaku masih terasa kurang, begitu juga semangatku.

Suara gemuruh datang dari arah perutku, menyuruhku untuk memakan sesuatu. Perut keroncongan, dan keringnya saluran tenggorokan. Ini adalah tanda kelaparan sekaligus dehidrasi ekstrim.

Kugerakkan kedua tanganku menggali setiap kantong pakaian dan celana. Jackpot! Sepertinya, aku barusan meraba sesuatu. Sepasang bentuk lingkaran dan keras. Aku segera mengambilnya dari salah satu kantong celanaku.

Eh? Apa-apan ini? Ternyata hanya koin.

Tapi, bentuknya sedikit unik. Ada semacam simbol yang terukir pada bagian depannya.

Padahal aku sudah merasa senang karena mendapatkan sesuatu. Namun, isinya malah sepasang koin berwarna emas, dan berkilau mengkilap. Meski sedikit kecewa, aku kembali menyimpannya. Jaga-jaga kalau aku ingin menukarkan sesuatu dengan benda ini.

Ahhh ... kukira aku akan bisa memakan sesuatu. Lagipula, harusnya di pesisir pantai itu ada pohon kelapa, bukan? Tetapi yang kulihat di belakang sini hanyalah lebatnya semak-semak belukar dan pepohonan biasa.

Aku mencoba mengangkat tubuhku lagi, meski rasa nyeri dan sakit muncul dalam diriku secara bersamaan, aku tetap tak memedulikannya. Selagi bergerak, ombak laut kembali datang menyapu pesisir pantai dan menenggelamkan telapak tangan serta kakiku yang sedang bertumpu di atas pasir.

Aku melihat pantulan diriku dari air laut yang dalam sekejap itu kembali menarik diri. Dengan sedikit usaha, aku berhasil menahan setengah tubuhku berdiri dengan mengandalkan lututku.

Aku bisa! Meski perlahan, akan kupaksakan tubuhku untuk terus bergerak, aku harus segera pergi dari sini.

Setelahnya satu kaki kupaksakan berdiri lagi, lalu kaki lainnya menyusul secara pelan. Awalnya aku sempoyongan karena sulit menahan keseimbangan, tapi ... kini aku bisa berdiri!

Tubuhku gemetaran demi mempertahankan posisi ini, sekarang aku kembali dibuat bingung untuk memilih arah tujuan.

Aku menoleh ke sekitar, dan berpikir tentang arah selanjutnya.

'... Akhh!'

Silau!

Sekelebat pantulan cahaya yang muncul dari arah laut menyilaukan mataku. Secara samar, tampak sebuah objek kecil di kejauhan, rupanya mirip seperti sebuah kapal layar. Kapal itu seolah sedang bergerak menuju daratan. Jika itu benar, berarti mereka mencoba berlabuh ke suatu tempat di arah Barat sana.

Kemungkinan, ada sebuah pemukiman atau suatu tempat tinggal seseorang yang menjadi alasan bagi mereka untuk berlabuh.

Untuk saat ini, aku akan mencoba pergi ke sana terlebih dahulu.

Apapun yang ada di sana ... apapun yang bisa kutemukan di sana, kuharap itu bisa membuatku tetap hidup dan bertahan.

Aku tidak ingin mati kelaparan di sini.

Aku ingin hidup. Tidak peduli alasan konyol apa yang menganggapku di sana ada sebuah pemukiman, atau mengapa aku berpikir jika kapal itu mencoba berlabuh. Aku tidak peduli. Ini hanya sebatas naluriku. Aku akan mengikutinya saja.

Setelah beberapa saat aku berjalan, kini harapanku sedikit terjawab. Di kejauhan cakrawala yang luas ini, terlihat sebuah pemukiman penduduk atau mungkin perkotaan, lengkap dek pelabuhan berisi kapal-kapal layar berjejer di pinggiran pantai sana.

Rasanya, mataku jadi berair.

Tapi, aku tidak akan menangis!

Aku hanya merasa bahagia bisa melihat tempat itu, aku bergegas pergi ke sana meski langkahku tertatih-tatih.

Saat beberapa langkah lagi aku mendekati kota itu. Langkahku goyah dan hilang keseimbangan, penglihatanku juga ikut memburam. Sepertinya aku sudah mencapai batas untuk menjaga kesadaranku. Aku kemudian terjerembab jatuh dengan napasku yang tersengal-sengal.

Meski tampar kabur menghadap tanah, aku masih bisa melihat sepasang kaki seseorang yang datang ke arahku. Aku mengangkat sedikit wajahku berharap dapat meminta bantuannya.

"t-to-lo-ng ... a—"

"Ini ... minumlah."

Ia membalikkan tubuhku yang sudah tak sanggup bergerak ini selagi mengangkat naik sedikit kepalaku untuk menyodorkan botol minumannya ke mulutku.

Meski dengan hanya sedikit tegukan, air yang mengalir dan membasahi tenggorokanku terasa begitu nikmat sekali, aku kembali merasa hidup.

"Ah, maaf ... sepertinya hanya itu air yang kumiliki sekarang ini."

"Te—terima kasih banyak, tuan! Aku tertolong, meski sedikit ... itu benar-benar membuatku kembali hidup."

Sejujurnya tadi aku sedikit gugup ketika menatap orang ini, ia mengenakan jubah serba hitam yang hampir menutupi sekujur tubuhnya.

"Syukurlah kalau itu cukup ... omong-omong—"

Tiba-tiba dia mulai mengangkat tudung kepalanya yang tersambung ke balik jubahnya. Rambut hitamnya terurai bersama ujung mulutnya yang terangkat, membentuk senyuman halus dari tampang wajahnya nan ramah. Namun, mataku lebih terpaku dengan warna matanya. Pupil matanya sedikit tidak biasa, berwarna biru terang dan bekerlip, tampak seperti biasan cahaya pada air laut.

"Apa yang sedang terjadi denganmu, Nak? Mengapa kau berjalan dalam keadaan kelaparan begitu?" sambungnya.

Nada suaranya kini terdengar begitu halus setelah ia melepas kain yang menutup mulutnya.

"Aku ... sedang tersesat. Aku tidak membawa persediaan apapun."

"Begitu, ya? Baiklah, terima ini."

Ia kemudian mencoba mengambil sesuatu dari balik kantong jubahnya. Tangannya yang terjulur, menyerahkan sebuah apel merah dengan hangatnya. Merah ranum buahnya mewarnai rasa segar.

"Apa ... boleh?"

"Tentu saja."

"Te-terima kasih."

Aku memakannya saat itu juga dengan sangat lahap sampai tak menyisakan apapun, kurasa aku menjadi terlalu rakus karena kondisi ini.

Tapi, tidak apalah! Toh, itu gratis! Eh? Orang tadi ... ke mana?

Tanpa kusadari, orang tadi sudah menaiki kuda hitamnya dan berlari menjauhi tempat ini tanpa mengatakan sepatah kata pun ucapan perpisahan.

Ya ampun, apa orang-orang di tempat ini memang selalu terburu-buru?

Tanpa ingin memikirkannya lagi, aku lebih memilih untuk masuk ke dalam kota asing ini, mungkin saja aku bisa menemukan kedai minuman demi mengisi persediaanku.

Ini adalah kota yang aneh menurutku.

Dari segi wilayah, kota ini dibangun dengan sangat luas. Sejauh yang kuperhatikan, panjang kota ini menyebar ke berbagai arah, dan semua bangunannya berdiri di belakang garis pantai. Namun, semuanya tampak sepi.

Ada semacam dek dermaga di seberangku, itu masih cukup jauh dari tempatku berdiri sekarang. Tapi, aku tidak mencoba pergi ke arah sana. Aku akan mencoba menyisir area tengah kota terlebih dahulu.

Aku mulai berjalan masuk menyusuri dalam perkotaan ini.

Ada beragam bentuk rumah yang berjejer di sisi jalan setapak, baik bangunan besar dengan dua lantai, maupun rumah bergaya sederhana, namun pada setiap pintu dan jendela rumahnya tertutupi papan kayu yang dipaku secara kasar dari luar.

Entah apa gunanya, tapi itu memberi pertanda kalau rumah-rumah ini sudah tidak lagi dihuni.

Udara dingin yang mendadak berhembus melalui celah gang sempit dan gelap membuatku merasa waspada, tempat ini akan begitu hening jika tidak ada suara kicauan burung camar yang mencari makan.

Aku masih belum menjumpai satu seorang pun warga yang tinggal di sekitar sini.

Ini aneh.

Rak kayu yang menjadi tempat dagang seseorang pun ditinggal begitu saja dan hanya menyisakan buah-buahan busuk penuh dengan serangga serta belatung.

Aku terus berjalan menuju tengah kota, niatku kemari masih sama, yaitu untuk mencari persediaan makanan. Tadinya sempat terpikirkan olehku jika mungkin saja orang-orang di dekat jalan masuk kota memang sengaja pindah.

Tapi, apa memang benar begitu? Karena apa yang kulihat sekarang di sini adalah ... keanehan.

Beberapa orang di depanku berdiri di depan rumahnya dengan tatapan kosong dan menghadap ke langit, mereka memakai pakaian lusuh nan kotor, ekspresi yang ditunjukkan sangat datar dan hampa, seolah melihat orang yang tenggelam dalam keputusasaan dan kehilangan jiwanya.

Aku mendekati salah seorang lelaki di sana, dan melambaikan jemariku tepat ke depan wajahnya, tak ada reaksi sama sekali darinya.

'Halo? Hoooi!'

Tidak ada tanggapan, aku diabaikan. Tubuh mereka kurus sekali hingga memperlihatkan bentuk tulang tengkoraknya, kesehatan orang di sini patut dipertanyakan pada penguasa yang memimpin tanah wilayah ini.

Aku beranjak pergi dengan rasa khawatir.

Apa keputusanku membiarkan mereka begitu adalah hal yang benar?

Tapi, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan tempat ini? Aku masih memiliki banyak pertanyaan lain yang mengganjal di dalam benakku.

Langkahku mendadak terhenti, tepat di tengah perempatan jalan sana seseorang baru saja terjatuh. Aku bergegas ke sana menghampirinya, saat dilihat dari dekat, ia ternyata hanyalah seorang gadis kecil.

Kondisinya begitu parah. Banyak sekali darah bercucuran dari luka di sekujur tubuhnya, baik bekas lebam pukulan maupun goresan benda tajam. Gadis kecil ini seperti baru saja disiksa habis-habisan oleh seseorang.

Sial! Mana mungkin aku mengabaikannnya.

Aku merasa kasihan padanya dan berniat membantunya. Secara bersamaan juga aku mendapati iring-iringan kereta kuda yang membawa kurungan besi besar dari arah kiriku, banyak sekali prajurit berkuda yang berjaga di sekelilingnya.

Mereka ke sini? Apa mungkin mereka ada hubungannya dengan anak ini?

Hal pertama yang harus kulakukan tentu saja, lari! Sambil menggendongnya di atas kedua tanganku, membuat kecepatan lariku harus menurun.

Selagi berlari aku melirik ke belakang, rombongan kereta kuda tadi kini berhenti di perempatan jalan, dan orang-orang dari atas kuda sana mulai turun mengejar kami.

Aku memaksakan kedua kakiku untuk berlari lebih cepat, namun tak cukup cepat untuk bisa kabur dari kejaran mereka.

Salah seorang prajurit itu berlari kencang, saking cepatnya mampu menyalipku dan menghadang jalur pelarian kami. Wajahnya begitu sangar dan serius, tanpa diduga kaki kanannya tengah melayangkan tendangan ke arah perutku.

Karena tidak sempat bertahan, aku langsung terpental jatuh bersama anak kecil tadi. Tubuhku seketika terasa sakit akibat serangannya, aku meringkuk kesakitan sampai salah seorang dari mereka mendekatiku, ia mencekik leherku lalu mengangkatku hanya dengan satu tangan kanannya.

"Kita akan membawa bocah besar satu ini juga," ucap prajurit di depanku kepada rekannya.

"Terserah saja," balas rekan prajurit itu sambil mengangkat anak perempuan yang kubawa sebelumnya.

Pria berseragam hitam ini kemudian melepas tangannya dari leherku, lalu menarik kaki kiriku dan menyeretku ke belakang. Meski memberontak dan melawan sambil meneriakinya, cengkeraman tangannya tak kunjung lepas.

Orang itu kemudian melemparku ke suatu tempat yang gelap, disusul gadis kecil tadi. Kemudian aku mendengar suara gerbang logam berderit, lantas tertutup.

Setelah melihat lempengan besi tebal di sekitarku, aku mengerti jika kami sudah terperangkap dalam kurungan kereta tadi.

Suara ringkikan kuda kemudian terdengar, bersama getaran yang tidak nyaman pada tempat ini. Itu artinya mereka sudah kembali bergerak membawa kami.

Tempat ini sedikit gelap, tak cukup banyak cahaya yang masuk, tapi aku bisa melihat bahwa ada orang selain kami yang sudah berada di dalam sini.

Beberapa anak kecil tampak duduk diam dan merenung, tatapan dan ekspresi yang mereka tunjukkan sama persis dengan orang-orang yang kulihat di tempat tadi.

Aku mencoba memanggil mereka dan menatap wajah mereka dari dekat, tak ada reaksi dan jawaban sama sekali.

Aku dibuat bingung dan tak habis pikir akan hal buruk yang menimpaku, ini bukanlah kemalangan, bagiku ini sudah seperti kesialan!

Hal apes apa lagi yang akan kulihat selanjutnya? Kuharap aku tak melihat adanya upacara pengorbanan ketika keluar nanti, karena sudah pasti yang dikorbankan adalah kami semua!

Aku tak ingin diam saja dan duduk manis menunggu seorang ksatria menyelamatkan kami, khayalan tak berguna seperti itu hanya akan terjadi di dalam buku cerita.

Udara di sini begitu pengap, aku tak bisa bernapas lega maupun melepas gas alami, karena aku takut mati akibat gas perutku sendiri.

Sialaaan! Keluarkan aku!

Tetap saja aku tak digubris oleh mereka.

Pergerakanku di sini sedikit terbatas karena sempit, pilihanku hanya bisa duduk atau setengah berdiri. Dari pengamatanku, seluruh sisi kurungan ini sangat tebal dan kuat, bahkan cahaya yang masuk harus tersaring dari celah rongga pada pintu masuk kurungan ini.

Kesempatanku untuk bisa lolos sekarang adalah ... tidak ada! Di luar pun masih ada lebih dari enam prajurit bersenjata lengkap yang mengawal, jangan mimpi untuk kabur!

Diriku kembali duduk untuk menenangkan pikiran dan mencari solusi dari masalahku sekarang.

Tanpa sengaja aku melihat secercah cahaya yang sedikit masuk dan menerangi kedua tanganku yang saling menggenggam. Di belakangku ternyata ada bekas lubang yang sedari tadi terhalang oleh pinggangku.

Mata kananku memanfaatkan celah lubang tadi untuk mengintip keadaan di luar, betapa terkejutnya aku melihat pemandangan di depan sana yang jauh berbeda dari tempat sebelumnya, hamparan tanah luas dan rerumputan hijau nan membentang jauh sampai ke perbukitan.

Aku pun terduduk kembali dengan perasaan cemas. Rasa khawatir mulai membuatku meneteskan keringat dari sekujur tubuhku.

Aku jadi ingin melepas lapisan luar pakaianku karena gerah, dan mencoba memeriksa kembali seluruh bagian seragam serta lapisan rompiku untuk memastikan kembali apakah ada sesuatu yang bisa digunakan pada situasi seperti ini.

Saat aku meraba bagian dalam lapisan rompiku, tampak seutas benang jahitan yang terlepas di bagian kiri bawahnya, aku menarik benang kusut itu dan membuka sebuah kantong tersembunyi, bersamaan itu terjatuh selapis surat yang dibalut dengan bungkusan plastik.

Aku membuka isi bungkusan itu, dan membaca isi suratnya.

"Jika kau membaca surat ini, berarti kau berhasil selamat. Kau pasti bingung dengan situasimu saat ini, bukan? Tapi maaf, kau tidak akan menemukan identitasmu di dalam surat ini. Mulai saat ini kau harus hidup dengan mencari identitas barumu. Hiduplah bersama manusia di daratan. Carilah teman yang selalu menerimamu apa adanya. Dan jika umurmu telah cukup dewasa, carilah wanita yang kau cintai dan hidup bahagia bersamanya. Aku akan turut bahagia jika kau bisa hidup dengan saranku ini. Dan satu hal penting lagi, selamat ulang tahun yang ke-16 sang harapanku."

Setelah sampai ke baris kalimat terakhir, genangan air mulai membanjiri kelopak mataku, linang air mata membasahi pipi wajahku, aku tak kuasa menahannya lagi. Aku merasa jika orang yang menulis surat ini adalah orang yang sangat dekat dan penting bagiku. Tapi, aku tidak bisa mengingat apapun tentangnya. Aku merasa sedih dan marah secara bersamaan. Aku tidak mengerti dengan emosiku saat ini. Aku benar-benar tidak mengerti.

Mengapa ...!? Perasaan tidak jelas apa yang muncul di benakku sekarang ini!?

Sesak sekali! Ada yang salah dengan organ tubuhku, dada kiriku terasa sesak!

Apa!?

Kenapa ... kenapa kau meninggalkan surat ini!?

Mengapa ...?

Setelah sedikit merasa tenang kembali, aku menyeka air mata ini dengan lenganku, dan mulai menahan emosiku untuk sesaat.

Tiba-tiba alat transportasi yang menggerakkan kurungan ini sudah berhenti. Aku kembali mengintip ke celah lubang sebelumnya, tampak sebuah dinding besar nan tinggi, ini terlihat seperti sebuah benteng pertahanan.

Derap langkah kaki mulai terdengar, dan kian mendekat kemari, bunyi tuas kunci yang berderit datang dari arah luar bersama terbukanya gerbang pintu kurungan ini. Sekumpulan orang berjubah hitam sebelumnya sudah berdiri di depan sana. Segera, mereka mulai mengeluarkan kami dari tempat ini.

Para pasukan bersenjata ini lalu menggiring kami ke suatu tempat dengan todongan sebuah senapan tepat di belakang kepala kami semua.

Selagi berjalan, aku mengamati sekitar untuk mencari kesempatan meloloskan diri. Sayangnya itu mustahil, karena tempat diriku berada sekarang adalah sebuah benteng yang dikelilingi dinding kokoh dengan tinggi tembok mencapai enam meter.

Beberapa prajurit bersiaga di sudut menara tembok dengan senapan mesiu berlaras panjang.

Ada banyak tenda kemah berdiri di sini, mereka menggunakannya sebagai tempat tinggal maupun sarana lainnya. Beberapa kurungan berlapis jeruji besi tampak sudah disiapkan di tengah lapangan sana.

Kami lalu berhenti tepat di tengah benteng ini, tempat terbuka yang memungkinkan para pasukan untuk membidik kami dengan bebas dan mudah.

Kami semua disusun berbaris dan berjejer secara horizontal menghadap ke satu arah, yaitu ke sebuah tenda paling besar di tempat ini.

Masing-masing prajurit masih bersiaga menodongkan senapannya kepada kami untuk mencegah upaya kabur.

Aku menoleh sebentar ke arah anak-anak di kiriku, namun raut wajah mereka tak berubah sedikitpun, padahal hal buruk sudah pasti akan terjadi sebentar lagi ... kurasa begitu.

Pandanganku kembali tertuju ke arah tenda besar tadi, dari sana seseorang melangkah keluar dengan gagahnya, pria mengenakan mantel panjang berwarna putih dengan corak hitam, matanya terlihat merah menyala, dan rambutnya panjang terurai ke belakang.

Orang itu kemudian berjalan kemari selagi melepaskan sarung tangan hitamnya, urat berwarna merah menonjol pada kulit tangannya, kuku jemarinya memanjang dan ikut berubah memerah.

Ia menghampiri anak kecil yang berdiri paling pojok dari kiriku. Mataku mengikuti arah gerakannya. Ia berdiri sejenak di sana, memandangi anak kecil berambut hitam itu. Segera, ia menusukkan satu jarinya menembus dada kiri anak itu. Darah merah terlihat mengalir melalui perantara kukunya memasuki tubuh anak itu, membuat korban yang terkena langsung jatuh ke tanah dan meronta-ronta kesakitan.

"Hentikan!" Secara tidak sengaja aku berteriak.

Orang itu mencabut jarinya dari sana. Sepersekian detik kemudian, hal aneh terjadi. Anak kecil itu menggeliat kesakitan. Menjerit dengan bola mata melotot dan berubah memerah.

Orang itu tidak berhenti. Ia berjalan ke arah kirinya, melanjutkan kembali hal sama seperti tadi. Satu persatu anak kecil itu tumbang.

Ini ...! Hal gila macam apa yang mereka coba lakukan di sini!

Sebenarnya aku sedikit tahu. Darah yang mengalir tadi bukanlah darah manusia biasa. Itu ... aku masih mengingatnya ketika aku memimpikan seseorang yang membacakan dongeng di buku itu kepadaku. Bahwa darah dari Iblis yang menjalin kontrak terkutuk kepada manusia bisa dibagikan melalui perantara darah penggunanya, dan hal itulah yang kini kusaksikan di sini.

Sialan! Mengapa ... mengapa harus anak-anak kecil yang terlihat lemah dan tak berdosa seperti mereka yang kalian jadikan Unhuman!

Tak bisa kumaafkan!

Tubuh dari anak-anak tadi mulai menunjukkan perubahan. Kulit mereka melepuh, lalu terkoyak. Entah bagaimana, wujud mereka kini berubah drastis.

Mereka berteriak, disertai tangisan darah dari bola mata mereka yang membengkak seperti ingin copot dari wadahnya.

Semakin aku melihatnya, aku menyadari hatiku kini tenggelam dalam emosi dan amarah yang bergejolak.

Mereka meringkuk kesakitan di atas tanah, teriakan mereka sangat pahit untuk didengar. Itu adalah suara tersiksa yang memohon ampunan.

Manusia yang berdiri di sini, mengabaikan kami. Tidak memerdulikan apapun akan akhir hidup kami. Tatapan acuh mereka, menyadarkanku akan satu hal. Semua orang yang berada di sini bukanlah manusia ... mereka tidak ada bedanya dengan Iblis. Kurasa, mereka semua memang Iblis!

Kini, hampir semua dari anak tadi berjatuhan ke tanah. Ada perbedaan mencolok yang terlihat dari anak pertama tadi. Tulang belulang menembus permukaan kulitnya, membentuk kulit lapisan baru menyerupai zirah berduri. Anak setelahnya, berubah menjadi wujud binatang bercampur, kakinya seperti burung, dan badannya seperti unggas, kedua tangannya membentuk capit meruncing, dan kepalanya tumbuh tiga wajah dengan banyak mata.

Melihatnya saja, aku merasa merinding. Untuk anak setelahnya, aku tidak ingin membicarakannya. Bentuk mereka sudah mirip seperti monster mengerikan. Monster mimpi buruk yang akan menghantui pikiran.

Perutku menjadi mual. Keringat dingin bercucuran dari wajahku. Diriku mematung, dan melamun menonton semua tragedi keji ini berlangsung. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi ... tampaknya semua sudah terlambat.

Karena, giliranku sepertinya hampir tiba. Jika dilihat, ternyata semua dari anak-anak itu telah sepenuhnya menjelma sebagai, Unhuman.

Sial!

Kemarahanku memuncak, dan sudah tak terbendung lagi. Aku ... ingin sekali menghajar orang ini. Tidak, tapi Unhuman ini!

Dia berdiri di hadapanku. Matanya begitu dingin, dan kosong. Namun, entah mengapa, tubuhku tidak bisa bergerak.

Apa aku akan berakhir seperti anak-anak itu?

Kini giliranku telah tiba, anak-anak di sampingku telah berubah sepenuhnya menjadi Unhuman. Para prajurit mulai melakukan tugasnya untuk mengurung mereka dalam kurungan besi yang sudah dipersiapkan dari awal di belakang kami, aku tak mengerti mengapa anak-anak yang sudah berubah dengan bentuk seperti itu tak memberontak, apa mereka kehilangan kesadarannya? Atau ada trik bagi orang-orang di sini untuk mengendalikan kami.

Orang di depanku mulai mendekatkan wajahnya menatapku, aku bisa mendengar hembusan dan suara napasnya yang begitu berat.

"Jadi, kau yang terakhir? Entah mengapa kau terlihat berbeda, aroma darahmu juga tidak biasa, sepertinya kau bukan berasal dari negeri ini, ya!? Dengar, anak muda ... kami saat ini membutuhkan prajurit berkemampuan unik yang dikenal dengan, Unhuman. Jadi, kami harus melakukan semua ini untuk membuatnya, jika kau berhasil kembali dengan kekuatan Unhuman, maka aku akan menjamin kelayakan hidupmu di dalam keraja—"

"Menyedihkan!" Aku menyelanya saat aku meludah ke arah wajahnya.

Aku sempat melayangkan tangan kananku untuk menghajar wajah orang ini, refleks orang itu tidak begitu buruk untuk melihatnya dan menangkap pukulanku.

"Berani juga kau ternyata!" sergahnya melotot kesal bersamaan tangan kanan orang itu menusuk dada kiriku.

Seketika itu aku merasakan denyutan kasar yang menyentuh ulu hatiku. Degup jantungku melambat, dan bersama itu gumpalan darah memuncrat keluar dari mulutku. Nafasku mulai terasa sesak. Pandanganku ikut memburam. Aku tak bisa menguasai tubuh ini lagi.

Tidak—

Aku tersungkur jatuh ke tanah, dan menatap butiran pasir putih yang menghangatkan setengah wajahku. Aku mencoba bergerak, namun tubuhku tidak mengikuti kehendakku.

Ada semacam sensasi panas yang bergejolak dalam diriku.

Apa--ini!?

Aku kembali mencoba bangun. Namun, tampaknya ini mustahil. Kesadaranku mulai tenggelam. Rasa kantuk mulai menguasaiku, memaksaku untuk segera terlelap. Perlahan-lahan kelopak mataku tak lagi kurasakan.

Saat aku akan menutup kelopak mataku untuk yang terakhir kali, terlihat sepasang sepatu hitam milik Unhuman itu yang mulai berjalan meninggalkanku.

avataravatar
Next chapter