1 Bertemu Sang Calon

Beberapa kamera tidak henti menyorot wanita berambut panjang dengan bola mata berwarna cokelat dan bulu matanya yang lentik serta kulit mulusnya. Wanita itu sedang sibuk memperagakan dirinya sebagai model iklan sabun kecantikkan.

Marsha Adinta, wanita yang sering tampil di layar kaca saat jeda acara TV. Namanya memang tidak terlalu terkenal di kalangan masyarakat karena dirinya hanyalah model iklan, bukan pemain sinetron ataupun film. Lagi pula, Marsha juga tidak ingin banyak orang mengenalnya karena itu akan merepotkannya.

Marsha kerap ditawarkan menjadi model majalah dewasa dan pemain film tapi Marsha menolak semua tawaran itu. Ia tidak suka dengan dunia entertaiment. Sama sekali tidak suka. Kalian pasti bertanya kenapa Marsha jadi model iklan jika tidak suka terjun ke dunia entertaiment. Itu karena ia dijebak oleh sahabatnya sendiri untuk melunasi hutang keluarga Marsha dan terpaksa harus menandatangani kontrak selama satu tahun untuk menjadi model iklan kecantikkan.

"Ok cut!"

Marsha menghela lega. Akhirnya dia bisa bebas dari dunia entertaiment yang tidak diinginkannya. Marsha pun bergegas mengganti pakaiannya yang terlalu mengekspos punggung telanjangnya.

Selesai sudah bebannya. Marsha tidak perlu melakukan hal yang tidak ia sukai lagi karena hari ini adalah hari terakhir kontraknya.

"Aku bisa menaikkan budget dua kali lipat kalau kau mau menandatangani kontrak yang baru."

Siapa saja pasti tergiur dengan tawaran Erico yang tak lain adalah sahabat Marsha yang telah menjebaknya ke dalam dunia entertaiment. Terkecuali Marsha, Marsha sama sekali tidak tertarik meskipun budgetnya akan di naikkan 10 kali lipat. Marsha bukanlah wanita yang gila dengan uang. Ia sadar bahwa uang hanyalah kebahagian sesaat.

"Eric lebih baik kau tawarkan kepada orang lain saja. Aku tidak tertarik," tolak Marsha.

"Ya ya aku tahu. Kau selalu saja menolak tawaranku."

Marsha tersenyum kecil. "Jika kau menawarkanku untuk makan, pasti tidak akan kutolak."

"Kalau aku ajak kencan apa kau akan menolak juga?"

Marsha langsung menghadiahi pukulan kecil di lengan Erico. Selalu saja menggodanya dengan hal itu. Bahkan Erico pernah mengatakan pada Marsha tentang ia ingin melamarnya. Tapi Marsha tahu Erico hanya bergurau. Tidak etis jika mereka yang sudah bersahabat sejak SMA timbul benih-benih cinta di antara mereka. Mereka tidak ingin merusak persahabatan yang sudah lama mereka pertahankan. Toh, Erico sudah punya tunangan.

Drrrtt Drrrtt

Ponsel pintar milik Marsha bergetar. Ada yang meneleponnya. Marsha menatap layar ponselnya, ternyata ibunya menelpon. Ibunya pasti ingin membicarakan soal perjodohan lagi. Marsha mendesah berat. Sudah sebulan ini ibu Marsha mendesaknya untuk cepat menikah dengan seorang CEO pilihan ibunya dan besok adalah batas akhir untuk menolak perjodohan itu karena keluarga Marsha tetap akan menikahinya dengan pria bernama Erwan Hardan.

"Kenapa tidak diangkat?" tanya Erico.

"Mamaku. Pasti soal perjodohan lagi," jawab Marsha rendah sambil melepaskan baterai ponselnya. Hari ini ia tidak ingin bicara pada mamanya karena pada akhirnya mau tidak mau Marsha harus menikah dengan lelaki yang belum pernah ditemuinya secara langsung. Menerima panggilannya atau tidak akan sama saja kan hasilnya? Tetap menikah.

"Seharusnya kau senang di jodohkan dengan Erwan Hardan. Kautahu kan dia siapa?"

Tentu. Tentu Marsha tahu dia siapa. Erwan Hardan turunan keluarga konglomerat yang memiliki beberapa perusahaan stasiun TV swasta. Orang terkaya nomor 3 se-Asia. Marsha sudah mencari tahu semua tentang Erwan, calon suaminya. Meskipun Erwan kaya raya, memiliki wajah tampan yang di idam-idamkan oleh para wanita, tetap saja Marsha tidak menginginkannya. Harta dan wajah tampan tidak menjamin isi hati seseorang kan? Dan pernikahan bukan suatu hal yang sepele, Marsha ingin menikah didasari cinta bukan didasari paksaan.

"Aku bahkan belum bertemu dan mengenalnya secara langsung, Rick," jawab Marsha dengan nada frustrasi.

"Kalian bisa berkenalan setelah menikah, anggap saja seperti taaruf. Toh kudengar besok kau akan bertemu calonmu bukan?"

"Sudahlah Rick. Berdebat tentang permasalahan ini pun percuma, aku tetap saja akan menikah," ujar Marsha pasrah.

Erico terkekeh. Marsha tahu Erico sangat senang jika sahabatnya dalam kesulitan seperti ini, ditambah lagi Erico mendukung perjodohan Marsha dan Erwan. Tidak ada yang membela Marsha satu pun. Lebih tepatnya tidak ada yang mengerti perasaan Marsha.

Tiba-tiba ringtone ponsel milik Erico berbunyi.

"Siapa?" tanyaku penasaran. Marsha termasuk orang yang punya rasa ingin tahu yang tinggi sekali pun tentang hal terkecil.

"Bella," jawabnya, kemudian menerima panggilan masuk.

Mendengar nama Bella, Marsha baru teringat sesuatu. Dia punya janji bersama Bella sore ini di kafe Basto. Gara-gara perjodohannya Marsha hampir lupa dengan janjinya sendiri.

"Marsha ada bersamaku Bell," sahut Erico bicara di telpon.

"..."

"Oh ya sepertinya dia lupa karena sedang memikirkan calon suaminya," ejek Erico.

Marsha memutar bola matanya. Mulut sahabatnya yang satu ini tidak bisa melihat Marsha tenang sedikit pun. Selalu saja berhasil membuatnya ingin melakban mulut Erico.

"Ok, akan kusampaikan." Erico pun mengakhiri panggilannya.

Tanpa Erico katakan apa yang Bella bicarakan, Marsha sudah tahu. Bella menelpon Erico karena ingin mengingatkan Marsha untuk tidak melupakan pertemuannya. Dan Marsha tahu pasti Bella sudah mencoba menghubunginya beberapa kali tapi ponselnya tidak aktif.

Erico menawarkan diri untuk mengantar Marsha ke tempat tujuannya tapi Marsha menolak. Marsha tahu Erico termasuk orang yang sibuk meskipun Erico sering mengabaikan kesibukannya.

"Ehm," Erico berdeham. "sepertinya kau harus mengundur waktu tuk bertemu Bella."

Aku tidak mengerti.

"Calon suamimu datang," bisik Erico.

Mulut Marsha menganga dan tambah menganga saat melihat Erwan di hadapan Marsha. Bukankah besok malam dia pulang dari Dubai? tanya Marsha dalam benaknya. Setahu Marsha, Erwan masih berada di Dubai dan besok malam ia baru mendarat di Jakarta.

"Marsha," sapanya, Erwan.

"Kebetulan sekali, baru saja Marsha membicarakan calon suaminya dan kau datang," celetuk Erico.

Kebiasaan buruk Erico yang lain yang dibenci Marsha adalah ia sok kenal pada siapa pun dan sekarang Erico sedang mempermalukan dirinya di depan calon suaminya.

Awas kau Rick, akan kubunuh kau jika ada kesempatan, sumpah Marsha.

"Benarkah?" Erwan melirik Marsha dan tersenyum simpul. "aku senang jika Marsha membicarakanku. Aku harap dia membicarakan hal yang baik."

Marsha menatap Erwan dengan malu-malu. Erwan memakai suit abu-abu dengan kemeja biru dongker. Tubuhnya terlihat idealis di mata Marsha dan wajahnya ternyata lebih tampan dari yang di foto.

"Dia bilang tidak sabar ingin menikah," ujar Erico, menertawakan Marsha.

Geram dengan omong kosong Erico yang membuatnya malu, Marsha menarik telinga kanan Erico kuat-kuat. Perbuatan Erico keterlaluan bagi Marsha. Sudah tau ia tidak menyetujui perjodohannya tapi Erico malah bicara sebaliknya.

"Aduh Aduh, sakit." Erico mengaduh kesakitan sambil menyingkirkan tangan Marsha dari telinganya.

Erwan menonton mereka yang hendak bertengkar.

"Jangan mengada-ngada. Apa kauingin aku cekik hah?!" pekik Marsha.

Erico mengabaikan Marsha, ia malah bicara pada Erwan. "Dude, hati-hati jika sudah menikahinya. Dia wanita garang," ejek Erico, kembali tertawa.

Wajah Marsha memerah karena marah sekaligus malu. Hilang sudah image baiknya di depan Erwan. Erico seharusnya menjaga pencitraan sahabatnya bukan menjatuhkannya di depan calon suaminya.

"Aku lebih suka wanita garang. Mereka seksi," tambah Erwan, larut dalam gurauan omong kosong Erico.

Hilang sudah wajah Marsha karena ia tidak tahu harus taruh di mana wajahnya yang telah di permalukan ini.

"Erico sebaiknya kaupergi sebelum aku mencincangmu," ancam Marsha.

"Tanpa kau suruh, aku akan pergi."

Baguslah, perusak image sudah hilang dari pandangan Marsha.

Marsha menatap Erwan. "Dari mana kautahu aku di sini?"

"Aku mengetahui semua tentangmu."

"Penguntit," kata Marsha. Suaranya cukup tajam.

"Apa itu salah? Kau calon istriku, jadi wajar saja aku mencari informasi semua tentangmu."

Benar juga. Marsha juga seperti itu. Selama satu bulan ini mencari seluruh informasi yang berkaitan dengan seorang Erwan Hardan.

Erwan mengajak Marsha ke restauran terdekat karena sebenarnya Erwan tidak punya banyak waktu. Dia adalah orang yang super sibuk sampai-sampai menjelang pernikahan mereka saja Erwan masih bekerja.

Marsha duduk di hadapannya tidak nyaman. Perasaan di permalukan masih lekat di hati Marsha. Ini semua gara-gara Erico, umpat Marsha. Jika saja Erico tidak bicara yang tidak-tidak pada Erwan, Marsha tidak akan merasa gugup seperti ini.

"Kau baik-baik saja Marsha?"

Mendengar Erwan memanggil namanya, Marsha mencibir dalam hatinya. Cih, sok akrab.

"Ya. Jadi jelaskan kenapa kau kemari lebih awal?"

"Seharusnya kau senang aku telah meluangkan waktu untukmu. Bukankah kauingin mengenalku secara langsung daripada mengenalku dari orang bayaranmu?"

Marsha berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat terkejut meskipun jauh di dalam lubuk hatinya Marsha merasakan sebaliknya. Marsha tidak mengira kalau Erwan tahu dirinya telah membayar seseorang untuk mencari tahu informasi tentang Erwan. Maling yang ketahuan mencuri, itulah yang Marsha rasakan kini.

"Kau benar," jawab Marsha singkat tanpa senyuman.

"Aku mengajakmu ke sini bukan untuk makan tapi untuk memilih cincin pernikahan kita," jelas Erwan sambil memanggil pelayan untuk membawakan barang yang di maksudnya.

"Memangnya kapan pernikahan kita?" tanya Marsha, menatap beberapa kotak merah yang berjajar di mejanya.

"Minggu depan."

Mata Marsha membulat sempurna. Minggu depan waktu yang terlalu singkat untuknya. Marsha belum menyetujui tanggal pernikahan mereka dan Erwan telah menentukannya tanpa menanyakan pada Marsha terlebih dahulu. Ini seperti tidak ada yang memberikan oksigen untuk Marsha bernafas. Ia sudah cukup di pusingkan dengan tekanan perjodohan ini, dan minggu depan Marsha sudah berstatus istri? Ya Tuhan, ini pasti bercanda.

"Tidak kah terlalu cepat? Kita harus saling mengenal dulu," protes Marsha.

"Mengenal lebih dekat setelah menikah juga bisa," jawabnya tenang, "pilihlah cincin mana yang kau suka." Erwan membuka semua kotak merah yang berjajar itu.

Marsha menatap satu persatu cincin yang terletak pada masing-masing kotaknya. Marsha yakin cincin-cincin yang sedang ia lihat harganya pasti bumbastis. Cincin yang mahal jika tidak ada artinya dalam hidup Marsha, sama saja murah kan? Segala sesuatu yang berarti pasti akan bernilai mahal meskipun harganya murah, begitu juga sebaliknya.

Hanya ada satu cincin yang membuatnya tertarik. Cincin polos tidak ada manik-manik berlian. Itulah yang Marsha pilih. Marsha mengambil kotak cincin itu lalu memberikannya pada Erwan. Memberi tanda bahwa Marsha lebih memilih cincin itu daripada yang lain.

Erwan tersenyum, "kita memiliki selera yang sama. Kesederhanaan. Tidak salah aku memilihmu."

Bibir Marsha refleks ikut tersenyum. Marsha pikir Erwan akan mengoceh karena memilih cincin seperti itu.

"Jujur, aku tidak suka basa-basi. Berikan jawaban yang bisa membuatku yakin padamu. Pertama, kenapa kau memilihku? Ke dua, kenapa kauingin pernikahan kita diadakan dalam waktu singkat? Ke tiga, seharusnya kaumalu karena aku yakin kautahu bahwa aku menolak perjodohan ini dalam artian lain aku menolakmu."

Tidak butuh waktu lama untuk mendengar jawaban dari Erwan. Erwan menjawabnya dengan lancar, tegas tanpa keraguan sedikit pun sehingga membuat Marsha menganga lebar.

"Pertama, ada daftar 10 wanita yang orang tuaku berikan. Aku disuruh memilih satu di antara mereka. Aku tidak ingin salah mencari pendamping hidup karena pendamping hidup sangat berarti untukku. 10 wanita itu kucari tahu tentang kesehariannya dan kepribadiannya termasuk dirimu. 9 di antaranya termasuk dalam katagori jalang, manja, merepotkan, dan hobi membuang uang untuk hal yang tidak berguna. Aku tidak suka kategori itu, dan kau satu-satunya yang mampu membuatku tertarik dengan kesederhanaanmu. Mandiri, ambisius, bekerja keras, dan pintar.

"Ke dua, aku tidak suka menunggu hal yang sudah pasti jika kesempatan itu sudah tepat berada di depan mataku.

"Ke tiga, penolakan itu yang membuatku semakin tertarik padamu. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dari sekian banyak wanita yang kukencani hanya kau yang berani menolakku. Aku akan merasa malu jika aku melakukan kesalahan. Faktanya apa yang kulakukan sejauh ini tidak ada yang salah."

Marsha termenung. Otaknya sedang berpikir keras. Baru pertama kali ada pria yang bisa menjawab pertanyaan pedas Marsha dengan tegas tanpa celah keraguan. Tapi itu semua masih belum cukup baginya. Marsha menginginkan lebih.

"Apa keuntungan bagiku jika aku menjadi istrimu?" Marsha merasa seperti pihak introgasi.

"Milikku milikmu."

Jawabannya kali ini membuat Marsha bertanya-tanya dalam hatinya. 'Milikku milikmu' sangat ambigu bagi Marsha.

"Cinta, keharmonisan, kebahagian, kekayaan, dan tentu saja diriku," jelas Erwan, "apa jawabanku masih belum sempurna bagimu?"

Tidak salah kenapa keluarganya ngotot dengan perjodohan ini. Erwan hampir mendeketi sempurna dan harus Marsha akui bahwa Erwan termasuk pria idamannya setelah mendengar jawaban Erwan.

"Jawabanmu sudah sempurna tapi kautahu kesempurnaan itu patut dicurigai," ujar Marsha menutupi ketertarikannya.

Erwan terkekeh. "Apalagi yang kau curigai tentang diriku? Apa orang bayaranmu menemukan celah buruk tentangku?" sindirnya.

Marsha merasa terpojok dengan sindirannya.

"Percaya dirimu cukup tinggi rupanya."

Mereka pun berbincang-bincang cukup lama. Yang tadinya Erwan katakan hanya 'sebentar' menjadi lama. Mereka bicara berjam-jam lamanya tanpa di sadari. Erwan pandai dalam mengambil tema bicara mereka, yaitu mengenai makanan tradisional, jenis topik pembicaraan yang membuat nafsu Marsha memuncak. Marsha tidak pernah malu mengatakan bahwa ia lebih menyukai makanan tradisional di bandingkan makanan modern, bahkan Marsha untuk pertama kalinya mengatakan pada seseorang bahwa ia menyukai semur jengkol. Oh tidak. Sebenarnya Marsha tidak menyukai semur jengkol, ia hanya ingin membuat Erwan ilfeel dengannya.

"Kau serius suka semur jengkol?" mata Erwan membelalak. Ekspresinya seperti terkena serangan jantung.

Marsha mengangguk senang. "Ada yang salah?"

"Kau seharusnya menjaga image-mu di depan calon suamimu."

Erwan melirik arjolinya. "Aku harus ke kantor."

"Oh baiklah. Lagipula aku sudah ada janji dengan sahabatku," kata Marsha.

"Perlu kuantar?" tawar Erwan.

"Tidak. Aku naik taksi saja," tolak Marsha.

Marsha harus segera pergi ke kafe Busto. Ia sudah terlambat. Bella pasti sudah menunggunya sejak tadi.

avataravatar
Next chapter