3 Once Upon A Time

Pada zaman dahulu, hiduplah lima anak yang sehat dan kuat. Meskpun mereka tidak bersaudara, mereka selalu bersama dan saling membantu satu sama lain. Tak ada yang berani menggaggu mereka. Karena mereka adalah penguasa di habitatnya.

Namun, suatu hari seorang perampok dan bawahannya menculik salah satu saudara mereka yang paling muda. Tentu saja keempat anak yang tersisa dengah gagah berani menyerang sarang perampok tanpa kenal takut.

Setelah menghadapi perkelahian yang sengit, keempat anak itu berhasil menyelamatkan saudara termuda. Akhirnya, mereka hidup bahagia selamanya...

***

"Ah, yang nasi goreng di kantin kita emang enak!" Karin menarik-narik tangan Andri dan Widia. "Besok nyoba pangsitnya yuk! Katanya anak kelas sebelah enak loh."

Andri tertawa kecil. "Bukannya minggu kemarin udah yah? Makan bareng Andre sama Riki."

"Hah? Mana ad—OH! YANG ANDRE MINTA TRAKTIR ITU YAH!" kini giliran Karin yang geleng-geleng. "Tuh anak kayak pengemis aja. Padahal tiap hari dia datang ke sekolah bawa motor sport merah yang harganya nauzubilah."

Ketiga cewek itu asik ngobrol sambil jalan ke kelas XI TKJ. Mereka harus melewati gudang sekolah lama dulu sebelum ke naik ke kelas yang ada di lantai dua.

BRAK!!

Karin tak sengaja tersandung 'sesuatu' yang tiba-tiba jatuh di depannya. Cewek itu meringis kesakitan dan dibantu kedua temannya untuk berdiri. Ketiganya terbelalak melihat badan Andre yang jatuh dihadapan mereka. Belum lagi baju sekolahnya yang kotor terkena tanah.

"Ya ampun, Ndre! Kamu ngapain tiduran di tanah kayak gitu?" kata Widia yang jiwa PMR-nya muncul melihat Andre babak belur. "Andre! Badanmu kok banyak biru-birunya? Jangan-jangan—"

"—AWAS!"

BUGH!

Tiba-tiba Andre bangkit dan menarik Widia ke belakangnya. Namun sepotong kayu dipukulkan ke punggung Andre saat pemuda itu melindungi Widia. Kedua gadis yang melihat adegan itu berteriak panik. Si pelaku pemukulan kini memandang Karin dan Andri yang mundur perlahan.

"SIALAN LO!"

Teriakan itu bersamaan dengan munculnya Dani dan seorang pemuda lain yang memakai jaket klub futsal sekolah. Keduanya melayangkan tinju yang tidak bisa dihindari oleh orang yang membawa kayu itu.

Dani tersenyum puas setelah menghajar orang yang sudah menyakiti temannya. Dia sendiri mengenali si pelaku pemukulan. Namanya Angga. Dalangnya perkelahian kali ini. Alasannya sih simple aja. Cowok itu suka sama Lani dan kepingin bikin Ferdy hancur sehancur-hancurnya dia.

Tapi... nggak ada satu orang pun yang bisa menandingi Dani dan kawan-kawan di SMK Garuda. Mereka ini pemimpin di sekolahnya. Pelindung dari gangguan eksternal dan internal. Contohnya yah kasus rebutan ceweknya Ferdy ini.

Mata Karin tak henti-hentinya memandang kagum pada Dani. Gadis satu itu mengagumi cara Dani setia terhadap teman-temannya. Jaman sekarang 'kan jarang banget ada teman yang setia sampai rela babak belur. Namun segera digeleng-gelengkan kepalanya pelan. Meskipun kagum, Karin juga sedikit ngeri dengan cara Dani menyelesaikan masalah.

"Dani!" satu pemuda lagi berlari ke arah mereka. Keringat membasahi seragam sekolahnya. Pemuda itu membungkuk sebentar sebelum berhadapan dengan Dani. "Gue udah bantuin Ferdy ke UKS. Tapi tadi gue denger guru-guru bakalan kesini. Mendingan kita cabut aja sekarang."

"Ga bisa. Gue bawa cewek. Andre aja ngelindungin temen sekelas kita, ri."

Fakhri baru menyadari kehadiran tiga cewek yang wajahnya sudah memucat. Kapten klub futsal itu menghela nafas dan menarik tangan Andri yang berdiri tak jauh darinya.

"Mendingan kita kaburnya pisah. Riki biar bantu Andre sama Widia. Terus gue sama Andri. Elo kabur aja sama sekertaris kita, Dan. Eh—cewek-cewek ini gapapa 'kan bolos sekali aja?"

ketiga gadis itu langsung mengangguk bersamaan. Nggak mau ambil resiko kepergok guru kalau lagi bareng sama para berandal nomor satu di SMK Garuda meskipun nggak terlibat perkelahiannya.

"Oke, abis keluar dari sekolah, kita ngumpul di tempat biasanya. Nanti gue kontak Lani sama Naufal biar bisa ngebantu Ferdy keluar."

Tanpa aba-aba, Riki, cowok yang memakai jaket klub futsal itu lari ke arah Andre yang pingsan. Widia juga membantu menompang tubuh besar Andre di sebelah kanan. Setelah bayangan ketiga orang itu hilang dari pandangan, giliran Fakhri dan Andri yang kabur.

Melihat teman-temannya sudah pergi jauh, Dani menggenggam pergelangan tangan kiri Karin. Kemudian menariknya ke arah kantin. Jalan pintas tercepat menuju WC sekolah.

Bersusah payah Karin menyamai langkah Dani yang cepat. Apalagi gadis itu memakai rok panjang hingga menyentuh lantai. Dani diam-diam melirik ke belakang. Mengamati Karin yang memegangi jilbabnya agar tidak tertiup angin.

Terdengar suara riuh murid-murid di kantin. Dani dan Karin pura-pura tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi. Keduanya berjalan biasa saat para murid ada yang berlarian ke gudang sekolah karena penasaran.

Mendadak Dani berhenti saat mengintip koridor kelas sepuluh. Pak Dadang sudah memblokir jalan pintasnya sambil menginspeksi murid-murid yang lewat koridor ini satu persatu. Padahal jalan lurus sampai mentok di ujung terus belok kiri dan jalan dikit aja, disitulah WC sekolah.

"Argh! Pak Dadang!" bisik Dani kesal yang terdengar mendesis.

Dani berbalik menghadap Karin. Cowok itu menunduk sedikit agar mulutnya bisa sejajar dengan telinga gadis di sampingnya.

"Lo jalan aja. Pura-pura abis makan dari kantin. Jangan sampe ketahuan kalo lo mau kabur bareng gue."

Karin tiba-tiba gugup."T-terus kamu gimana? K-kaburnya..."

"Tenang aja," Dani tersenyum. Salah satu sudut bibirnya ditarik. Menunjukkan seringai kemenangan. "Gue lewat jalan mutar. Nanti ketemuan di WC sekolahnya. Gue jamin Pak Dadang nggak bisa nangkap kita, oke!"

Setelah mengucapkan itu, Dani menepuk pundak Karin sebelum berlari ke belakang gedung kelas sepuluh. Cowok itu nggak sadar udah bikin Karin blushing parah sampai-sampai terdiam di tempat.

'Bolos bareng Dani! Dani yang ini! Yang biasanya ngintip waktu Andre buka majalah gravure! Yang biasanya suka tebar pesona sama cewek-cewek pas main basket! Dani... Dani yang... nilainya paling bagus padahal suka tidur di kelas!'

Karin menepuk-nepuk pipinya. Mimpi apa dia semalam sampai bisa dapet kejadian kayak hari ini?!

"Fotonya..." tiba-tiba Karin teringat foto yang diam-diam diambilnya siang tadi. Rasanya dia agak bersalah karena ingin menggunakan foto itu untuk membuat Dani jadi babunya.

Kini Karin tertawa. Masalah foto itu nanti saja, pikirnya. Sekarang, dengan senyuman yang tak luntur-luntur dari wajahnya, Karin bersemangat menyapa Pak Dadang.

***

Helaan nafas kembali terdengar untuk yang kedua kalinya. Seorang pemuda yang menyandarkan tubuhnya di tembok pagar pembatas itu memandang orang-orang yang berlalu lalang. Melihat malas ke lantai satu yang hanya dilewati anak kelas satu.

"Hm, nggak ada yang menarik," keluhnya.

Ia terus mengamati hingga sesosok gadis berjalan dan menyapa Pak Dadang dengan suara cemprengnya. Gadis itu bercakap-cakap dengan guru paling killer tanpa tahu jika dia diawasi. Pemuda itu tersenyum—lebih tepatnya, menyeringai. Si pemuda tahu siapa gadis itu. Meskipun hanya sedikit memori yang tersisa di benaknya tentang Irana Karin. Gadis yang berharga untuknya.

"Sudah berapa lama, ya? empat-lima tahun?" si pemuda tertawa. Kemudian kembali menatap sang gadis yang berjalan menjauh dari pak Dadang menuju WC sekolah. "Akhirnya gue nemuin lo, rin."

avataravatar