3 Episode 2A – White Color of the Moon isn’t Snow

'...Tangan itu...? kemanakah tangan itu pergi? Sebuah tangan hangat yang telah menyelamatkanku dari neraka kesepian? Kemanakah, perginya tangan itu...?'

Bertempat di dunia mimpi yang hanya berisi gelapnya kehidupan. Satu cahaya kecil datang dari pemutar film yang terlihat jauh di tengah dunia. Sebuah layar monitor yang cukup besar saat didatangi; memutarkan sebuah rekaman kehidupan buram yang patut dilupakan.

Tangan kanan dengan jari-jari panjang nan indah. Lembut, halus, dan putih tangan itu terjulur dengan ramah dan hangat.

'...tak salah lagi... senyum itu...itu kau bukan...'

Seragam yang dikenakannya terasa familiar dengan model blazer hitam bergaris putih yang begitu elegan. Nampak sekilas, ia terlihat seperti seorang pelayan yang menyambut tuan dengan lembutnya.

Tapi, bukan itu yang menarik perhatian matanya.

Sebuah wajah dengan rambut panjang yang berwarna hitam itu sungguh sulit dikenali. Wajahnya tertutup oleh rambut dan bayangannya sendiri. Hanya sebuah senyum kecil nan lembut yang dapat dilihatnya sekarang.

Gadis itu; si penonton utama dan satu-satunya dalam bioskop yang tercipta dalam dunia mimpinya kini sedang menatap ke layar monitor dengan wajah kecewa.

"Aku begitu mencintaimu... karena itulah... aku ingin melupakan dirimu..."

Ungkapan yang dia ungkap akhirnya hanya menjadi sebuah ungkapan kosong belaka.

Pada akhirnya, perasaan yang dia miliki tak mampu memberinya kekuatan untuk mengahapus semua kenangan. Justru, tangannya kini seakan bergerak dengan sendirinya dan tubuhnya bangkit untuk mendekati layar monitor raksasa itu.

Dia mencoba meraih tangan yang sedang terjulur ke arahnya.

'Aku ingin melupakan dirimu... tapi, ini mungkin akan sulit bagiku 'tuk lupakan semua hal yang dirimu lakukan...'

Beberapa senti lagi dia menyentuh layar monitor itu.

Tapi, layar itu seketika mati dan bayangan yang terbentuk di dalamnya hilang dalam sekejap.

'Tch... kanapa kau selalu begitu kepadaku... disaat kau memberiku sebuah kesempatan... kau selalu pergi saat aku ingin menggunakan kesempatan itu...'

Satu-satunya cahaya kini telah musnah. Sebuah dunia mimpi yang tercipta kini tersisakan oleh kegelapan tanpa batas.

Tubuh gadis itu kini seakan melayang di angkasa yang luas dan perlahan ditarik oleh kesadaran untuk kembali ke dunia asalnya.

'...Sekalipun di dalam mimpi...ku bahkan tak dapat bersama dirimu...Haru..'

Mata merah itu perlahan terbuka bersama dengan kesadaran lemah yang mulai terkumpul. Rambut merah panjang itu tersebar ke segala arah karena tak ada yang mengikatnya. Bibir merah merekah itu menggoda saat menghembuskan nafas hangat yang terlihat mengkabut di pagi hari.

Suara lonceng persembahan yang dibunyikan oleh orangtua terdengar hingga mengetarkan hati.

Futon kecil sederhana adalah tempatnya tidur.

Dia segera terbangun dan merapikan tempat tidurnya.

Wujud seorang gadis muda nan cantik adalah kesan pertama yang dapat terlihat. Mata dan rambut merah yang panjang merupakan daya tarik utama selain tahi lalat yang berada di bawah mata kirinya.

Tubuhnya tak terlalu tinggi dan terlihat cukup ramping dengan pakaian kuil sederhana yang ketat di pinggangnya. Dadanya terlihat begitu nyata karena ketatnya bagian pinggang tersebut dan bagian atasnya dibuat lebih longgar seakan untuk memberi ruang untuk dadanya itu.

Saat dia berdiri tepat di depan cermin. Bukan pantulan manusia yang berada di dalam cermin itu. Tapi, lebih terlihat seperti malaikat yang turun langsung dari surga dan diberkahi oleh ribuan rahmat dewa.

Di antara keindahan yang tersajikan dan di antara udara dingin yang membelai kulit dan pikiran. Wajah datar nan muram itu seakan mengurangi nilai estetika dari gadis itu.

Karena itulah, cermin yang memantulkan keseluruhan bayangan akan dirinya nampak menyilaukan dengan segaris cahaya yang menutupi wajahnya. Mungkin, cermin itu tak mampu untuk menampakkan wajah yang begitu mengecewakan itu.

Gadis itu memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat dengan lembut layaknya tuan putri yang menari anggun dengan sang pangeran tercinta.

Rambut panjangnya yang tak terikat dan bebas sedikit terbang ke udara mengikuti gaya yang tercipta.

Dia keluar dari ruangan itu dengan sebuah handuk putih tebal yang dilipat dengan rapi di dalam peluknya. Tebal handuk yang kering itu mungkin bisa sedikit memberi kehangatan dalam hatinya yang sedikit beku.

Tempat itu begitu luas dengan kayu sebagai bahan utama bangunannya.

Lantai kayu coklat mengkilap, dinding kayu yang nampak kokoh sekalipun sudah tua, dan pintu geser yang terbuat dari kertas menambah nilai budaya dan sejarah yang perlahan menumpuk.

Bangunan itu; tempat yang menjadi rumahnya tinggal. Berada dalam satu kawasan dengan sebuah kuil yang keluarganya jaga dari generasi-ke-generasi.

Sekilas, tempat tinggalnya terlihat begitu luas dan mewah. Tapi, itu hanyalah sebuah warisan yang di turunkan entah dari kapan.

Berada di puncak sebuah bukit dengan pepohonan hijau yang menjadi pagar alaminya. Tempat itu nampak tersebunyi di balik dedaunan hijau nan segar. Tak ayal, tempat itu terasa sangat dingin disetiap harinya.

Namun, rasa dingin itu tak selamanya bertahan dan sebentar lagi akan sirna.

Sebuah tempat pemandian yang cukup besar bagi satu gadis kecil sepertinya telah terbuka dan menampakkan uap-uap hangat yang siap menutupi bagian R18+ yang tak pantas disajikan bagi kalayak umum.

Tempat ini adalah pemandian air panas yang memang telah ada semenjak kuil ini berdiri. Bisa dibilang, tempat ini merupakan aset pribadi keluarganya.

Perlahan...

Dia melepas pakaiannya yang didahului dengan ikatan yang ada di pinggangnya. Pakaian yang dia kenakanpun terlihat semakin longgar dan pasti terjatuh dengan tiupan kecil sekalipun.

Tumitnya yang mulus tanpa retakan sedikit memerah dengan uap hangat yang tercipta. Sebuah kain seketika jatuh dan menutupi tumitnya; kain itu adalah pakaiannya.

Setelah pakaian kuilnya terlepas. Tak ada satupun kain atau pakaian lain yang digunakannya.

Seragam sekolah yang terlihat seperti gaun one piece cantik telah dikenakannya dengan baik. Sekalipun terasa sesak di bagian dadanya. Dia sepertinya cukup dapat menerima keadaan itu; dapat dilihat dengan ekspresi yang belum juga berubah.

Warna dari seragam itu dominan putih dengan garis merah yang terlihat cukup manis di ujung roknya yang hanya sepanjang pahanya. Pundaknya nampak terbuka; begitu halus dan terlihat cukup hangat dengan warna merah seperti kepiting rebus yang matang.

Rambut panjangnya yang sebagian besar menutupi punggung hingga pinggulnya kini ditata rapi dengan sebuah pita putih dan membentuk sebuah gaya rambut yang terlihat seperti ekor merah yang begitu panjang.

Persiapan itu belum menemui akhir.

Sebuah blazer bergaya pelaut dengan warna merah halus yang cukup menenangkan hati telah diambil. Bahan dari blazer itu terlihat cukup tebal dan kaku tapi masih terasa cukup nyaman. Lengannya panjang sehingga dapat menutupi pundak hingga pergelangan tangannya.

Tas jinjing coklat gelap menjadi senjata utama sebelum berangkat ke sekolah. Tak lupa, stockin hitam panjang digunakan untuk memberi kehangatan tambahan kepada kaki-kakinya yang terbuka.

Gadis itu melakukan segala persiapannya di depan cermin riasnya yang besar. Tapi tak sekalipun dia mengahadap cermin besar itu. pada akhirnya, dia mengahadap cermin itu sebagai penutup terakhir dari persiapan yang dia lakukan.

'...seperti biasa...'

Dia menanggapi pantulan cantik yang menatapnya sebagai sesuatu yang biasa. sekalipun dengan tampilan tercantik dan termanis manusia. Jika tatapan datar tak berekspresi itu selalu terlihat; tentu rasa bosan akan singgah dan menuntun kata biasa yang sebenarnya tak patut disandangnya.

Persiapan selesai...

Sepatu coklat sederhana telah terpasang di kaki kanan dan kirinya. Memposisikan sepatunya sejenak untuk mendapat kenyamanan terbaik. Dia mulai menegakkan badanya dan mengahadap ke dalam tepat kepada kedua orangtuanya.

"Aku berangkat...Ayah...Ibu..."

"Hati-hati di jalan, Shirayuki..."

Sedari tadi dia memang tak tersenyum dan tak berekspresi. Tapi, demi memberi rasa lega kepada orangtuanya. Dia mencoba untuk menarik kedua sisi bibirnya untuk naik dan membentuk sebuah senyuman.

Tentu saja, untuk gadis seperti dirinya. Sebuah senyum palsu terpaksa dapat berubah menjadi tampilan yang mempesona. Sehingga, tanpa menaruh rasa curiga apapun. Kedua orangtuanya juga membalas dengan senyuman terindah sembari memberi doa agar anaknya tetap selamat sampai tujuan.

Ratusan anak tangga menanti dan menjadi teman seperjalanan Shirayuki dalam menuruni tingginya bukit itu.

Rasa lelah tak pernah dirasa karena telah terasah oleh kebiasaan. Entah sudah ratusan atau bahkan ribuan kali dia melewati tempat ini hingga tubuhnya terbiasa.

Di ujung anak tangga; lima anak tangga menunggunya untuk diinjak. Tapi, dia lebih memilih untuk melompat lembut dan mendarat dengan satu kaki kanan sebagai pendahuluan. Saat itu juga, mengikuti gaya yang tercipta; roknya sedikit terangkat dan menampakkan sebuah dalaman putih yang tertutup oleh cahaya mentari.

Seketika itu juga dia menutup dan memposisikan kembali roknya pada keadaan yang benar. Wajahnya cukup datar untuk menanggapi kejadian memalukan itu.

Mungkin, karena tak ada orang saat itu.

Itulah yang terlintas dalam pikirannya yang masih cukup polos. Sehingga, dia tak khawatir ada yang melihat isi roknya saat itu.

Terus berjalan kedepan menuju masa depan...

Menapaki trotoar yang di pagari oleh pepohonan hijau yang begitu indah dan menyejukkan. Sesekali daun kering jatuh dan membelai rambutnya.

Matanya terbuka lebih lebar dari biasanya dan seakan pancaran sinar merah menyala dari kedua matanya saat itu.

Rasa kaku mulai menjalar dari ujung kakinya dan getaran kecil mulai terasa di tubuhnya.

Semua perasaan itu datang setelah melihat taman indah dengan banyak bunga sakura yang masih mekar.

Bunga sakura di tempat itu indah semuanya. Tapi, satu pohon terbesar yang ada di tengah begitu menarik perhatiannya. Bukan karena keindahan yang disajikannya saja; tapi karena berbagai kenangan yang telah tertanam bersama bunga sakura itu seakan memiliki ruang khusus di hati dan pikirannya. Dimana semua kenangan itu adalah kenangan gelap yang sebaiknya dia lupakan.

Bunga itu, menjadi pengingatnya akan sosok yang paling dicintainya namun sekarang telah hilang entah kemana.

Bunga itu juga, menjadi saksi kata 'benci' yang diucapkan oleh salah satu teman terbaiknya.

Tapi, semua kegelapan yang masih membekas di hatinya itu tak dapat menghentikan setiap langkah yang tak sadar diambilnya. Rasa rindu dan penasaran masih menghinggapi pikirannya sehingga dia terus melangkah ke pohon sakura itu.

Setelah dia cukup dekat dengan pohon itu. Dia mengulurkan tangannya yang halus dan menyentuh pohon itu dengan anggun.

"Haru... ku masih sangat ingat... betapa kau menyukai pohon ini..."

Senyum indah mulai terlihat. Itu bukanlah suatu kepalsuan atau keterpaksaan; senyum itu terlihat sangat tulus.

<<>>

Pintu terbanting keras menunjukkan sebuah kamar yang cukup gelap. Tak banyak cahaya yang memantul pada ruangan itu kecuali satu cahaya cerah dari layar monitor yang digunakan Gekkou untuk bermain gim. Adiknya datang dengan sedikit wajah kesal.

"Kakak... mau sampai kapan kau bermain game?"

Suara itu terdengar begitu jelas setelahia melepas headphonenya. Nada tinggi memang tepat bagi wajahnya yang begitu manis. Dengan rambut pendek yang berwarna sama dengan pemuda yang tengah ia duduki; gadis itu nampak begitu manis. Suaranya memang sedikit mengangu telinga. Tapi, logat dan bahasa yang dia gunakan seakan masih seperti seorang gadis SD dan bisa dikatakan bahwa wajah, tubuh, dan suaranya adalah sebuah perpaduan yang begitu sempurna untuk dijadikan adik perempuan sampai kapanpun waktu berjalan.

"Berisik sekali sih,Umi..."

Kedua pasang mata yang sama-sama ungu terang saling bertatapan. Bahasa mulut yang begitu singkat telah dilanjutkan tatap mata yang mengandung berbagai kode rumit yang hanya bisa dipahami pasangan kakak-adik ini saja.

Tanpa eksepresi dan emosi, pemuda yang bernama Akatsuki Gekkou itu tetap menatap datar dengan satu tetes keringat yang telah muncul di dahi kirinya.

Satu hembusan nafas telepas dari mulut Gekkou yang langsung meluncur hangat membelai leher

"Kakak itu... terus-terusan main game hingga lupa waktu... bagaimana jika kesehatanmu terganggu, kak!"

"He-hentikan Umi... baiklah aku mengerti... kau hanya mengkhawatirkanku saja bukan?"

"Ha—hah... a-apa yang kau bilang kak!"

Wajahnya semakin memerah. Kulit wajahnya yang putih mulus telah tenggelam dalam uap hangat yang mematangkan seekor kepiting laut ukuran besar.

"A-aaku sama sekali tak mengkhawatirkanmu... ha-hanya saja... aku bertanggung jawab dengan kehidupan kakak yang begitu berantakan karena mama dan papa jarang pulang..."

"Baiklah...mama."

Balasan yang diberikan Gekkou sangatlah pelan dan sampai. Tapi nampak jelas dalam akhir katanya; ada sebuah nada yang terasa sedikit menyindir.

"kakak...! kau menyebalkan... cepatlah bangun dan pergilah ke meja makan... aku sudah membuatkanmu makan malam..."Umi berbalik.

"Ohh! Sudah malam kah?"

Gekkou mengucap santai kata-kata di atas dengan tatap mata datar dan seakan ini hanyalah sesuatu yang sangat biasa.

<<>>

Pagi datang kembali menyapa setiap jiwa yang masih terjebak dalam dunia mimpi.

Sebutir salju mendarat di atas tangan dan sesaat sebelum digenggam; butir salju itu mencair dan hilang begitu cepat.

Mata terbuka; sepasang lensa ungu cerah memancarkan cahaya yang lebih terang dari mentari yang masuk ke dalam kamarnya.

Ingatan lemah seketika tertulis kembali dan mengingatkan hari ini adalah hari pertama masuk sekolah sebagai siswa SMA.

"Kakak! Bangunlah! Bukankah ini hari pertama masuk sekolah!" suara datang dari balik pintu yang diketuk.

Daripada disebut sebagai adik perempuan. Gadis itu mungkin lebih pantas dipanggil ibu. Sikapnya yang sok dewasa layaknya orangtua itu sebenarnya cukup imut; tapi jika dilakukan terus-menerus tanpa rasa kepekaan yang kuat; itu hal yang membosankan dan menyebalkan.

Seperti biasa, panggilan itu ditujukan kepada satu-satunya kakak kesayangannya.

"Baiklah Umi... aku bangun..."

Mendengar tanggapan Gekkou pagi itu. Umi langsung berbalik karena tujuannya telah tercapai.

Baiklah...

Kembali pada pemuda berambut ungu gelap dan mata ungu cerah yang masih berdiskusi dengan selimutnya. Ia mungkin berpikir sejenak, untuk lanjut bangun dan beraktifitas atau lanjut tidur dan bersantai.

Tangan kanannya terangkat dan menahan kepalanya yang hampir terjatuh.

"...Arrgghh... menyebalkan..." keluhnya sejenak.

Segera bangkit dari tempat tidur.

Ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dengan jeda yang tak begitu lama. Ia keluar kembali untuk segera berganti dengan seragam sekolah barunya.

Kemeja putih panjang, blazer merah bergaris hitam, celana panjang merah yang begitu sederhana.

Semua pakaian itu berpadu menjadi seragam sekolahnya yang baru. Satu dasi hitam juga ikut dikenakan sebagai pelengkap penampilan. Sebuah tanda sekolah berwarna emas tepat di atas jantungnya nampak sedikit mengkilap saat Gekkou selesai mengenakan seraganya.

Rambut ungunya terlihat cukup panjang dan sebagian helai rambutnya menyentuh alisnya. Tanpa satupun usaha perapian; ia berlanjut keluar untuk melanjutkan prose rutinitas baru yang harus ia jalankan.

Seragam putih biru bermodel pelaut dengan rok biru pendek berpadu dengan stocking putih panjang dan celemek putih bergambar hati tengah menantinya di samping meja. Sembari memegang panci penggorengan yang hampir menjatuhkan telur mata sapi di atas nasi. Umi; adik Gekkou; menatap ke arahnya dengan penuh cahaya pagi di matanya.

Rambutnya mungkin tak terlalu panjang untuk seorang perempuan. Model asimetris rambutnya yang pendek dengan bagian kiri yang lebih panjang. Sebuah antena yang biasa disebut sebagai ahogenampak selalu bergerak layaknya ekor kucing.

[Author_Note...Ahoge adalah sebuah rambut yang terlihat tepat di atas kepala seseorang dan dapat beregerak layaknya ekor...ehm... mungkin hanya itu yang bisa saya jelaskan]

"Selamat pagi Kakak!" sapanya semangat.

"Pagi..." balas Gekkou sedikit malas.

"Nyaa... kakak! Semangatlah sedikit, bukankah ini hari pertama sekolah? Seharusnya kau tunjukkan sedikit semangatmu dong!"

"Ok Ok"

Membalas dengan santai dan tanpa menatap ke arah Umi. Gekkou menjatuhkan diri ke atas kursi sembari memejamkan matanya sejenak.

Umi berbalik dan melepas celemeknya. Menggantungnya di sisi tembok yang telah tersedia. Dia segera kembali untuk sarapan bersama kakaknya.

"Baiklah... selamat makan..."

Makan selesai, waktunya berangkat.

"Aku duluan Umi..."

Sekolah yang mereka tempati memiliki SMP dan SMA yang berada dalam satu kompleks yang sama. Sehingga, arah yang mereka tuju pun seharusnya sama. Tapi, Gekkou memilih untuk berangkat lebih dahulu.

Wajah santai Gekkou nampak tenang meninggalkan Umi yang masih menyibukkan diri dengan sisa alat makan berusan.

"Hati-hati di jalan, Kakak."

Langkah kakinya nampak begitu teratur. Tangan kanan memegang sebuah tas coklat yang terlihat ringan. Angin melintas sejenak dan mengangkat rambutnya.

Musim yang begitu bagus. Pepohonan masih menunjukkan kesehatannya dan kehangatan masih terasa begitu jelas di atas kulit.

Satu bukit yang cukup tinggi telah berada di depan mata;sebuah bukit yang memiliki kuil tepat di puncaknya.

Kakinya terhenti sejenak. Mimik wajahnya sedikit berubah menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Ia sebenarnya tak terlalu suka untuk lewat tempat ini. tapi, mau bagaimana lagi? Ini adalah jalan tercepat untuk sampai di sekolah.

Barisan tangga terlihat jauh di depan mata. Tepat di atas anak tangga itu. sesosok cahaya malaikat yang sebenarnya hanya manusia datang dengan elegan dari atas; Kamakura Shirayuki.

Rambutnya yang merah panjang dan ringan nampak terbang dengan sedikit hembusan angin yang melintas. Ia berhenti sejenak untuk menghindari kontak dengan gadis itu.

Jarak antara mereka berdua pastinya masih jauh. Berbekal mata sehat yang tak kunjung rusak sekalipun sering digunakan untuk bermain game. Ia menatap Shirayuki yang turun dengan indah.

Beberapa saat kemudian. Matanya terbuka semakin lebar.

Lompatan kecil nan indah telah dilakukan Shirayuki. Cara jatuhnya begitu indah layaknya gravitasi bumi sedang tak berfungsi. Sepasang sayap putih yang terlihat seperti sayap merepati nampak terlihat di punggungnya bersama sebuah lingkaran cahaya emas yang mengelilinginya. [Imajinasi Gekkou]

Pipinya memerah diikuti oleh seluruh wajahnya yang semakin menguap. Mulutnya mengaga untuk mengurangi efek 'panas' yang ia rasakan saat itu.

Ungu cerah matanya tiba-tiba berubah menjadi pantulan obyek putih segitiga yang memenuhi matanya.

"A—AWWW—HH" Gumamnya tak jelas.

Sesaat kemudian, ia mencari pohon terdekat untuk bersembunyi.

"I—iitukan... celana dalamnya... Sh-shirayuki... a-aku tak melihat apapun..." gumamnya gugup.

Daripada disebut sebagai kepala manusia; wajahnya lebih terlihat seperti kepiting rebus yang baru matang.

Desah nafasnya nampak tak beraturan diserang rasa nafsu yang lewat sekilas. Ia mencoba bersembunyi sebaik mungkin, memegang dadanya dengan tangan kirinya sembari merasakan detak jantung yang semakin tak terkendali. Ia menarik nafas panjang perlahan untuk mengembalikan kesadarannya.

Sesaat setelah akal sehat kembali.

Ia perlahan melirik ke arah anak tangga yang menunjukkan potongan adegan yang cukup panas tadi. melihat ketiadaan Shirayuki; ia meyakinkan diri untuk lanjut berjalan kaki sembari mengawasi sekitar.

Perlahan ia melihat Shirayuki di kejauhan. Sangat jauh bagi pandangan matanya dan gapaian tangannya. Seakan, dia benar-benar tak dapat disentuh oleh manusia sepertinya.

Taman indah dengan bunga sakura yang mendominasi isinya terlihat tepat bersama merah indah rambut Shirayuki.

Ia terhenti sejenak karena melihat Shirayuki yang tiba-tiba terhenti. Matanya dapat dengan mudah melihat kilau merah elegan yang datang dari pancaran mata Shirayuki yang berkaca-kaca.

Angin sesekali melintas dan membelai kulit dan rambut ungu gelapnya. Di kejauhan, rambut Shirayuki pun tak luput dari kejahilan sang angin pagi.

Shirayuki berjalan pelan mendekati pohon sakura terbesar yang ada di tengah taman. Pohon terindah yang pasti menarik mata siapa saja.

Mata Shirayuki berkaca penuh harap dan mata Gekkou semakin buram ditelan rasa bersalah.

Tak perlu untuk melihat secara rinci. Gekkou telah tahu betul apa yang dirasakan dan memenuhi hati Shirayuki saat ini.

Rasa rindu, sedih, kecewa pasti dirasakan gadis itu saat ini.

'Maaf Shirayuki... karena salahku...' gumam Gekkou.

'...Tak usah berpura-pura... bukankah kau sengaja melakukannya... bukankah ini yang selama ini kau harapkan...'

Siluet hitam pertanda kegelapan dalam dirinya nampak berdiri tepat di belakangnya. Dengan senyum tipis layaknya bulan sabit. Bayangan itu berbisik kata kejam dengan ringan kepada Gekkou.

avataravatar