3 Sebuah Tawaran

"Tidak, mamaaaaa!" Teriakku.

Aku terbangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuiku satu bulan terakhir ini. Sudah 3 tahun sejak kematian mama, dan mulai saat itulah mimpi buruk ini menghantui tidur lelapku. Mimpi tentang kejadian lalu yang membuatku sangat tertekan.

Aku menghela nafas lelah, lalu bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Aku membersihkan diriku, juga beban-beban yang menempel di tubuhku. Berharap air yang mengalir dapat juga membuang rasa sesak di hatiku ini. Aku memejamkan mata dan mengguyur kepalaku dengan air dingin, berharap bayangan-bayangan kematian mama mampu hanyut bersama air yang bergerak turun.

Hampir setengah jam aku mengguyur tubuhku di bawah air dingin. Aku menghentikan kegiatanku dan memakai handuk yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku memakai seragam sekolahku dan merapikan wajah pucatku dengan sedikit bedak dan lipbalm. Setelah kurasa cukup, aku keluar kamar menuju meja makan. Seperti biasa, sudah ada papa dan kak Kiano disana menyantap sarapan mereka masing-masing.

"Pagi papa, pagi kak kiano." Sapaku pada papa dan kak Kiano lalu duduk di kursi samping kak Kiano.

"Pagi sayang, ayo sarapan dulu." Balas papa sambil tersenyum.

"Pagi juga adikku yang bawel, tumben bangun pagi. Biasanya masih meluk guling, kan?" Balas kak Kiano sambil tertawa geli.

"Apa! Tidak mungkin, itu mah kebiasaan kak kia bukan aku." Jawabku dengan kesal.

"Sudah-sudah ayo cepat habiskan sarapannya, lalu berangkat sekolah." Ucap papa melerai pertengkaranku dengan kak Kiano.

"Iya, papa." Jawabku dan kak Kiano bersamaan. Lalu kami menyantap sarapan kami dengan tenang.

Tenang? Coba perhatikan lagi lebih teliti. Kami hanya canggung dan merasa kehilangan. Ada yang kurang saat mama tiada. Seakan keluarga ini tidak lagi sempurna. Ada hal yang membuat semua terasa hampa dan kosong. Bahkan candaan-candaan yang terlontar pun tidak begitu menghibur. Hanya satu nama yang sedang berkeliaran di pikiran kami. Mama.. aku rindu sama mama.

~~~~~

Sesampainya di sekolah aku hanya diam memandang keluar jendela, berbeda dengan kawan sekelasku yang sibuk bergosip dan bercanda ria. Sungguh, aku sama sekali tidak tertarik dengan obrolan mereka. Mereka yang hanya berbicara di belakang itu, menurutku itu adalah sifat seorang pengecut. Aku melirik malas teman sekelasku yang cukup dekat denganku, namanya Yuri. Dia anak yang bawel dan ceria, dia juga anak yang mandiri karna di usia semuda ini dia sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Walau aku sendiri juga tidak tau pekerjaan apa yang dilakukannya, aku hanya bisa mendukung saja-sebagai seorang teman-

"Kisha, bisa ikut aku sebentar?" Tanya Yuri yang sudah berdiri di depanku.

"Ah ya, boleh." Balasku lalu bangkit dari dudukku dan mengikuti langkah Yuri yang membawaku entah kemana.

Yuri membawaku ke atap gedung sekolah, tempat yang selalu aku jadikan markas untuk mencari ketenangan. Karna disini begitu sunyi dan hening membuattku merasa nyaman untuk berlama-lama disini.

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu, bisakah?" Tanya Yuri dengan serius sambil menatapku dalam.

"Ya, ada apa?" balasku lalu duduk di pinggir teras dan menatap langit.

"Aku ingin kau ikut bergabung denganku, sebagai intel negara. Apa kau mau?" Ucap Yuri lalu menatapku penuh harap.

"Hah? Intel negara? Bukankah itu oknum rahasia?" Balaku terkejut dan penasaran.

"Ya, terlalu panjang untukku jelaskan. Lalu bagaimana?" Tanya Yuri lagi.

"Tidak, aku tidak berminat berurusan dengan negara. Aku ke kelas duluan!" Jawabku dengan datar. Lalu melangkah menuju pintu atap sebelum Yuri kembali berkata,

"Aku menunggumu, Kisha" ucap Yuri dengan nada yakin.

"Terserah." Balasku lalu pergi meninggalkan atap.

Aku pergi meninggalkan Yuri diatap, masih dengan perasaan aneh dan bingung. Aku tidak mengerti dan cukup terkejut, ternyata selama ini Yuri temanku adalah agen negara.  Dan sekarang dia mengajakku bergabung, untuk apa? Bahkan aku sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti teka-teki atau apapun itu yang berhubungan dengan detektif. 'Dasar aneh' pikirku.

~~~~~~

Aku menatap papa dan kak Kiano bergantian, wajah mereka tampak lelah. Mungkin karna pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini membuat mereka lelah. Aku hanya bisa terdiam sambil menyantap makananku, dan sejujurnya aku sedikit kepikiran tentang tawaran Yuri padaku siang tadi.

"Bagaimana sekolahmu, sayang?" Tanya papa tiba-tiba sambil menatapku sayang.

"Ah, baik kok pa." Jawabku sambil tersenyum.

"baguslah kalau begitu, rajinlah belajar. Agar kelak kau menjadi orang yang sukses dan pintar." nasihat papa padaku.

"baik, pa" balas ku.

"tumben kau sering diam, tidak bawel seperti biasanya. Apa kau sedang jatuh cinta, seperti anak remaja lainnya?" Tanya kak Kiano sambil menaik turunkan alisnya.

"Hah? Tidak. Aku hanya malas saja." Balasku malas sambil menatap aneh kak Kiano.

"Apa-apaan tatapanmu itu? Dan lagi, mana mungkin kau belum ada yang di sukai. Ayolah, cerita pada kakakmu yang tampan ini" ucap kak Kiano lagi sambil tersenyum yang menurutku sangat aneh dan menjijikkan. Iwww, bolehkah aku muntah sekarang?

"Oh ya ampun, kenapa kakakku jadi seperti ini. Apakah dia benar-benar kakakku?" Ucapku menyesal sambil menepuk dahi.

"Dasar adik durhaka, aku ini benar kakakmu tau. Dasar kau ini." Balas kak Kiano kesal.

Aku hanya tersenyum geli menanggapi kejahilan kak Kiano, memang begitulah kakakku itu. Suka bercanda dan membuatku tertawa. Dulu, aku selalu terbahak-bahak mendengar gurauannya yang sangat aneh menurutku, dan sangat tidak masuk akal. Tapi kini, hanya seperti ini saja yang bisa terjadi.

"lagian, kak Kia sok tau." jawabku.

"tapi kakak benar, kan?" tanya kak Kiano dengan percaya diri.

"tidak" balasku acuh.

"bohong?" kata kak Kiano tidak percaya.

"sudahlah Kiano, jangan ganggu adikmu." bela papa.

"nah denger tuh," tambahku sambil memeletkan lidah pada kak Kiano. Dan kak Kiano membalasnya dengan mengacak-acak rambutku.

"ish kak Kia! Kau merusak rambutku." kesalku pada kak Kiano.

"biarin, wleee" balas kak Kiano sambil memeletkan lidahnya.

Aku hanya terdiam sambil memajukan bibirku, tanda jika aku sedang merasa kesal padanya.

"ya sudah, maaf Kisha kakak salah. Jangan marah lagi, ya?" ucap kak Kiano sambil menunjukkan wajah menyesalnya. Sedangkan aku hanya tersenyum lalu membalasnya.

"iya tidak apa-apa, Kisha juga salah. Maaf ya kak?" balasku dengan senyum.

Aku memeluk kak Kiano sayang, kami memang selalu seperti ini. Saling meledek dan bertengkar, tetapi setelahnya kami akan meminta maaf dan kembali akur seperti sebelum nya.

Kuharap tidak hanya saat ini, tapi selamanya. Tapi aku tidak tau, apa yang menanti kami kedepannya? Hidup ini terlalu sulit untuk di pahami, kekejaman dan sabotase sudah memenuhi kegelapan kota ini. Mafia adalah hal lumrah, walau keamanan negara terus diperkuat.

Apakah semua akan tetap sama kedepannya? Kurasa, Tidak. Semoga saja,,, semoga bisa,,, semoga dan semoga..

.

.

.

avataravatar
Next chapter