10 Chapter 9

Monika masuk ke kamar setelah menidurkan Albert. Kemudian, Nico keluar dari kamar mandi menyegarkan dirinya dengan air dingin. Monika sejenak berhenti menatap suaminya hanya mengenakan celana tidur panjang tanpa penutup bagian atasnya.

Nico malah sebaliknya melirik istrinya sejenak, Monika dengan segenap raga memalingkan pandangan tempat lain. Bukan maksud malu, atau ilfil dengan tubuh suaminya sendiri. Justru Monika sudah tak merasa malu jika Nico selalu melakukan di kamar dengan keadaan telanjang dada.

Sah-sah saja, untuk Monika. Bukankah Nico adalah suaminya? Bukan belum pernah melakukan hubungan suami istri. Tentu sudah pernah pastinya, namun tidak sedalam hubungan dalam percintaan. Hanya sentuhan manis.

Tatapan tajam melihat punggung Monika begitu intens, ada hasrat di dalam benak Nico. Namun sayangnya Nico menolak untuk tak saling menyakiti. Tak lama kemudian, Monika keluar dari kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang kusam. Lebih segar, Nico telah berada di tempat tidur memainkan ponsel miliknya.

Monika menyusul ke tempat tidur, kedua matanya sudah mengantuk. Tak ada satu kata yang keluar dari bibir mereka berdua. Hari-hari seperti inilah yang selalu ada di pernikahan Monika dan Nico.

Sekali-kali Nico mencuri perhatian pada istrinya. Monika bersiap untuk tidur, ia melepaskan ikatan rambut yang dari tadi diikat. Nico kembali melihat ponselnya, karena Monika dalam posisi menghadap dirinya. Akan tetapi posisi itu kurang nyaman hingga Monika memilih membelakanginya.

Nico juga ikut menyusul, dan lebih dekat untuk bisa memeluk istrinya. Monika yang dalam keadaan terpejam, membuka matanya. Sebuah pelukan dari suaminya tengah mempersatukan diri. Embusan napas yang datar dapat dirasakan olehnya.

"Sepertinya kamu sangat menyayangi Albert?" bisik Nico pelan, Monika bisa mendengar sangat cermat.

Monika tidak menjawab, Nico semakin mengeratkan peluknya dari belakang. Monika tidak bisa menolak, ada sesuatu yang ganjil dibenaknya. Bukan karena ia tidak mau menjawab setiap ucapan Nico padanya.

"Maaf, jika aku terlalu keras padamu. Maaf, jika hingga detik ini aku belum bisa berikan keturunan padamu," bisiknya lagi.

Monika mengerti segala kalimat terlontar dari Nico. Monika juga tak bisa menyalahkan suaminya. Bukan karena tak bisa memberikan keturunan. Perasaan Monika berkecamuk setiap memori masa lalunya selalu timbul penuh cobaan pahit.

Dengkuran tenang dari Nico, Monika baru bisa menghela panjang namun pelan. Ia pelan-pelan memutar posisi yang tadi membelakangi suaminya. Kini telah berhadapan dengannya, jarak wajahnya dengan Nico tinggal beberapa senti.

Monika memandang wajah Nico dalam-dalam, bekas luka di mata turun di sudut bibir bekas jahitan tertutup oleh bulu tebal itu. Selama pernikahan dengan Nico, hubungan suami istri hanya janji ikatan suci biasa.

Monika selalu menolak untuk melakukan hubungan serius, karena ia belum siap untuk hujatan mulut dari Nico yang iblis. Monika terpaksa menikah dengan Nico juga karena perjodohan mendadak dari orangtuanya.

Monika akui, kehidupannya tak akan pernah seindah kehidupan seperti Fera dengan suaminya, Chandra, atau seperti Rui dengan suaminya, Aldo. Bahkan teman-teman lainnya. Ia menikah secara sederhana, tertutup. Itu yang diinginkan olehnya.

Menikah tanpa cinta, itu sulit baginya. Sebaliknya dengan Nico juga. Akan tetapi, Monika menerima semua kekurangan dari Nico, walau pria di depannya sangat mengerikan. Jika Monika mengingat kembali perjumpaan dengan seorang pria yang mapan, orang terpandang.

Kini usianya 32 tahun, menikah di usia 29 tahun. Menikah saja sudah syukur, masih mengeluh lagi? Itu bukan dirinya, baginya Nico pria cukup mengerti walau tidak seluruhnya.

"Maafkan, aku juga. Jika aku belum bisa berikan sesuatu untuk pernikahan kita," ucap Monika dalam hati. Kemudian, ia pun memejam untuk menyusul ke alam mimpi.

Sebaliknya di kamar sepasang suami istri, Rui dan Aldo. Rui sedang di kamar mandi sambil bersenandung bahagia. Sementara Aldo, masih sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lihat di layar ponselnya itu. Namun, dibalik wajah tampan ada se-curas kerinduan.

Sebuah senyuman bahagia di gambar media sosial. Asli, Aldo senyum-senyum getir meng-scroll galeri milik seseorang. Pastinya nama itu masih tersimpan di memorinya.

Suara pintu kamar mandi terdengar, Aldo langsung keluar dari galeri sosial media. Kemudian membuka google lain. Rui hanya membaluti handuk ditubuhnya. Lalu duduk di sebelah Aldo.

"Sayang, buat adik untuk Albert, yuk?!" ajak Rui, tanpa ada se-urat malu pun.

Aldo langsung menatap istrinya, bukan tak ingin. Malahan ia belum ingin menambah satu penghuni di rumah. Satu anak saja sudah lelah, apalagi dua.

"Nanti saja, besok senin kita masih banyak pekerjaan. Kalau kamu kelelahan akan merepotkan diriku nanti. Apalagi usaha yang kita bangun saja belum naik pesat," tolak Aldo kembali melihat berita politik online.

Larut wajah Rui berubah seketika setiap dirinya mengajak Aldo untuk bercinta, selalu banyak alasan. Kadang Rui tidak habis pikir dengan sikap Aldo terlalu cuek. Padahal saat menikah dengan Aldo, sikapnya tidak seperti ini.

Rui sudah berusaha semaksimal agar bisa menjaga keharmonisan rumah tangga dengan suaminya dan anaknya juga. Apa lagi yang kurang? Mengikuti jejak suaminya membuka usaha pengolahan makanan snack dengan hasil kerja keras mereka. Agar tidak ada orang lain meremehkan kepribadian. Kalau bukan karena cinta Rui tidak akan mau mengikuti jejak suami dari nol.

****

avataravatar
Next chapter