8 Chapter 7

Ketika Nico keluar dari rumah Rui, perasaan berkecemuk di hatinya berapi-api. Rasa tak rela itu terus menghantuinya, namun pekerjaan adalah hal paling penting untuk dirinya.

Sementara Monika masih duduk di ruang tamu sembari diam menatap secangkir teh belum disentuh sama sekali.

Albert tengah membaca untuk didengar oleh nenek Gwen. Monika yang melihat dari jauh pun sangat iri. Tentu bagaimana tak iri, sementara dirinya sudah menikah dua tahun belum juga hamil, beri keturunan.

Monika benar-benar gagal menjadi seorang istri untuk suaminya. Apalagi Monika melihat kemesraan dan keharmonisan rumah tangga Rui dengan Aldo begitu bahagia. Monika berharap suaminya juga bisa seperti Aldo penuh pengertian, perhatian, sabar dan tidak membentak istri.

Selain itu, Monika dapat melihat rumah ini begitu nyaman. Suasana yang penuh warna. Bahkan Monika mengingat sahabat baiknya satu angkatan sekolah, Fera. Mendengar Fera sudah menikah dengan seorang pria yang mapan, dan paras biasa-biasa. Fera juga menikah atas perjodohan dari orangtuanya.

Namun, Monika sangat salut pada sahabatnya itu, apakah dia juga bisa seperti dirinya mempertahankan rumah tangga. Kadang kala Monika tidak sanggup untuk menjalani hubungan pernikahan dengan Nico.

Mengenal Nico sudah dua tahun pernikahan. Tetap, sifat Nico tak pernah menunjukkan keromantisan atau sikap baik kepadanya. Cemoohan orang-orang mau di keluarga Nico, keluarganya. Monika hanya bisa bersabar semua hanya ujian.

"Hahh!" Suara helaan napas menyadarkan Monika dari lamunannya. Monika menoleh menatap Nico kembali duduk di tempatnya sambil membuka surat kabar kedua tangannya.

"Kamu itu benar-benar keras kepala?! Entah apa yang ada isi diotak mu itu?!" ketus Nico menegur Monika.

Monika senyum, ia tau. Tak mungkin Nico akan meninggalkan dirinya seorang diri di rumah sepupunya. Bukankah Nico tau seluk - beluk keluarga Rui.

Sekeras apa pun Nico terhadapnya, Monika yakin Nico bukan tipe orang yang tega. Dari sikap yang sombong, sok berkuasa, tak suka di atur, pemarah. Watak tetap memiliki dua sisi yang berbeda.

"Aku tidak apa-apa, tidak perlu kamu khawatirkan. Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Jika pekerjaan di kantor lebih penting kenapa tidak kamu urusin dulu?" balas Monika bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Nico seorang diri di tempat itu.

Monika ikut bergabung dengan anaknya Rui, Albert. Albert tentu kenal baik dengan Monika. Nico menurunkan surat kabar setelah menyimak kalimat istrinya seperti menyindir. Sembari menatap dari jauh punggung istrinya ketika bermain dengan keponakannya.

Ada rasa jengkel dibalik wajah Nico, entahlah posisi dirinya serba salah. Meninggalkan istrinya di rumah Rui, ada rasa khawatir jika istrinya di cemoohi tidak-tidak oleh mulut laknat, sepupunya, Rui. Memilih untuk menetap di rumah Rui menunggu sampai sore. Malah Monika tidak mengharap dirinya ada di rumah Rui.

Kadang inilah kenapa Nico paling kesal terhadap pikiran wanita, egois. Sekeras apa pun Nico juga punya perasaan lembut. Hanya malas menunjukkan saja percuma, katanya. Nico kembali membaca surat kabar lebih baik daripada emosi mulu. Sebenarnya dia juga tidak betah.

Suasana pun kembali hening, Nico masih setia dengan surat kabarnya. Monika, Albert dan Nenek Gwen tengah berada di halaman belakang rumah menemani Albert bermain. Rui tengah memasak untuk satu keluarga tentu di bantu sama pembantunya.

"Tumben kamu betah di rumahku?" sapa Aldo menyambut Nico dengan nada sindiran.

Nico menurunkan surat kabar yang serius setelah mendengar suara menyindir itu. Tentu suara tak kalah saing, Aldo Hermawan. Pria tampang tampan, mapan, tetapi banyak omongan besar.

Inilah kenapa Nico paling malas ke rumah Rui. Harus berjumpa dengan Aldo, suami Rui. Pasti akan ada perselisihan percakapan antara pria dengan pria.

"Pengin saja, kenapa? Istrimu saja tidak keberatan. Apalagi kamu seharusnya menyambutku secara hormat, karena aku ini tamu, dan juga termasuk keluarga di sini," balas Nico tak kalah dengan ucapan yang lebih ketus.

Aldo tertohok sama ucapan dari Nico, Nico senyum miring sebagai tanda mengejek, melanjutkan lagi membaca surat kabar. Mungkin wajah Aldo sudah memerah akan kalimat-kalimat Nico tadi.

****

Pukul 14.20 siang, Rui baru saja selesai memasak dengan hidangan menu yang lezat. Tentu dibantu tenaga ahli pembantu IRT juga.

Rui menuju ke halaman belakang rumah, di sana ada Albert sedang bermain dengan Monika. Sedangkan Nenek Gwen tengah menikmati suasana alam di halaman tersebut.

Lalu untuk Nico dan Aldo sedang sibuk dengan diri sendiri. Nico setia sama surat kabar bagai seorang pecinta berita politik, sedangkan Aldo memilih melihat ponsel berita online.

"Makanan sudah siap?! Albert, mandi dulu sayang. Monika, nenek, ayo kita masuk ke dalam. Waktunya makan siang," ucap Rui mendorong kursi roda nenek Gwen.

Monika dan Albert pun ikut masuk.

"Tante Monik mandiin Albert, ya!" pinta Albert menoleh arah Monika. Rui yang mendengar langsung menyepi.

"Albert, mandi sendiri. Tante Monik masih lelah. Tidak sopan?!" sungut Rui menegur putranya. Akan tetapi wajah Albert langsung buram.

"Tapi, Albert mau tante Monik mandiin. Cuma mandiin enggak macam-macam!" rengek Albert memohon sembari menggoyangkan tangan Monika berharap Monika menyetujui.

Monika melirih putra Rui, lalu berganti menatap Rui menajamkan mata pada putranya. "Sudah, sudah, tidak apa-apa. Biar aku yang mandikan dia, namanya juga anak kecil. Jangan terlalu keras padanya," ucap Monika merelaikan keributan.

Ternyata, Monika salah menilai. Ia pikir Rui sangat menyayangi putranya. Ternyata salah, Rui terlalu keras kepada putranya. Apa cara ini Rui memanfaatkan situasi atas keharmonisan keluarganya.

Tetapi, Monika yakin, Rui lakukan Albert seperti tadi agar tidak terlalu memanjakan. Ya memang, itu sangat bagus untuk dididik. Entahlah Monika tidak bisa menyarankan, apalagi Albert bukan putranya.

Monika memandikan Albert penuh hati-hati, anggap saja Albert adalah putra angkat Monika. Meskipun Monika belum dikaruniai keturunan, ia berharap dan bersabar akan ada waktunya memiliki seorang putra/putri yang cantik dan tampan.

Albert mandi sambil bermain pesawat mainannya, Monika menyiram air ke tubuh Albert. Setelah selesai mandikan Albert, ternyata Rui sudah menyiapkan baju albert.

"Tante Monik nanti ikut menginap, kan?" Albert bertanya pada Monika.

Monika mengoleskan minyak kayu putih dan bedak, serta memakaikan bajunya. Dari pertanyaan anak laki-laki itu, Monika hanya bisa beri senyuman.

"Tidak, sayang. Tante tidak menginap. Nanti sore tante, nenek, dan Om Nico akan pulang ke rumah," jawabnya jujur.

Albert yang mengharapkan agar Monika bisa menginap itu luntur dan menunjukkan wajah sedih. Padahal Albert sangat menyukai Monika bisa datang ke rumah mamanya.

"Loh, kok sedih. Lain kali saja, Tante menginap kalau tidak ada kesibukan," ucapnya lagi menyentuh pipi Albert yang imut.

Albert melirik Monika nanar, Monika senyum mencoba menenangkan hati anak laki-laki tampan itu. "Kok nangis? Masa jagoan cengeng nanti gantengnya hilang loh, ayo, kita makan siang. Nanti mama kamu marah lagi." Monika bangun dari jongkok nya kemudian menggandeng tangan Albert menyusul ke meja makan.

Nico sekilas menoleh menatap sosok yang di tunggu untuk segera memulai makan siang tersebut. Dapat Nico lihat betapa akrabnya sangat keponakan dengan istrinya. Apalagi melihat larut wajah Monika begitu bahagia.

Monika melepas gandengan tangan Albert mengembalikan pada ibunya. Kemudian Monika duduk disebelah Nico. Tentu tak lupa mengambil nasi untuk suaminya. Nico sedari tadi tak lepas akan wajah berseri-seri sang istrinya.

"Ada apa?" Monika membuyarkan lamunan Nico dari tatapannya. Nico langsung mendeham, seolah tidak ada apa-apa yang dia pikirkan.

Suasana di meja makan sunyi, tak ada satu patah kata yang menjadi pembukaan bicara. Albert disuapin oleh Rui, nenek Gwen menikmati pelan-pelan makanan di depannya.

"Ma, nanti Tante Monik boleh menginap di rumah kita, nggak?" ucap Albert bertanya pada Rui.

Monika yang diam menikmati makanannya. Rui berhenti menyuapi putranya. Aldo dan Nico tak menunjukkan apa pun setelah seorang anak laki-laki membuka suara yang dari tadi membisu.

****

avataravatar
Next chapter