20 Chapter 19.

Tak terasa hari sudah malam, Albert sangat bahagia, bahkan dia tidak serewel di rumah sendiri. Di sana Albert duduk bersama orang tua Monika menonton film di tayang televisi itu. Film yang mereka tonton adalah channel DAAITV film diangkat dari kisah nyata, dan dimainkan oleh orang Taiwan. Dengan bahasa khas mereka sendiri.

Albert yang menonton pun sangat serius, bahkan menanyakan kepada ibunya Monika soal film di tonton nya itu. Sementara Monika sedang menyetrika baju yang sudah beberapa hari itu. Sementara Nico baru saja keluar dari kamar mandi setelah seharian bermain dengan Albert.

Ya, sampai di rumah mereka. Albert bukannya duduk manis atau untuk istirahat dulu habis dari perjalanan menuju ke rumah ini. Bukannya capek, malah melanjutkan kembali mainan dia bawa dan perlihatkan kepada Santi dan Herman.

Nico yang sudah capek mengemudi, dia pun mengistirahatkan dirinya di sofa itu. Baru akan memejamkan matanya, Albert itu sudah menarik tangan Nico untuk ikut bermain bersamanya. Karena rakitan robot-robotan itu Nico yang memasangnya, jelas dong seorang anak laki-laki seperti Albert antusias meminta seseorang pasangkan kembali. Mau tak mau Nico menemani Albert bermain.

Kini dia baru bisa bebas dari anak itu, ketika Nico keluar dari kamar mandi hanya memakai celana tidur tanpa baju atas  dengan rambut yang belum kering pun menatap istrinya yang baru saja selesai setrika pakaian satu keranjang begitu rapi. Teringat perkataan Rui.

[ "Aku jamin dengan cara ini, kamu pasti akan ketagihan berhubungan badan dengannya. Kapan lagi, kesempatan emas tidak akan terulang untuk kedua kalinya." ]

Monika mendongak dan menatap suaminya melamun akhir-akhir ini. Sejak pulang dari rumah Rui, sikap suaminya semakin aneh saja.

"Apa kamu perlu sesuatu? Kenapa melihat aku seperti itu?" tanya Monika tiba-tiba bersuara, membuat Nico semakin salah tingkah.

Bahasa mereka gunakan berbeda, Monika tetap menggunakan bahasa non formal dengan ucapan 'Aku' sementara di kantor Monika menggunakan ucapan 'saya' inilah yang selalu membuat Nico bangga pada wanita ini memiliki peran yang beda.

"Ah? Tidak ada apa-apa, kamu mau minum sesuatu? Eh-ehem! Sepertinya tenggorokan ku sedikit bermasalah, aku mau buat minuman dingin, kamu mau?" jawabnya sembari mencari alasan lain agar tidak ketara kalau dia saat ini kesulitan mencari romantis supaya Monika tidak peka.

"Jus? Sejak kapan kamu mulai suka minum jus malam-malam, ini...." Monika mencoba untuk menolak, Nico langsung keluar memanggil Albert untuk jadikan teman pembelaan.

Apalagi Santi dan Herman pun ikut bingung melihat sikap menantunya bertingkah tidak biasanya. Apakah Santi sudah berhasil membuat menantunya sadar? Ah, tidak mungkin. Santi tahu kalau Nico tidak akan semudah itu berubah sifatnya.

"Albert, kamu mau jus? Om mau buat jus, jus paling enak tidak pernah ada yang punya, mau?" ucap Nico sembari menawarkan kepada Albert.

"Kata mama, Albet nggak bole minum jus malam-malam, nanti gigi Albet lusak!" tolak halus oleh Albert.

"Siapa bilang, tidak akan rusak, kok. Pokoknya Om tanggungjawab kalau gigi Albert rusak," ujarnya kemudian menggendong ke dapur.

Santi, Herman, dan Monika terbengong atas sikap Nico barusan. Di dapur inilah Nico mengeluarkan beberapa buah di kulkas. Sedangkan Albert duduk manis sambil mainkan robot-robotan itu. Monika ikut menyusul, ia merasa heran saja atas sikap suaminya itu.

"Ada gerangan apa kamu begitu baik sampai buat jus untuk Albert?" Monika bertanya.

"Memang tidak boleh kalau aku buat jus, aku yang mau minum. Kenapa kamu melarang, yang beli buah ini juga dari hasil uangku, bukan?" jawabnya masih ada nada-nada sinis.

"Ya, bukan begitu. Heran saja sama sikap mu. Dari rumah Rui, kamu melamun sampai rumah pun kamu masih juga melamun. Memang waktu di rumah Rui, Rui bicara sama kamu soal apa? Bukannya kamu itu sama Rui tidak terlalu...."

"..., memang harus musuhan terus kalau Rui tiba-tiba baik sama aku? Cuma pembahasan biasa, cuma minta tolong jagain putranya menginap di sini. Mumpung mama dan papa masih di rumah kita, jadi mereka juga tidak akan suntuk kalau ada Albert di sini," sambung Nico berbicara.

Monika tidak percaya dengan omongan suaminya. Tetapi alangkah baik sih sifat Nico bersikap seperti ini. Kemudian Monika menemukan sesuatu di meja makan, plastik kecil berisi bubuk putih.

"Ini apa?" Monika memegang bungkusan itu, dengan cepat Nico merebut kembali. "Bukan apa-apa, hanya bubuk untuk membasmi semut nakal suka curi makanan di dapur!" ucapnya kemudian, langsung dia masukan ke laci penyimpanan pisau.

Monika semakin curiga sama sikap suaminya. Cukup lama Monika di sini, kemudian ia pun kembali ke kamar. Membiarkan suaminya bertingkah suka hati selagi Albert tidak rewel. Setelah Monika beranjak pergi dari dapur, Nico pun bisa mengembuskan napas lega.

[ "Untung saja, ketahuan!"] batinnya dalam hati. Ternyata selain sifat tegas, Nico mempunyai sifat ceroboh loh.

****

Pukul 12.30 malam semua sudah pada tidur, Albert juga sudah tidur di kamar bersama kedua orang tua Monika. Nico pun kembali ke kamarnya membawa botol minuman yang memang selalu di kamar jika nanti terbangun mimpi buruk atau mendengkur karena tenggorokan kering, maka tidak perlu keluar menuju dapur.

Monika pun belum tidur, masih terjaga. Biasanya ia tidak peduli langsung tidur atau bagaimana. Nico meletakkan botol minuman itu di samping meja tidak jauh di mana Monika sedang melihat ponsel hasil penjualan.

Monika pun sempat memerhatikan sikap suaminya itu melepaskan pakaian melekat pada badannya lalu di ganti dengan pakaian buat tidur. Permasalahan sekarang adalah Monika mengamati botol minumannya, bukan maksud berpikir hal aneh saja.

Setelah itu Nico pun menghampiri tempat tidur untuk bersiap buat tidur karena matanya sudah mengantuk. Sudah berapa jus dia minum, sampai perutnya kembung begini. Ternyata buat jus itu tidak semudah dia pikirkan, kadang lupa mencampurkan gula. Nico memang kurang suka yang manis-manis wajar kalau Albert protes mulu bahwa jus buatan dari omnya tidak enak.

Baru akan merebahkan dirinya, Nico kembali bangun untuk masuk ke kamar mandi. Dia merasa perutnya bermasalah. Monika juga bersiap untuk tidur ikut terjaga melihat suaminya bolak-balik ke kamar mandi.

Kecemasan Monika pun keluar, karena biasanya sikap Nico tidak pernah seperti ini. Pasti gara-gara terlalu banyak minum jus itu.

"Ada apa dengan kamu? Uring-uringan terus tidak bisa diam, aku mau tidur, besok bangun pagi ajak Albert jalan-jalan keliling kompleks rumah." Penuturan dari Monika membuat Nico tidak mendengar.

Dia terus memegang perutnya, sangat sakit sekali. Perasaan tadi dia baik-baik saja, apakah pengaruh minuman dia minum tadi maka berakibat seperti ini? Racun, kah? Pikiran Nico sudah mulai melayang-layang ke mana-mana. Dia belum mau mati, isi otaknya masih memikirkan beri cucu buat mama mertua dan papa mertua, sama juga cicit untuk nenek Gwen.

Monika semakin heran atas sikap Nico menatapnya begitu serius. "Hei! Aku tanya kamu kenapa? Jangan menatapku seolah-olah aku ingin menghabisi mu?! Ini sudah malam, tidur! Jangan berlaga seperti anak kecil usia 5 tahun?!" nyinyir Monika bukan bersimpati pada suaminya. Padahal Nico sudah beri tanda kode keras agar Monika sedikit peka apa yang dia inginkan.

Nico langsung manyun setelah melihat istrinya kembali ke posisi rebahannya. Dua menit kemudian  Nico kembali masuk ke kamar mandi. Kali ini sangat lama. Monika yang sudah memejamkan matanya pun harus kembali terjaga. Dia pun turun dari tempat tidur, memeriksa keadaan suaminya. Bukan ia tidak peduli, hanya saja kesal padanya. Ada juga rasa cemas berlebihan.

Kadang ini yang selalu buat rasa sabar Monika terhadap Nico itu berguna. Selain cemas, Monika juga tidak ingin suaminya kenapa-kenapa. Di kamar mandi itu, Nico duduk di lantai tidak berdaya. Posisinya bersandar di tempat kloset.

****

Nico senyum - senyum tidak jelas saat istrinya mengoleskan minyak kayu putih di perutnya. Nico tidak jadi mencampurkan bubuk putih itu ke botol minuman istrinya. Padahal niatnya ingin sekali, tetapi dia berpikir keras. Dia sudah berjanji akan melakukan secara alami. Apalagi obat herbal dari mama mertuanya saja dibuang agar Monika tidak terus menerus mengonsumsi obat tidak baik itu.

"Lain kali kalau mau minum jus itu lihat batas jam, sok-sokan minum jus malam-malam. Kamu pikir fisik badan kamu itu kuat minum yang dingin-dingin? Ujungnya apa? Sakit perut terus gembung?! Kenapa tidak satu galon saja kamu minum itu jus?" Tiba-tiba Monika mengomel suaminya sambil mengolesi minyak di sana.

Nico suka lihat istrinya marah-marah, ah dia seperti jatuh kasmaran cinta pandangan pertama. Mungkin Nico mulai menerima istrinya seperti ini. Tidak pernah menunjukkan image dibuat-buat. Walaupun ucapan lebih sadis darinya. Baginya Monika itu sudah termasuk wanita paling sempurna. Tugas sebagai istri melayani suami di rumah, tidak banyak bicara walau kedua orang tuanya selalu mengomelinya. Sifat keibuannya juga sangat jelas menjaga Albert, mengajak anak itu sangat baik lagi.

"Kalau kamu mengomel seperti itu, tiap malam ingin dengar terus," ucap Nico pelan, masih bisa pula menggombal di malam hari.

Monika menghentikan olesan minyak di perut Nico. Saat suaminya mengucapkan sesuatu padanya. "Tidak perlu sok puitis!" sinis Monika pada Nico.

"Puitis dari mana, aku ucap nyata kok. Ya sudah, jangan aku dengar kamu katai aku suami yang tidak romantis lah, tidak lembut lah, aku bakal buat kamu tidak bisa jalan sekalian?!" balas Nico kemudian sekaligus kalimat kata-kata terakhir tadi. Berharap Monika kali ini peka apa yang dia dengar.

"Sadar juga, aku mengira kamu tidak akan sadar atas sikap kamu padaku selama ini. Apa kamu pernah lembut terhadapku? Romantis juga tidak? Suami kayak kamu tidak perlu sok nge-drama ala sinetron FTV, basi?! Memang kamu berani buat aku tidak bisa berjalan?" sengit balik Monika, lagi-lagi perdebatan mereka pun di mulai tengah malam.

Meskipun perdebatan itu hanya biasa saja, Monika langsung diam seribu bahasa setelah dia membalas kata-kata dari suaminya. Nico meraih tangan istrinya, selama 2 tahun menikah dengan Monika. Ya tangan ini jarak sekali dia pegang. Hanya pegang lewat pelaminan saja. Setelah itu kegiatan masing-masing. Bulan madu juga tidak seindah dengan harapan mereka sendiri.

"Ada benarnya dikatakan Rui. Kita coba, kalau masih gagal. Kita periksa kesuburan kamu dan aku, dan program kehamilan," Monika menatap seksama kedua manik mata suaminya berwarna kecokelatan diselimuti hitam kecil di tengahnya.

Perasaan apa yang membuat ia dan suaminya itu berdiam dalam bisu di kamar mereka sendiri. Hanya terdengar suara jam dinding, dan ayam bersuara tanda sudah mulai pagi. Jarak wajah Nico dan Monika itu sangat dekat sekali sedikit lagi mereka bersentuhan bibir.

"Program apa? Aku subur kok, kalau Tuhan belum berikan. Kenapa di paksa. Sudah tidur sana!" Monika langsung berpaling dan mengalihkan pembahasan. Nico tidak ingin menunda-nunda lagi.

"Kenapa? Kamu geli sama muka aku? Atau malu?" Belum menyerah juga, Monika kembali menatap wajah suaminya.

"Aku akan pelan-pelan melakukannya, janji tidak akan kasar. Kalau kasar kamu tinggal tendang saja, hmm?" ucapnya lagi. Monika tidak membalas.

Bagaimana mau balas lagi, Nico mulai mengecup bibir Monika. Satu kali, dua kali, dan tiga kali lebih lama dari yang tadi. Monika pun memejamkan matanya, dan ikut membalas ciuman dari suaminya. Ya, mungkin sudah waktu mereka lakukan itu. Keinginan terbesar Monika bisa hamil dan punya anak sendiri.

****

avataravatar
Next chapter