17 Chapter 16

Monika masuk ke mobil suaminya, entahlah untuk Monika sekarang. Ia sangat pusing terhadap mamanya dan juga suaminya. Meluruskan permasalahan pada dua orang tidak cukup, bahkan Monika harus menyelesaikan yaitu suaminya sendiri.

"Seharusnya kamu tidak boleh berkata seperti itu kepada Mama!" suara Monika menarik tali pengaman.

"Justru aku berkata seperti itu, biar  mama kamu tahu cari pengganti suami untuk kamu itu mudah? Masih untung aku terima kamu jadi istriku, kalau tidak ...." Nico menggantung perkataannya.

"Aku juga tidak memaksamu menerima menjadi istrimu. Bukannya semua berahli semula, jika kamu menyesal menikah denganku. Mudah saja, tinggal ke pengadilan hukum, keluarkan surat penceraian. Setelah itu, jalani hidup masing-masing. Kamu pikir aku betah terus terima omongan pedas mu setiap hari? Aku juga punya batas kesabaran setiap kamu menyalahkan atas sikapku!" lanjut Monika berbicara, bahkan Nico tidak berkutik setiap apa yang diucap oleh istrinya.

Biasanya ia suka membalas omongan istrinya, apalagi menyangkut hakekat dan martabatnya. Bukankah ia lebih mementingkan profesi sikap angkuhnya. Monika mendiami Nico beberapa menit kemudian melirihnya.

"Kenapa? Apa aku salah berkata sesuatu membuatmu tersinggung? Kadang cara omonganmu itu tidak pernah dikondisikan. Sekarang apa yang harus kamu lakukan terhadap  mama? Aku sendiri sebagai putrinya saja susah membujuk dia untuk tidak pulang dulu ke rumah. Bukannya kemarin kamu bilang, jaga sikap kita terhadap mama dan papa?" Monika melanjutkan lagi kata-kata, setelah lama Nico membisu.

Nico bukan menjawab, malah menjalankan mobilnya menuju ke kantor. Sementara di dalam rumah, Santi memerhatikan dua pasangan suami istri itu di mobil. Meskipun tidak menampakan wajah mereka karena terhalang oleh plastik hitam pada kaca jendelanya.

Kemudian Herman menghampiri istrinya. "Kamu berubah pikiran?" tanya Herman. Santi pun menoleh, tetapi tidak menjawab malah ia pergi begitu saja tanpa memedulikan suaminya.

Herman cukup menggeleng setiap melihat sifat istrinya. Keras kepalanya itu kadang mengingatkan seseorang.

🎋

Kafe Madura, Fera sedang sibuk melayani pelanggan. Sementara Chandra sedang mengurus beberapa stok makanan dan sayuran di gudang. Sejak Chandra mendirikan beberapa kafe, hanya kafe inilah yang sering diramaikan oleh pengunjung. Entah kenapa Chandra lebih fokus ke kafe ini ketimbang kafe lainnya. Apakah berkat istri tercintanya yang selalu mengundang para pengunjung.

Bahkan Chandra juga tidak habis pikir ide cemerlang mana lagi di dapat oleh istrinya. Selain mengurus putri pertama, tentu Chandra juga tidak mengizinkan Fera terlalu lelah mengerjakan pekerjaan pada kafe tersebut. Karena Chandra pasti mengawasi setiap detik. Suami mana rela melihat istrinya kerja sendiri dalam keadaan berbadan dua.

"Hadi, tolong antarkan makanan ini ke meja ini, ya!" pinta Fera kepada pekerjanya. Hadi dengan sigap mengantar tanpa mengeluh atau protes. Siapa yang akan mengomel kalau bukan pekerjaannya.

Melihat sikap Fera yang lemah lembut, tetapi dibalik sisi lemah lembut itu tersimpan sifat yang buas. Apa lagi waktu kafe ini belum pesat banyak pengunjung, pemilik kafe tersebut bersiku lutut kepadanya. Selain manja namun Fera termasuk wanita tanggung. Pelakor mana yang berani dekati suaminya, kalau tangan kanan atau tangan kiri jadi sasaran empuk.

Fera sembari mengelus-elus perutnya yang menuju enam bulan itu, bahkan selera makan pun tidak mementingkan pada pekerjaannya. Chandra pun menghampiri istrinya, tak lupa membawa kebutuhan.

Sementara Claudia dititipkan oleh neneknya, sudah wajib. Sebab, pekerjaan kafe itu tidak bisa dijadikan mainan anak-anak. Apalagi, Fera yang otak pentingkan penghasilan membuat putrinya sendiri terlupakan. Tetapi Claudia selalu mengerti, jikalau mama dan papa  kerja itu demi masa depannya.

"Nanti baru dilanjutkan lagi, makan dulu, setelah itu minum vitamin! Kadang aku heran sama kamu, pekerjaan ini bisa dipegang sama anak lain?" tegur Chandra berikan bekal untuk istrinya tak lupa obat vitamin untuknya.

Fera menutup buku kasnya, tentu ia akan menuruti suaminya. Jikalau tidak, rasa malu itu akan bertambah besar. "Tidak bisa, Sayang! Kamu tidak lihat masih banyak yang belum paham tentang pekerjaan ini! Lisa cuti melahirkan, Aldo izin pulang kampung karena mamanya sakit. Hanya ada Tito dan Hadi yang bisa mengalihkan pekerjaan ini, sisanya masih belajar dan training," terang Fera menjelaskan kepada suaminya.

Chandra mengangguk sangat paham kejelasan dari istrinya. "Iya, iya, aku paham! Lebih penting itu kondisi kamu. Jangan ngeyel, badan sudah dua masih juga pentingi mereka! Nanti kamu kenapa-kenapa aku bisa dihajar lagi sama Mama," celetuk Chandra tidak ingin kejadian itu terjadi lagi ketika permasalahan lima tahun lalu ketika Fera hamil Claudia.

Mamanya Chandra benar-benar sadis bukan membela putranya tetapi membela menantu. Bagaimana tidak sayang terus, nasib itu ditangannya. Fera membuka kotak bekal dari suaminya tadi. Ketika melihat isinya lagi-lagi sayuran, entah kenapa Fera benci dengan jenis sayuran.

"Ada apa?" Chandra bertanya melihat istrinya mematung saat membuka kotak bekal darinya.

"Aku sudah berapa kali, aku itu ...."

"Ini dari Mama mertuamu, bukan dariku. Dia ingin kamu sehat, dan pastinya bergizi!" potong Chandra, karena ia tau kalau istrinya sedang tidak suka sayur. Entahlah Chandra sampai pusing kenapa hamil kedua malah aneh saja. Padahal ia berharap istrinya manja, tidak seperti pertama kalinya.

****

Berjam-jam sudah Rui dan Albert di gudang itu, pembantu kerja di rumah ini pun terlihat sangat panik. Apalagi Aldo memilih ke kantor, tugas pekerjaannya lebih diutamakan timbang urus rumah tersebut. Sudah kewajiban untuk seorang istri seperti Rui mengurus anaknya sendiri.

Hanya keegoisan semata pada Aldo sekarang. Meskipun dianggap sosok pria yang kejam terhadap rumah tangga. Inilah yang diinginkan oleh Rui, seorang wanita yang tega memisahkan dirinya dari cinta pertama, dengan tega mengkhianati seseorang. Terjebak asmara bukan keinginan Aldo meskipun dia sendiri menyesal.

"Bu!" Pembantu itu mengetuk pintu gudang tersebut. Setelah berjam-jam di dalam tanpa ada suara tangisan Albert bahkan suara majikannya.

Tentu pembantu rumah ini sangat khawatir jika terjadi apa-apa pada mereka berdua. Apalagi sikap majikannya itu sangat keras, dan penuh emosional.

"Bu!" panggilnya lagi, berharap ada jawaban dari dalam.

Tetap saja nihil, tidak ada jawaban dari Rui saat ini. Tak lama kemudian pembantu satu lagi berlari kecil membawa kunci dulpikat untuk kamar gudang ini. Pembantu itu sangat berharap kunci mereka buka masih bisa digunakan. Setelah beberapa kunci dimasukan ke lubang pintu itu, akhirnya terdengar suara nyaring di sana. Pembantu sudah sangat cemas sekali.

"Bu!" Pembantu itu sekali lagi memanggil.

Dicari saklar untuk hidupkan lampunya. Ketika lampu itu menyala, dengan shock pembantu itu mendekati majikan dan Albert tergeletak di lantai.

"Ya ampun, Bu!" Pembantu itu segera mengangkat tubuh Albert keluar dari gudang. Sedangkan Rui terpaksa dibawa ke kamar sendiri. Melihat keadaan wanita itu tidak berdaya.

Sekali lagi pembantu itu mencoba menelepon Aldo, tetapi Aldo sedang rapat dengan beberapa klien di kantor. Jadi ponselnya dia sengaja tinggalkan di ruangan sendiri.

"Aduh! Pak Aldo ke mana sih, Ibu Rui sedang sakit malah tidak angkat pula?" gerutu pembantu itu. Sekali lagi dia telepon, masih sama tidak ada tanda jawaban dari sana.

Kantor PT. ACLARIS INDUSTRI, Monika sedang menunggu Nico memeriksa laporan penjualan dari supplier lain. Beberapa menit kemudian ponsel Monika bergetar dan berdering, tentu buat Nico tidak konsentrasi pada buku-buku di depannya.

"Sudah berapa kali saya katakan padamu, di jam kantor ponsel di silentkan atau digetarkan," tegur Nico kepada Monika. Walaupun nada bicaranya masih kecil, hanya saja menegaskan kepadanya.

Monika tidak menyahut teguran dari Nico, ia pun sesekali melirik ponsel, nomor rumah telepon dari Aldo. Masih berdering ponselnya, sehingga Nico tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan itu. Sebelum Nico bertindak, Monika pun beranjak dari duduk segera diangkatnya.

"Halo," jawab Monika pelan. Meskipun masih di ruangan Nico.

Nico tidak terlalu peduli siapa yang menelepon Monika. Tetapi pastinya dia akan bertanya setelah Monika selesai menerima panggilan telepon itu.

Sembari Monika melirik Nico memeriksa laporan ia berikan itu, terdengar suara seberang. Ternyata yang menelepon dirinya adalah pembantu bekerja di rumah Aldo. Terdengar sangat panik sekali dari nada suara itu.

Siapa sih tidak merasa khawatir setelah diberitahukan oleh pembantu Aldo, kalau Albert langsung demam saat perlakuan dari Rui. Sedangkan Rui juga tidak sadar diri, setelah dicek alat pengetesan darah, kolesterolnya naik. Sementara Aldo malah tidak mengangkat panggilan telepon dari rumah. Hanya satu-satunya bisa dihubungi adalah Monika sendiri. Karena pembantu itu tahu sekali kalau orang yang paling akrab dengan pemilik rumah ini adalah Monika dan Nico. Meskipun terlihat tidak bersahabat sekalipun.

Setelah menerima panggilan telepon dari rumah Aldo, Monika kembali ke tempat duduknya. Di sana Nico sudah selesai memeriksa dan menutup kembali buku laporan diserahkan oleh Monika. Kemudian dia pun mengembalikan kepadanya, sebelum meninggalkan ruangan Nico. Nico memperhatikan larut wajah istrinya itu.

"Siapa menelepon?" Nico pun bertanya juga kepada Monika. Meskipun dia tidak ingin ikut campur. Namun dia juga berhak untuk tahu.

"Pembantu rumah Aldo," jawabnya

Nico mengerut, kemudian bersikap biasa-biasa saja. Dia tidak boleh terpancing rasa cemburu meskipun istrinya menyebut nama Aldo.

"Memang ada apa dengan pembantu Aldo?" Nico bertanya lagi.

"Albert sakit, dia membutuhkan saya," jawabnya lirih

Nico menatap larut wajah Monika ada kesedihan di sana. Bukan dia tidak izinkan Monika ke rumah Aldo di jam kantor. Apa yang terjadi jika karyawan di sini tahu hubungan pihak lain. Ya, Nico memang sosok yang sangat tegas dan keras kepada istri sendiri. Walaupun di kantor, Nico tidak menganggap Monika itu istrinya, tetapi sikap Nico lakukan untuk pengertian dan tahu diri.

"Jadi kamu mau ke sana? Ada Rui dan Aldo bisa mengurus Albert, memang pembantu mereka ngapain saja?"

"Rui juga tiba-tiba pingsan setelah memperlakukan kasar pada Albert, sedangkan Aldo menghadirkan rapat di kantor dengan klien-klien atas proyek di luar kota," kata Monika menjelaskan selaku membalas tatapan Nico yang dari tadi.

Nico pun mengedip sekali kemudian bangun dari duduknya, lalu mengambil kunci mobil dan juga ponselnya. Monika yang perhatikan sikap suaminya itu.

"Kamu tidak jadi ke sana?" Nico kembali bertanya pada Monika yang masih setia duduk di tempatnya.

"Tapi?"

"Saya tidak akan mengulangi untuk kedua kali, sebelum saya berubah pikiran," Sekali lagi Nico berbicara sangat ketus. Dengan tindakan cepat Monika pun bangun dari duduk dan ikut langkah Nico keluar dari ruangannya.

Nico akan menunggu Monika di parkiran setelah dia selesai merapikan meja kerjanya. Ada seulas senyuman di balik wajah Nico. Entah pertanda apa membuat dia tidak bisa melarang wanita yang sabar seperti Monika tersebut.

avataravatar
Next chapter